Ada semacam paradoks yang sepeetinya tak pernah berhenti meracuni kultur sosial keagamaan kita, yaitu munculnya kelompok-kelompok yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Muhammad, namun perilakunya justru berkebalikan dengan akhlak Nabi. Contoh paling konkrit adalah tentang pelarangan bahkan pembakaran rumah ibadah oleh oknum-oknum yang mengaku sangat mencintai Rasulullah.
Satu kasus di atas hanya secuil dari banyak tindakan-tindakan intoleransi yang dilakukan oleh oknum Muslim terhadap agama lain. Mengapa dikatakan paradoks? Karena itu bukan ajaran Nabi Muhammad dan tidak menggambarkan wajah Islam sama sekali. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah surat perjanjian Nabi Muhammad terhadap orang-orang Kristen Najran yang sekiranya relevan sebagai bahan instropeksi kita bersama dalam menyikapi paradoks-paradoks tersebut.
Surat tersebut dikutip oleh Prof. Quraish Shihab yang mengambil riwayat dari Abu Dawud, dan dikutip juga oleh Abi Yusuf dalam kitabnya, al-Kharraj dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya, Zad al-Ma’ad. Kitab al-Kharraj miliki Abi Yusuf sebenarnya adalah kitab tentang ekonomi negara, namun terdapat satu pembahasan tentang ghanimah dan jizyah yang ada kaitannya dengan orang-orang non-Muslim.
Merujuk buku Raghib as-Sirjani, Rasulullah Teladan Untuk Semesta Alam, sepanjang hidupnya, terutama dua tahun terakhir dari kehidupannya, Rasulullah ternyata pernah mengadakan beragam perjanjian dengan tiga kelompok umat Kristen. Salah satunya adalah orang-orang Kristen Najran.
Ceritanya, Nabi Muhammad mengundang kaum Najran untuk datang ke Madinah. Umat Kristen Najran kemudian mengirim 14 orang, dalam riwayat lain disebutkan 60 orang dan 45 di antaranya sarjana Kristen. Nabi SAW mengundang mereka untuk berdiskusi dan berdialog. Rombongan umat Kristen Najran itu dipimpin tiga orang; Al-Aqib sebagai pemimpin rombongan. As-Sayyid sebagai pengatur perjalanan, dan Abul Harits sebagai penanggung jawab urusan keagamaan
Delegasi Kristen Najran disambut baik Nabi Muhammad dan umat Islam setiba di Madinah. Nabi mula-mula mengajak mereka untuk memeluk Islam. Hanya saja, mereka menolaknya. Mereka kemudian terlibat dalam perdebatan dengan tema yang bervariasi, mulai dari persoalan teologi, definisi Muslim, status Nabi Isa hingga politik dan pemerintahan. Dalam hal-hal tertentu mereka bertemu, namun dalam hal-hal tertentu lainnya, seperti persoalan teologi, mereka tidak sepakat. Tidak ada titik temu di antara mereka mengenai hal itu.
Di akhir dialog, untuk menjaga ketidak-sepakatan agar tidak menjadi konflik di kemudian hari, Nabi Muhammad menjalin perjanjian damai dengan rombongan Kristen Najran. Sebetulnya, Nabi Muhammad bisa saja ‘menghabisi’ delegasi Najran mengingat mereka tidak memiliki kekuatan saat itu. Namun, Nabi memilih untuk membuat surat perjanjian damai dengan mereka. Melalui perjanjian ini, Nabi Muhammad ingin menanamkan fondasi perdamaian, toleransi, dan moderasi antara umat Islam dengan umat non-Muslim, begini bunyi surat itu,
“Najran dan kelompoknya serta semua penganut agama Nasrani di seluruh dunia berada dalam perlindungan Allah dan pembelaan Muhammad Rasulullah menyangkut harta benda, jiwa, dan agama mereka, baik yang hadir (dalam pertemuan ini) maupun yang gaib. Termasuk juga keluarga mereka, tempat-tempat ibadah mereka, dan segala sesuatu yang berada dalam wewenang mereka, sedikit atau banyak.
