Pendidikan agama adalah bagian integral dalam kehidupan banyak keluarga di Indonesia. Agama tidak hanya menjadi sumber inspirasi spiritual, tetapi juga merupakan identitas budaya yang kuat. Namun, dalam kerangka keberagaman agama yang begitu kaya seperti Indonesia, penting untuk menjaga keseimbangan antara pendidikan agama dan nilai-nilai toleransi. Sayangnya, menurut survei yang dirilis King’s College London, pendidikan orang tua pada anak justru menunjukkan sebaliknya.
Survei dari King’s College London mengungkap nilai-nilai apa yang menjadi prioritas untuk anak di keluarga. Ada 11 sikap yang dijadikan opsi di studi ini, yaitu: Tidak Egois, Imajinasi, Sikap Baik, Rasa Tanggung Jawab, Kepatuhan, Hemat, Kepercayaan Agama, Independensi, Toleransi dan Hormat ke Orang Lain, Determinasi dan Kegigihan, serta Kerja Keras.
Perbedaan kultur tiap-tiap negara yang disurvei menghasilkan prioritas nilai yang berbeda-beda. Para responden lantas ditanya hal-hal apa saja yang paling penting diajarkan ke anak-anak di rumah. Hasilnya, para orang tua Indonesia ternyata sangat peduli dalam hal agama. Sebanyak 75% responden dari Indonesia menyatakan bahwa agama penting diajarkan untuk anak-anak.
Angka 75% itu membuat Indonesia sebagai negara kedua setelah Mesir (82%) yang sangat menganggap penting pendidikan agama. Lima negara terbawah yang menganggap agama tidak penting adalah Inggris (9%), Prancis (9%), Norwegia (6%), Jepang (4%), dan China (1%).
Di satu sisi, sebagai salah satu negara paling relijus di dunia, kabar ini tentu terdengar baik. Para orang tua di Indonesia sadar bahwa anak-anak mereka harus dibekali pendidikan agama yang cukup sejak dini, baik dalam dari ranah keluarga maupun institusi pendidikan. Namun di sisi lain, kesadaran akan pentingnya pendidikan agama pada anak tidak berbanding lurus dengan kesadaran akan pentingnya edukasi toleransi. Survei menunjukkan bahwa orang tua Indonesia mengesampingkan dua nilai penting, yaitu toleransi dan sikap tidak egois
Terkait toleransi, skor Indonesia adalah nomor dua dari bawah. Hanya 45% responden Indonesia yang menganggap toleransi itu penting diajarkan ke anak-anak di rumah. Skor Indonesia bahkan lebih rendah dari Rusia (56%) dan Korea Selatan (51%). Lima negara yang menilai bahwa toleransi penting diajarkan adalah Swedia (93%), Norwegia (90%), Prancis (84%), Jerman (84%), dan Spanyol (82%).
Jika hasil survei memang mencerminkan demikian maka seharusnya ini bukanlah kabar yang baik, justru ironis. Bagaimana bisa para orang tua semangat mendorong anaknya belajar agama, namun acuh terhadap pendidikan toleransi. Padahal, jika seseorang mendaku beragama, ia akan berusaha untuk menjadi pribadi yang toleran dengan sendirinya.
Padahal, pada tataran tertentu terlalu sibuk mempelajari ilmu agama justru bisa memasukkan seseorang ke neraka. Hal ini tersebut dalam sabda Rasulullah;
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
“Siapa yang menuntut ilmu agama, tujuannya agar melampaui para ulama atau mendebat orang-orang yang bodoh atau agar orang-orang berpaling kepadanya, pasti Allah masukkan ia ke dalam neraka.” (Riwayat al-Tirmidzi dari Ka’ab bin Malik, hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam al-Musnad).
Di sinilah letak pentingnya pendidikan toleransi pada anak. Pendidikan toleransi membantu membangun masyarakat yang inklusif, di mana semua individu merasa diterima dan dihormati tanpa memandang latar belakang mereka. Ini menciptakan lingkungan yang lebih positif bagi perkembangan anak-anak. Pendidikan toleransi sejak dini membantu anak-anak memahami bahwa nilai-nilai ini bersifat universal dan dapat diselaraskan dengan keyakinan agama mereka.
Edukasi nilai-nilai toleransi pada anak justru relevan di era medsos yang sarat dengan echo-chamber ini. Konsumsi anak-anak yang relatif masih terhadap media sosial rentan mempertemukan mereka dengan narasi-narasi kebencian, memecah belah, dan radikal. Dengan tingkat kerentanan yang tinggi, kurangnya edukasi pada anak sejak dini bisa merubah mereka menjadi antipati, yang jika dikelola secara ideologis dapat memunculkan kebencian terhadap yang berbeda. Ditambah, media sosial sangat berperan dalam mengkristalisasi perbedaan-perbedaan itu.
Pendidikan nilai-nilai toleransi sejak dini adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Orang tua, guru, dan pemimpin masyarakat memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan ini kepada anak-anak. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa generasi mendatang akan tumbuh sebagai individu yang menghormati perbedaan, membangun masyarakat yang lebih harmonis, dan menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik bagi semua. Dalam mengedukasi anak-anak tentang toleransi, kita memberikan warisan yang berharga yang akan berdampak positif selamanya.