Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Traditional Islam in the Modern World (1987) memberikan pemetaan tentang beberapa aliran dalam Islam. Ia membaginya menjadi: fundamentalisme/revivalisme, modernisme, mesianisme dan tradisionalisme. Dalam uraiannya tentang fundamentalisme, ia menuturkan bahwa antipati bahkan kontra kelompok ini terhadap pemikiran Islam tradisional dan merupakan lahan empuk di mana terjadi ‘penyembelihan intelektual’ (intellectual onslaught).
Mengapa Nasr menyebutnya ‘penyembelihan intelektual’? Sebab kelompok fundamentalis ini tidak mengembangkan tradisi intelektual bahkan cenderung memusuhinya.
Padahal diskursus materialisme, sekularisme, modernisme, maupun ateisme merupakan diskursus yang secara ketat memijakkan diri pada prinsip-prinsip logika. Sementara mereka yang fundamentalis ini sama sekali tidak mau memakai prinsip-prinsip tersebut dan langsung bersandar pada dalil-dalil semata.
Bagi pemeluk Islam yang memiliki pemikiran kritis, prinsip-prinsip logika yang membawa pada kesimpulan tertentu memiliki kekuatan sekaligus kelemahan-kelemahan tertentu. Karenanya, memakai prinsip-prinsip logika yang sama merupakan hal yang harus dilakukan untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan tersebut. Kecenderungan kaum fundamentalis/revivalis ini cukup garib, beragama dipandang tidak mesti memakai akal. Bahkan mereka cenderung memusuhi akal.
Sementara, bagi kalangan tradisionalis, agama mesti memakai akal. Karena tanpa akal, bagaimana seseorang bisa membedakan benar dan salah baik secara etis, moral maupun agama.
‘Penyembelihan intelektual’ yang disinggung oleh Seyyed Hossein Nasr merupakan fakta yang sukar untuk dibantah apabila melihat diskursus yang dikembangkan oleh kelompok Islamisme, yakni mereka yang menjadikan “Islam” sebagai isme alias ideologi atawa paham. Sebutan Islamisme ini mulai hadir setelah tahun 1990-an dalam diskursus Barat tentang Islam.
Islamisme ini mulai sering muncul seiring meredupnya pemakaian term fundamentalisme. Kecenderungan kelompok Islamis terhadap anti-akal ini merupakan hal yang miris, sebab bisa membawa pada kepicikan.
Betapa tidak? Beragama bisa dipahami secara materialistik belaka, yakni berorientasi pada hal-hal lahiriah dan ritual semata.
Tentu saja bagi mereka yang mempelajari sejarah dan tradisi pemikiran Islam yang panjang, kekayaan khazanah intelektual dan spiritual Islam menjadi sumber daya penting dalam menghadapi tantangan kemanusiaan kontemporer. [bersambung]