Terima kasih kami haturkan kepada junjungan, sang kekasih tercinta; Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Karenanya, kami bisa hidup di tengah kebisingan dan hiruk pikuk duniawi. Bisa turut serta memahami dan menikmati dua warisan monumental yang tiada nilai harganya; al-Qur’an dan Hadis. Dari al-Qur’an, kami belajar bagaimana berinteraksi dengan umat manusia yang lain. Dengan hadis, kami belajar syari’at yang menjadi aturan hidup, mulai dari tidur hingga terbangun kembali. Semuanya itu, kami pelajari, melalui para alim ulama’ dan kiai. Jadi kalau cuma warisanmu yang berupa al-Qur’an Hadis saja, tidak cukup Njeng Nabi bagi saya yang bodoh ini. Sebab itu, saya harus memahaminya dengan ijma’ dan qiyas yang diajarkan oleh para alim ulama’ dan masyayikh.
Dan kami, tidak cukup kiranya hanya mempelajari dua warisanmu itu hanya melalui Mbah Google yang tidak ada sanad keilmuannya sama sekali.
Dengan kehadiranmu di dunia ini, kami juga bisa belajar mengenai tata cara berislam dan beragama yang tanpa melukai yang lain. Berislam yang rahmah dan ramah, bukan berislam yang suka marah-marah. Biarlah apapun label yang dilekatkan pada hamba ini; liberal, fundamental, abangan, sesat, kejawen, singkretik, ataupun yang lain, saya tidak peduli itu, njeng nabi. Karena kecintaanku padamu sudah melampaui label-lebel itu semua. Setahuku, ajaranmu itu terletak pada budi pekerti, akhlak, moralitas, kasih sayang, bukan Islam dengan ‘bungkus’ atau hanya tampilan luar; berjubah besar, bersorban, atau tampilan yang lain hingga bisa disebut sebagai ‘Islam kaffah’.
Maafkan saya wahai Njeng Nabi, bahwa sampai saat ini, saya belum bisa menjalankan syari’atmu secara sempurna. Masih banyak maksiat dan dosa-dosa yang saya lakukan. Oleh sebab itu, dengan berkah di hari lahirmu ini, tepat di hari ini, saya tidak meminta apa-apa kecuali berharap bisa mendapatkan syafa’atmu serta pengakuan bahwa aku adalah umatmu.
Maafkan saya wahai Njeng Nabi, di bulan ini, saya cuma bisa mempersembahkan hadiah bacaan sholawat dan menghadiri acara maulid, demi menghormati kelahiranmu. Saya tidak tahu Njeng Nabi, selain di bulan ini, kapan lagi saya akan menghadiri maulid yang katanya bid’ah itu. Memang Njeng Nabi, saya masih kalah dengan Abu Lahab, pamanmu. Yang ketika itu, Abu Lahab mendengar Aminah istri Abdullah melahirkan, matanya berlinang bahagia, hingga budak yang menjadi tawanannya pun dibebaskan demi menghormati kelahiranmu. Tetapi saya? ternyata masih terlalu mudah diperbudak oleh hawa nafsu dan urusan duniawi.
Wahai Njeng Nabi, saya pernah mendengarkan kisah dari seorang kiai, bahwa ketika hari Senin tiba, Abu Lahab siksanya dihentikan lantaran beliau pernah menghormati kelahiranmu dengan membebaskan budak tawanannya, tetapi, mengapa oleh sebagaian umatmu saat ini, apabila menghormati kelahiranmu dengan bersedekah dan membacakan sirahmu; dziba’, barjanzi, burdah dan simthut dhuror, dikatakan sebagai bid’ah Njeng Nabi? Ya, sekali lagi aku tidak mempersoalkan itu, karena rasa cintaku padamu sudah melampaui itu semua. Aku tidak peduli dengan pelabelan-identitas itu.
