Seorang teman dekat kami mengirimkan video yang kira-kira berisi mengajak orang-orang terutama anak muda, agar berani menikah. Saya hanya tersenyum saja. Penceramah tersebut mengatakan bahwa ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan bahwa seburuk-buruk kalian adalah yang membujang. Dalam redaksi Arabnya, beliau mengatakan
شراركم عزابكم وأراذل موتاكم عزابكم
“Seburuk-buruk kalian adalah yang membujang, dan yang wafat dalam keadaan terhina adalah yang membujang”
Beliau menerjemahkan ‘uzzab dengan “jomblo”, istilah yang populer digunakan saat ini untuk orang yang belum menikah, tapi umumnya oleh masyarakat umum digunakan untuk orang yang tidak punya kekasih. Tapi saya tidak fokus ke jomblo, yang menarik adalah predikat yang disandang seorang jomblo, orang paling buruk.
Saya yang mungkin kurang mengetahuinya, mencoba untuk mengkaji hadis tersebut dan bertanya juga, bagaimana dengan ulama dalam perjalanan sejarah yang tidak (atau mungkin tidak sempat) menikah? Apakah mereka juga masuk ke dalam kategori yang terburuk. Bagaimana juga dengan ulama yang membahas pernikahan secara panjang lebar, sehingga menyimpulkan bahwa jika menikah dapat melalaikan seorang hamba dari Tuhan, sebaiknya ia meninggalkannya. Apakah itu adalah pendapat yang buruk? Mari kita urai dengan perlahan
Hadis Bermasalah
Setelah kami cari, hadis tersebut dapat ditemukan di dalam kitab-kitab hadis yang masyhur, misalnya al-Musnad karya Ahmad bin Hanbal dan al-Mu’jam al-Awsath karya al-Thabarani. Redaksi singkat di atas dapat kita temukan di dalam al-Mu’jam al-Awsath. Sementara, redaksi yang lebih panjang, disertai dengan cerita bagaimana ungkapan tersebut bisa terucap, dapat kita temukan dalam Musnad Ahmad, al-Ahad wa al-Matsaani karya Ibn Abi Nu’aim. Berikut teks lengkap hadisnya,
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: عَكَّافُ بْنُ بِشْرٍ التَّمِيمِيُّ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَا عَكَّافُ، هَلْ لَكَ مِنْ زَوْجَةٍ؟ ” قَالَ: لَا. قَالَ: “وَلَا جَارِيَةٍ؟ ” قَالَ: وَلَا جَارِيَةَ. قَالَ: “وَأَنْتَ مُوسِرٌ بِخَيْرٍ؟ ” قَالَ: وَأَنَا مُوسِرٌ بِخَيْرٍ. قَالَ: “أَنْتَ إِذًا مِنْ إِخْوَانِ الشَّيَاطِينِ، لَوْ كُنْتَ فِي النَّصَارَى كُنْتَ مِنْ رُهْبَانِهِمْ، إِنَّ سُنَّتَنَا النِّكَاحُ، شِرَارُكُمْ عُزَّابُكُمْ، وَأَرَاذِلُ مَوْتَاكُمْ عُزَّابُكُمْ، أَبِالشَّيْطَانِ تَمَرَّسُونَ مَا لِلشَّيْطَانِ مِنْ سِلَاحٍ أَبْلَغُ فِي الصَّالِحِينَ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا الْمُتَزَوِّجُونَ، أُولَئِكَ الْمُطَهَّرُونَ الْمُبَرَّؤُونَ مِنَ الْخَنَا، وَيْحَكَ يَا عَكَّافُ، إِنَّهُنَّ صَوَاحِبُ أَيُّوبَ وَدَاوُدَ، وَيُوسُفَ وَكُرْسُفَ “. فَقَالَ لَهُ بِشْرُ بْنُ عَطِيَّةَ: وَمَنْ كُرْسُفُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: “رَجُلٌ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ بِسَاحِلٍ مِنْ سَوَاحِلِ الْبَحْرِ ثَلَاثَ مِائَةِ عَامٍ، يَصُومُ النَّهَارَ، وَيَقُومُ اللَّيْلَ، ثُمَّ إِنَّهُ كَفَرَ بِاللهِ الْعَظِيمِ فِي سَبَبِ امْرَأَةٍ عَشِقَهَا، وَتَرَكَ مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ عِبَادَةِ اللهِ، ثُمَّ اسْتَدْرَكَ اللهُ بِبَعْضِ مَا كَانَ مِنْهُ فَتَابَ عَلَيْهِ، وَيْحَكَ يَا عَكَّافُ تَزَوَّجْ، وَإِلَّا فَأَنْتَ مِنَ الْمُذَبْذَبِينَ ” قَالَ: زَوِّجْنِي يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: “قَدْ زَوَّجْتُكَ كَرِيمَةَ بِنْتَ كُلْثُومٍ الْحِمْيَرِيِّ
“Dari Abu Dzar al-Ghifari Ra., beliau berkata: “Ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Saw., namanya ‘Akkaaf bin Bisyr al-Tamimi. Rasulullah Saw. berkata kepadanya: “Akkaf, kamu sudah beristri ?” ‘Akkaf menjawab: “Tidak ada Nabi.” Nabi Saw.: “budak perempuan pun, tidak ada ?” ‘Akkaf menjawab: “tidak ada juga.” Nabi Saw. bertanya lagi: “kamu tidak kesusahan ?” ‘Akkaf menjawab:”saya hidupnya mudah, sejahtera.” Nabi Saw. berkata: “berarti kamu adalah saudara setan. Kalau engkau orang kristiani, engkau jadi biarawan saja. Sunnah (agama) kita adalah menikah. Orang-orang yang terburuk adalah orang yang membujang. Dan orang yang wafat dalam keadaan hina adalah orang yang membujang. Apakah kamu sedang bermain-main dengan setan. Tidak ada “pedang” paling ampuh dengan setan terhadap orang-orang saleh selain perempuan, kecuali bagi yang menikah. Orang yang menikah adalah orang-orang yang disucikan dan terlepas dari kekotoran. Celakalah kamu ‘Akkaf !, perempuan lah yang bersama Nabi Ayyub, Nabi Dawud, dan Kursuf (lalu membuat mereka bermasalah). Bisyr bin ‘Athiyyah lalu bertanya: “Siapa itu Kursuf, wahai Nabi ?” Nabi Saw. menjawab: “pemuda yang beribadah kepada Allah di sebuah pinggir laut selama tiga ratus tahun. Dia berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari. Kemudian, ia (berubah) menjadi kafir hanya karena seorang wanita yang ia cintai, ia pun meninggalkan yang dulu dilakukan seperti beribadah kepada Allah. Kemudian, Allah memberikannya hidayah sehingga ia bertaubat. Celaka kamu ‘Akkaf, menikahlah ! , jika tidak kamu menjadi orang yang tidak berpendirian.” ‘Akkaf pun menjawab: “nikahkan saya wahai Rasul. Nabi Saw. menjawab: “sekarang aku sudah nikahkan kamu dengan Karimah bint Kultsum al-Himyari.”