Saya berjanji melindungi pihak mereka, dan membela mereka, gereja dan tempat-tempat ibadah mereka serta tempat-tempat pemukiman para rahib dan pendeta-pendeta mereka, demikian juga tempat-tempat suci yang mereka kunjungi. Saya juga berjanji memelihara agama mereka dan cara hidup mereka—di mana pun mereka berada—sebagaimana pembelaaan saya kepada diri dan keluarga dekat saya serta orang-orang Islam yang seagama dengan saya. Karena saya telah menyerahkan kepada mereka perjanjian yang dikukuhkan Allah bahwa mereka memiliki hak serupa dengan hak kaum Muslim dan kewajiban serupa dengan kewajiban mereka. Kaum Muslim pun berkewajiban seperti kewajiban mereka berdasar kewajiban memberi perlindungan dan pembelaan kehormatan sehingga kaum Muslim berkewajiban melindungi mereka dari segala macam keburukan dan dengan demikian mereka menjadi sekutu dengan kaum Muslim menyangkut hak dan kewajiban.
Tidak boleh uskup dari keuskupan mereka diubah, tidak juga kekuasaan mereka, atau apa yang selama ini mereka miliki. Tidak boleh juga dituntut seseorang atas kesalahan orang lain, sebagaimana tidak boleh memasukkan bangunan mereka ke bangunan masjid atau perumahan kaum Muslim. Tidak boleh juga mereka dibebani kezaliman menyangkut pernikahan yang mereka tidak setujui. Keluarga wanita masyarakat Nasrani tidak boleh dipaksa mengawinkan anak perempuannya kepada pria kaum Muslim. Mereka tidak boleh disentuh oleh kemudharatan kalau mereka menolak lamaran atau enggan mengawinkan karena perkawinan tidak boleh terjadi, kecuali dengan kerelaan hati. Apabila seorang wanita Nasrani menjadi istri seorang Muslim, maka sang suami harus menerima baik keinginan istrinya untuk menetap dalam agamanya dan mengikuti pemimpin agamanya serta melaksanakan tuntunan kepercayaannya. Tidak boleh hal ini dilanggar. Siapa yang melanggar dan memaksa istrinya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan urusan agamanya, maka ia telah melanggar perjanjian (yang dikukuhkan) Allah dan mendurhakai janji Rasul-Nya dan ia tercatat disisi Allah sebagai salah seorang Pembohong.
Buat para penganut agama Nasrani, bila mereka memerlukan sesuatu untuk perbaikan tempat ibadah mereka, atau satu kepentingan mereka dan agama mereka, bila mereka membutuhkan bantuan dari kaum Muslim, maka hendaklah mereka dibantu dan bantuan itu bukan merupakan utang yang dibebankan kepada mereka, tetapi dukungan buat mereka demi kemaslahatan agama mereka serta pemenuhan janji Rasul (Muhammad saw.) kepada mereka dan anugerah dari Allah dan Rasul-Nya buat mereka. Tidak boleh seorang Nasrani dipaksa untuk memeluk agama Islam, “Janganlah mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berselisih pendapat denganmu, kecuali dengan cara yang paling baik. Kecuali dengan orang-orang yang melampaui batas dan katakan, “Kami percaya dengan apa yang diturunkan Allah kepada kami, (al-Qur’an), juga dengan apa yang diturunkan kepada kalian (Taurat dan Injil). Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu. Dan kami hanya tunduk kepada-Nya semata.” (QS. al-‘Ankabut 46). Mereka hendaknya diberi perlindungan berdasar kasih sayang dan dicegah segala yang buruk yang dapat menimpa mereka kapan dan di mana pun.”
Tidak perlu rasanya menjelaskan lebih lanjut mengenai konten surat perjanjian tersebut karena sepertinya sudah jelas isinya dan poin-poin prinsipilnya. Yang perlu direnungkan adalah bahwa orang-orang non-Islam tidak akan melihat Islam dari kitab suci dan sejarah peradabannya, tetapi mereka akan melihat Islam dari para pemeluknya. Oleh karenanya, jadilah pemeluk yang mencerminkan ajaran Islam yang baik, sehingga impresi mengenai Islam sebagai agama perang dan kekerasan bisa kita hapuskan.