Menghormati kelahiranmu dengan membaca maulid di sebuah forum di kampung-kampung, melalui mushola dan masjid, di situ saya berkumpul dengan banyak orang, bersilaturahim. Dengan begitu, kami bisa bertegur sapa bersama saudara dan tetangga. Assalamu’alaika Yaa Rasulallah, Assalamu’alaika Yaa Habiballah, semua melebur menjadi satu. Sungguh saya merasakan aroma surgawi di tengah-tengah majlis itu. Yang ada hanyalah kerinduan, walaupun kami belum pernah bertegur sapa denganmu, wahai Nabiku. Saya tidak tahu, di Mesir, Suriah, Sudan, dan Afganistan, yang terjadi banyak bom itu apakah juga ada perayaan seperti yang ada di kampung kami ini. Melebur bersama, makan bersama, tanpa labelisasi bid’ah, syirik, apalagi kafir.
Jika aku mencintai ulama’, kiai, wali, dan berziarah ke makam beliau semua itu, bukan berarti saya menyembahnya wahai Njeng Nabi. Akan tetapi, itu sebagai wujud syukurku atas jasa-jasa beliau di tanah Nusantara ini, sehingga aku bisa mengenal Islam dan mengenal ajaran-ajaranmu. Bukankah saling mendoakan itu adalah ajaranmu?
Dengan berziarah dan nyarkub itu, saya juga diingatkan bahwa hidup di dunia ini tidaklah selamanya, abadi. Bukankah itu ajaranmu juga wahai Njeng Nabi, untuk selalu mengingat mati? dengan berziarah pula, saya pun disadarkan bahwa tidak perlu menumpuk duniawi yang berlebihan hingga lupa ukhrawi, dan tidak perlu juga mempertahankan jabatan mati-matian hingga mengorbankan rasa kemanusiaan dan bertumpah darah.
Melalui surat terbuka ini wahai njeng Nabi Muhammad Saw. Ijinkan saya menuliskannya sebagai rasa terima kasih dan syukurku kepadamu. Sebagai wujud rasa cintaku di hari lahirmu. Sebagai wujud hinanya aku sebagai umatmu yang belum bisa menjalankan sepenuhnya syari’atmu. Shalat saja masih banyak bolong-bolongnya, banyak para fakir, miskin, anak yatim piatu, yang berlalu lalang didepanku tetapi aku hiraukan. Sungguh mohon maaf atas semua kesalahanku. Mohonkan ampunku ini kepada beliau Dzat Maha Segalanya; Maha Pemaaf, Maha Pengampun, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Dzat yang Maha segala Maha.
Aku tidak tahu, harus berucap apalagi atas segala kenikmatan sebagai umatmu, bahkan nabi Musa pun iri dan ingin menyatakan diri sebagai umatmu. Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah. “Laulaaka, Laulaaka Limaa Khalaqtul Aflak“. Andaikata tidak karena engkau, andaikata tidak karena engkau wahai Muhammad Saw, kekasihku, niscaya tidak akan aku ciptakan alam semesta ini. Demikian sabda Tuhan dalam hadis qudsinya.
Oh ya Njeng Nabi, di bulan Desember ini, kebetulan hari kelahiranmu; 12 Rabi’ul Awal atau 1 Desember, berselang dua puluh empat hari dengan perayaan hari lahirnya Nabi Isa, 25 Desember. Jenengan berdua adalah pembawa syari’at Nabi sebelumnya, Nabi Ibrahim. Membela yang lemah, membebaskan yang tertindas dan mengulurkan tangan untuk semua yang membutuhkan. Oleh sebab itu, ijinkanku mengucapkan salam sejahtera untuk panjenengan berdua, Allahhumma Sholli Wasallim ‘ala Sayyidina Muhammad wa Nabi Isa, ‘alaihma as-Salam.
Dengan penuh rasa ta’dzimku kepadamu, di akhir surat ini, ijinkanku mengakhirinya dengan sya’ir yang digubah oleh Imam Al-Bushiri di dalam kitab Burdahnya. “Maula ya sholli wasallim daa-iman abadan ‘ala habibika khoiril kholqi kullihimi. Huwal habibulladzi turja syafa’atuhu likulli haulim minal ahwalimuktahimi. Yarobbibil musthofa balligh maqoshidana waghfir lana ma-madho ya waa-si’al karomi”.
Aku berharap, malam ini panjenengan berkenan hadir di dalam mimpiku.
Assalamu’alaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh.
Ditulis oleh: Muhammad Autad Annasher,
hamba yang fana.