Ada beberapa catatan yang saya temukan dari hadis ini. Pertama, nama ‘Akkaf. Di dalam kitab lain yang menyebutkan kisah ini, ‘Akkaf memiliki nama lengkap ‘Akkaf bin Wadda’ah al-Hilali (mohon dikoreksi jika penyebutan nama keliru). Ibn Hajar al-‘Asqalani, dalam karyanya tentang ensiklopedi sahabat, al-Ishabah fi Tamyiiz al-Shahabah, mengatakan bahwa nama ‘Akkaf bin Bisyr adalah pendapat yang tidak kuat (syaadz), karena seluruh riwayat lain menyebutkan dengan nama ‘Akkaf bin Wadda’ah al-Hilali.
Kedua, hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari ini, di dalam sanad-nya terdapat seorang perawi yang hanya disebut Rajul, tidak diketahui namanya. Penyebutan seperti ini disebut mubham. Namun, dalam Mushannaf ‘Abd al-Razzaq, perawi yang tidak disebut namanya itu bernama Ghudaif bin al-HaritsDan hadisnya, sangat besar kemungkinan lemah. Ketiga, dari Makhul sampai Abu Dzar, periwayatan menggunakan shighat periwayatan, ‘an’anah, menggunakan ‘an dari satu perawi ke perawi lain. Ini juga berpotensi besar menyebabkan hadis menjadi lemah.
Untuk menghindari kekeliruan, saya bersandar kepada komentar-komentar para ulama terhadap hadis ini. Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam al-Ishabah mengatakan hadis ‘Akkaf ini memiiki beberapa jalur yang di dalamnya tidak bisa lepas dari perawi yang lemah dan sanad yang kacau (idhtirab). Di lain tempat, Ibn Hajar juga mengatakan hadis ini munkar. Dalam khazanah kajian hadis, hadis-hadis yang seperti ini tidak boleh digunakan untuk berdalil untuk memutuskan sebuah hukum. Namun, sebagai keutamaan atau motivasi (al-targhib), hadis ini masih bisa dijadikan dalil.
Hadis Sahih tentang Menikah
Dari segi konten (matan), semangat dari hadis tersebut sebenarnya baik. Nabi Saw. – jika memang sahih – pernah berpesan bahwa orang yang sudah berkecukupan secara materi dan mampu untuk menikah lalu tidak melakukannya, sangat potensial terkena godaan duniawi berupa hubungan yang bisa haram, dengan perempuan, ketika tidak disatukan dengan ruang lingkup pernikahan. Hadis yang sahih, yang sering dijadikan dalil disunnahkannya menikah adalah hadis yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, siapa yang diantara kalian mampu untuk menikah, maka menikahlah karena sesungguhnya menikah dapat menundukkan pandangn dan menjaga kemaluan. Maka siapa yang belum mampu (menikah), hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah pelindung.
Hadis di atas menjadi dalil kesunahan seseorang untuk segera menikah ketika sudah memiliki baa’ah yang oleh para ulama ditafsirkan mencakup kemampuan fisik biologis, maupun kemampuan harta benda. Jika keduanya belum terpenuhi atau salah satunya, para ulama kemudian menurunkan hukum pernikahan menjadi beberapa macam, bisa sunnah, boleh, makruh, ataupun haram tergantung kondisi seorang muslim.
Ada juga hadis lain yang kira-kira memiliki pesan yang sama tentang warning bagi sebuah keluarga yang putrinya dilamar oleh orang baik-baik namun tidak menerimanya. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam kitab Sunan-nya, dari Abu Hurairah Ra.
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ، وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Jika ada seorang yang datang melamar kepada kalian (para orang tua perempuan), dan kalian ridha dengan agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia dengan anak perempuan anda. Jika tidak kalian lakukan, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.”
Dari hadis di atas, kita dapat menyimpulkan bahwasanya dalam memilihkan pasangan hidup bagi anak perempuannya, orang tua seyogyanya tidak memberikan pertimbangan terlalu ketat kecuali dalam persoalan agama dan akhlak. Karena, jika terlalu fokus kepada selain dua hal tersebut, misalkan kepada harta benda atau fisik sehingga membuat anak putri nya tidak kunjung menikah atau menyulitkan pria tadi, maka kemudaratan yang ditimbulkan lebih besar meskipun tergesa-gesa dalam memilih pasangan hidup memang tidak dianjurkan.
Selengkapnya, klik di sini