KH Muhammad Sholeh bin Umar Al-Samarani yang lebih dikenal dengan sebutan Syekh Sholeh Darat lahir di Kedung Jumbleng, Mayong, Jepara sekitar tahun 1235 H./1820 M. Wafat di Semarang pada hari Jum’at 29 Ramadhan 1321 H. atau 18 Desember 1903 M.. Ayahnya bernama KH Umar. Syekh Sholeh Darat tumbuh di keluarga yang literature agamanya kuat. Apalagi beliau lahir dan tinggal di pesisir Jawa yang pada waktu itu sudah banyak kaum santri. Ayahnya, KH Umar merupakan pejuang dan penasehat keagamaan Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa.
Pendidikan agama pertama didapatkan beliau dari ayahnya, KH Umar.kemudian dilanjutkan berguru kepada Kyai Haji Syahid, ulama besar di Waturoyo, Pati, Jawa Tengah. Setelah menimba ilmu di Pati, kemudian ayahnya mengirim beliau ke Semarang untuk memperdalam ilmu agama kepada beberapa ulama Jawa yang terkenal pada saat itu, diantaranya KH Muhammad Saleh Asnawi Kudus, Kyai Haji Ishaq Damaran, Kyai Haji Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (Mufti Semarang), Kyai Haji Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan Kyai Haji Abdul Ghani Bima.
Selain berguru kepada ulama-ulama Jawa, beliau juga menimba ilmu di Makkah. Bermula dari kalahnya Pangeran Diponegoro pada perang Jawa, pergilah Syekh Shalih Darat bersama ayahnya ke Singapura. Kemudian dari Singapura dilanjutkan perjalanan menuju Makah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu selama bertahun-tahun. Kemudian setelah dirasa ilmunya cukup, beliau diizinkan untuk mengajar di Makkah. Murid-muridnya berasal dari berbagai negara, termasuk dari Nusantara dan patani, Thailand.
Setelah beberapa tahun menimba ilmu di Makkah, sekembalinya beliau ke Nusantara, beliau memulai dakwahnya dengan mendirikan pondok pesantren di Kampung Mlayu Darat. Dari sinilah mula-mula panggilan Sholih Darat disematkan padanya. Karena ketika seseorang pulang dari menuntut ilmu dari Makkah atau luar negeri maka seyogyanya memiliki lembaga untuk menyebarkan dan mengamalkan ilmu yang sudah didapat. Beliau juga menantu Kyai Murtadho, ulama terkenal pada masa itu.
Syekh Shalih Darat menikah 3 kali semasa hidupnya. Ketika di Makkah beliau menikah dengan seorang perempuan yang tidak diketahui namanya. Darinya lahir seorang putra, bernama Ibrahim. Namun tak lama kemudiang sang istri meninggal sebelum beliau kembali ke Nusantara. Sedangkan putranya, Ibrahim tidak dibawa serta ke Nusantara. Kedua kalinya , sepulang dari Makkah, beliau menikah dengan putri Kyai Murtadho yang bernama Shofiyyah. Dari pernikahan ini melahirkan Yahya dan Khalil. Kemudian pernikahan yang ketiga, Syekh Shalih Darat menikah dengan Aminah,gadis keturunan Arab, puteri Bupati Bulus, Porworejo. Menghasilkan putri yang bernama Siti Zahrah.
Beliau adalah ulama yang sangat berpengaruh di pulau Jawa pada abad 20, dan menjadi guru dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Beliau sezaman dengan Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Cholil Bangkalan. Dan ketiganya sama-sama menuntut ilmu dan menjadi tenaga pengajar di Makkah . Karya-karya beliau masih dipakai dan dikaji di pesantren-pesantren salaf, salah satunya adalah kitab fasholatan.
Pertemuan syaikh Sholeh Darat dengan RA. Kartini
Raden Ajeng Kartini yang lahir di Mayong, Jepara 21 April 1879. Ayahnya bernama R.M Adipati Ario Sosroningrat., sedang ibunya adalah seorang selir bernama Ngasirah. Saudara kandungnya hanya satu, R.M Sosrokartono.
Disebutkan bahwa RA Kartini, pejuang perempuan Indonesia pada masa pra kemerdekaan adalah murid Shalih Darat. Pertemuannya dengan RA Kartini dimulai ketika Syaikh Shalih diundang untuk mengisi pengajian di rumah paman RA Kartini, Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak. Kartini ikut mendengarkann pengajian tersebut yang pada waktu itu sedang membahas tafsir surat Al-Fatihah dalam bahasa Jawa.
Sebagai orang awam yang tidak mengetahui bahasa arab, Kartini sangat tertarik. Kemudian Kartini memaksa pamannya untuk menemani menemui Syaikh Shalih Darat. Dan mengungkapkan kekaguman Kartini pada tafsir al-Quran yang disampaikan tersebut.Karena pada masa itu al-Quran tidak boleh diterjemahkan dalam bahasa apapun. Penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa pertama kali dilakukan oleh Syaikh Shalih Darat.
Tafsir al-Quran dalam bahasa Jawa ini kemudian dinamai dengan kitab Faidh Rahman. Namun belum sampai selesai 30 juz penafsiran tersebut, Syaikh Shalih Darat wafat. Kitab ini juga yang dihadiahkan Syaikh Shalih Darat kepada RA Kartini sebagai kado pernikahan ketika menikah dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang.
Sebelumnya, Kartini adalah seorang yang sinkretis. Dilihat dari surat Kartini kepada Stella tahun 1899 “ Tentang ajaran agama Islam itu, tak dapat aku menceritakanya karena Ia melarang para pemeluknya mempercakapkannya dengan orang lain yang tidak seiman. Dan bagaimanapun aku adalah seorang Muslimat, karena leluhurku beragama Islam.
Bagaimana mungkin aku bisa mencintai agamaku, kalau aku tidak mengenalnya? Tidak boleh mengetahuinya? Quran terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun. Disini tiada seorangpun mengenal Bahasa Arab.” Kartini adalah seorang yang religius, tanpa berpegang pada bentuk-bentuk keibadahan, ia termasuk golongan kebatinan, Tuhan dipahami sebagai sumber hidup, yang mengikat setiap orang denganNya, tak peduli agama yang dianut.
Dalam suratnya kepada Abendanon “ Tahun-tahun datang dan mereka kemudian pergi. Kami bernama orang orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah bagi kami adalah seruan, adalah kata adalah bunyi tanpa makna. Demikianlah kami hidup terus, sampai terbitlah hari yang akan mendatangkan pergulingan di dalam kehidupan rohani kami.
Pertemuannya dengan Shalih Darat telah mengubah pandangannya terhadap Islam dan semakin memahami Islam sebagai hakikiat sebuah agama. Dan bisa memahami Islam dengan bahasa ibunya, bahasa jawa lewat tafsir syaikh Shalih Darat. []