Istilah pokok yang sering diasosiasikan dengan hukum Islam adalah syariat, sebab pada kenyataannya, banyak yang menerjemahkan syariat sebagai hukum Islam. Bagaimanapun, penting untuk memaknai istilah syariat dengan tepat agar kita dapat membedakannya dengan fikih, istilah pokok lainnya yang juga sering digunakan untuk menyebut hukum Islam dan sering diterjemahkan sebagai ‘hukum Islam’ atau kadang-kadang juga sebagai ‘yurisprudensi Islam’.
Secara kebahasaan, syariat berarti ‘jalan’. Dengan demikian, syariat dapat dimaknai sebagai sebuah jalan yang disediakan oleh Allah Swt bagi kaum muslim untuk diakui agar mereka mencapai keselamatan. Syariat merupakan pedoman dari Allah SWT yang terkandung dalam waktu yang disampaikan kepada Nabi melalui Al-Qur’an dan selanjutnya dijelaskan oleh Nabi melalui ucapan dan perbuatannya (sunnah).
Dalam konteks hukum Islam, pengertian syariat merujuk pada keseluruhan petunjuk Ilahi yang ada di dalam Al-Qur’an dan sunnah, yang umumnya diungkapkan dalam bentuk perintah dan larangan.
Perintah ini bentuknya berbeda-beda, terkadang bentuknya sangat spesifik, seperti aturan mengenai makanan atau beberapa hal seputar hukum pidana, terkadang pula berupa prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan Al-Qur’an dan sunnah kepada kaum muslimin, seperti misalnya peringatan yang selalu ditekankan dalam Al-Qur’an agar kita berbuat adil terhadap orang lain dan agar selalu berlaku jujur.
Sementara itu, istilah fikih sangat terkait dengan istilah syariat. Pada dasarnya fikih terdiri dari ‘pemahaman’ atau ‘pengetahuan’ tentang sesuatu. Barangkali penggunaan kata fikih awalnya berasal dari kata faqih, yang berarti orang yang ‘memahami’, yang digunakan untuk memanggil seorang ahli unta yang mampu membedakan antara unta betina yang sedang berahi dari unta betani yang sedang hamil.
Istilah fikih juga ada dalam Al-Qur’an dalam bentuk kata kerja (fi’il) yang secara umum berarti ‘memahami’. Misalnya, ketika menceritakan respon umat Nabi Syuaib terhadap pesan yang disampaikan, Al-Qur’an menyatakan, “Hai Syu’aib, tidak banyak perkataanmu yang kami pahami.” (Q.S Hud: 91). Dalam menyebut orang-orang yang menolak Allah, Al-Qur’an menyatakan, “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami.” (Q.S Al-A’raf: 179).
Kata ‘fikih’ beserta derivasinya juga dapat ditemukan dalam literatur hadis. Satu contoh yang sering dikutip adalah ketika Nabi Muhammad SAW mendoakan sahabatnya, Ibn Abbas dan Nabi bersabda, “Semoga Allah SWT menganugerahkan kepadanya pemahaman mendalam (faqqihhu) tentang agama.”
Penggunaan istilah fikih dalam ayat-ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa fikih memiliki arti pemahaman yang lebih luas mengenai sesuatu, bahkan terkadang bidang tertentu sekalipun, sebagaimana dalam kasus hadis di atas yakni dalam bidang agama, yang berarti memahami seluruh urusan agama dan bukan hanya terbatas pada bidang hukum agama saja.
Dari yang awalnya bermakna luas, istilah fikih menjadi aspek kajian yang lebih sempit; yakni orang yang membaca perintah dan larangan dalam Al-Qur’an, mencoba memahami apa yang diinginkan dari mereka, apa yang harus mereka lakukan, baik secara mental maupun fisik, dan juga apa saja yang harus mereka hindari menurut Al-Qur’an. Semua ini dilakukan dengan petunjuk dari sunnah Nabi.
Aktivitas penafsiran semacam ini semakin lama menjadi semakin sempurna dan membentuk pengetahuan yang padu mencakup hukum, teologi, dan aspek-aspek asketisme. Pada periode awal Islam, kira-kira tahun 150 Hijriyah, disiplin-disiplin syariat semacam itu masih tercakup menjadi satu di dalam kategori fikih.
Namun, dengan perkembangannya disiplin teologi (kalam) dan asketisme (sufi) pada abad ke-2 sampai ke-3 H, fikih akhirnya hanya berlaku bagi kajian aspek pengetahuan hukum saja. Berikut ada tiga hal yang perlu dicatat:
Pertama, istilah fikih, dari yang awal adalah aktivitas mental, yakni aktivitas pemahaman, menjadi sesuatu yang sifatnya lebih konkrit, sebentuk pengetahuan yang dihasilkan melalu pengkajian atas perintah dan larangan Allah SWT yang ditemukan dalam al-Qur’an dan sunnah. Bentuk pengetahuan ini pada awalnya mencakup seluruh disiplin syariat, tetapi kemudian menjadi sebatas hanya disiplin hukum saja.
Kedua, syariat dan fikih menjadi terbedakan. Syariat adalah keseluruhan dari perintah dan larangan yang ada dalam Al-Qur’an, sedangkan fikih lebih menunjuk kepada aturan-aturan khusus yang dihasilkan lewat pemahaman dan interpretasi terhadap materi-materi syariat atau dengan menggunakan sumber-sumber yang lain. Dengan demikian, syariat bagi umat Islam, sumbernya adalah Allah SWT, sedangkan sumber fikih adalah manusia (pemahaman kognitif).
Ketiga, dalam pemakaian umum sekarang ini, syariat bahkan diartikan sebagai perintah-perintah dan larangan-larangan yang tidak hanya ditemukan dalam Al-Qur’an dan sunnah, tetapi juga yang diinterpretasikan dan diuraikan dalam fikih untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga, kedua istilah ini pun seringkali saling dipertukarkan.
Bagi kebanyakan umat Islam, fikih meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aspek keagamaan maupun keduniawian, baik aspek individual maupun sosial. Fikih memberi bentuk konkrit dari prinsip-prinsip, norma-norma, nilai-nilai, dan perintah-perintah syariat di seputar aspek-aspek tersebut.
Keseluruhan norma, nilai, dan perintah itu berasal dari Al-Qur’an dan selanjutnya dicontohkan melalui sunnah Nabi. Para ulama terdahulu, khususnya pada tiga abad pertama Hijriyah, memperhatikan seluruh aspek tersebut dalam pengembangan sistem hukum sehingga bisa mempertimbangkan manifestasi prinsip syariat secara proporsional.
Konseptualisasi syariat secara komprehensif ini, yang menghasilkan pengembangan sistem hukum Islam, dijelaskan oleh Sayyed Hussein Nasr dalam bukunya berjudul “Ideals and Realities of Islam” sebagai berikut:
“Syariat adalah gagasan religius tentang hukum, gagasan bahwa hukum menjadi bagian integral dari agama. Sesungguhnya bagi setiap muslim, agama hakikatnya adalah hukum Ilahiah, yang tidak hanya mencakup prinsip-prinsip moral universal, tetapi juga prinsip tentang bagaimana manusia harus berperilaku dalam hidupnya dan berinteraksi dengan tetangga dan dengan Tuhan; bagaimana seharusnya ia makan, bekerja, dan tidur; bagaimana seharusnya ia melakukan jual-beli di pasar; serta bagaimana seharusnya ia shalat dan melakukan ibadah-ibadah yang lain.” (AN)
Wallahu a’lam.