Beberapa hari lalu saya berbincang dengan sahabat karib yang pernah dicap sebagai penyebar paham Islam Liberal. Dalam perbincangan tersebut saya menyadari satu hal, banyak yang tidak paham terhadap lontaran itu dan hanya menjadikannya stigma belaka. Apalagi stigma itu kerap dilontarkan kepada muslim yang berbeda pandangan.
Isu Islam Liberal ini meledak dengan munculnya buku “Ada Pemurtadan Di IAIN” karya Hartono Ahmad Jaiz. Waktu itu, saya saat itu sedang menempuh studi di jurusan Akidah Filsafat yang sering dicurigai sebagai salah satu sarangnya “Islam Liberal”. Pada masa itu, kami mulai mempelajari pemikiran-pemikiran seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Ali Harb, Sayyed Hossien Nasr, Hassan Hanafi dan lain-lain. Tinggal dan belajar di daerah yang cukup jauh dari “pusat” pengetahuan membuat kami harus banyak berdiskusi walau ada kesulitan mendapatkan buku-buku pemikiran saat itu sedang ramai atau dalam bahasa sekarang viral.
Sebuah skripsi lama kami temukan, yang dibuat di awal tahun 1990an. Bertemakan Hermeneutika Asghar Ali Engineer yang ditulis oleh seorang senior di kampus saya, inilah yang membuat kami sadar bahwa hermeneutika bukanlah barang seharusnya dijauhi sebab ini adalah bagian dari dinamika pemikiran dalam Islam.
Sebenarnya kita perlu mengenal dulu apa itu “Islam Liberal” sebelum menerima atau menolak ide-ide yang ada di dalamnya. Ada dua buku yang cukup refresentatif saat kita ingin mengenal apa itu “Islam Liberal”. Pertama, Islam Liberal karya Leonard Binder. Kedua, Wacana Islam Liberal karya Charles Kurzman (editor).
Karya Leonard Binder menjelaskan bahwa Islam Liberal adalah liberalisme politik. Bermakna sekulerisme yang sebelumnya tidak mendapatkan perhatian di negara-negara timur tengah, sekarang malah dipakai dan semakin menguat. Bahkan tanpa adanya liberalisme Islam diwujudkan maka liberalisme politik tidak akan berhasil di Timur Tengah. Islam liberal dipandang sebagai rethinking hubungan Islam dengan politik. Posisi Negara dan Islam dibincangkan kembali, bahkan dalam bingkai paling radikal yaitu Negara Islam.
Tokoh-tokoh seperti Abu Ala Al-Maududi, Ali Abd Ar-Raziq hingga Sayyid Qutb terdepan disebutkan buku ini. Bahkan Binder, menuliskan satu bab khusus buat Ali Abd Ar-Raziq untuk mengapresiasi pemikirannya dalam mengembangkan konsep Umma dipandang sebagai komunitas politik dan jelas dihubungkan dengan sekulerisme dan liberalisme.
Sedangkan di karya Charles Kurzman, Islam Liberal dipandang pada awalnya mendapatkan stigma sebagai dominasi asing, kapitalisme tanpa batas, kemunafikan yang mendewakan kebenaran, juga permusuhan kepada Islam. Padahal di saat lain, menurut Kurzman, perdebatan di dunia Islam sering terfokus soal Islam adat dan Islam revivalis.
Nah, di tengah perdebatan ini muncullah istilah baru yaitu Islam Liberal. Kalangan Islam liberal memandang dirinya berbeda secara kontras dengan Islam adat dan menyerukan keutamaan Islam paling awal untuk menegasikan atau menolak keabsahan praktik-praktik keagamaan masa kini. Sedangkan kritik kalangan Islam liberal terhadap kaum revivalis juga adat adalah keterbelakangan, yang menurut mereka, menghalangi Islam untuk menikmati “buah” modernitas: kemajuan ekonomi, demokrasi, hak-hak hukum dan sebagainya.
Inilah yang membuat kalangan Islam liberal menganggap bahwa Islam itu sejalan atau minimal perintis jalan bagi-Liberalisme Barat.
Terjadinya resepsi terhadap Islam liberal ini disebutkan oleh Kurzman adalah meningkatnya taraf pendidikan di dunia Islam. Antusias membaca umat Islam dalam membaca Alquran dan sumber Islam lainnya untuk kepentingan mereka sendiri, daripada bergantung pada otoritas ulama. Ini disebabkan otoritas ini sudah kehilangan monopolinya terhadap dunia pendidikan dengan meningkatnya jumlah muslim yang belajar pendidikan non-agama untuk mengembangkan pendekatan-pendekatan baru terhadap Islam.
Selain itu, juga ada persentuhan para Muslim yang berada di dunia Barat dan berdirinya organisasi yang konsen terhadap isu-isu yang diangkat kalangan Islam liberal.
Namun kita disuguhi dengan sangat cerdas oleh Kurzman, apa itu perjuangan Islam liberal itu secara menyuluruh bahkan komprehensif. Tiga bentuk Islam liberal yaitu syariah liberal, syariah yang diam dan syariah yang ditafsirkan. Dari tiga bentuk ini sebenarnya ada beberapa tema turunannya sebagai penjabaran dari bentuk perjuangan Islam liberal.
Pertama, menentang Teokrasi, demokrasi, hak-hak kaum perempuan, hak-hak non muslim, kebebasan berpikir dan gagasan untuk kemajuan. Semua isu-isu ini adalah bagian nilai-nilai publik untuk memperjuangkan dunia sebagai tempat hidup yang lebih baik.
Dinamika hubungan NU dan kekuasaan sebagaimana isu Islam liberal juga dialami organisasi terbesar pasti tidak akan terhindar, namun jika kita menengok kembali ke belakang bagaimana Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat menjabat sebagai ketua tanfidziah NU, maka ada sebuah gebrakan yaitu kembali ke khittah 1926. NU yang dipegang oleh Gus Dur mencoba merevolusi cara perjuangan NU yang selama ini sangat politis menjadi sangat kultural. Mulai sejak inilah NU di tangan Gus Dur menjadi wadah perjuangan untuk menuntut civil value yang memang menjadi perjuangan NU selama ini.
Dengan kata lain, gerakan civil society yang dijalakan oleh NU sejak itu berdiri tegak di atas prinsip-prinsip egaliterianisme dan inklusivisme yang bersifat universal. Adapun civil society ini memiliki beberapa ciri. Pertama, gagasan dan gerakan untuk melemahkan intervensi negara dalam masyarakat. Kedua, adanya gagasan atau aspirasi dan kepentingan yang hendak dikembangkan secara bebas, dengan tetap mengakui pluralisme dan perbedaan kepentingan. Ketiga, adanya ruang publik yang bisa dipergunakan secara terbuka sebagai ruang ekspresi gagasan masyarakat. Dan keempat, adanya kebebasan masyarakat untuk menentukan dirinya sendiri.
Jadi antara NU dan Islam liberal ini sebenarnya memiliki kesamaan dalam keinginan untuk memperjuangkan Islam yang bisa beradaptasi dengan nilai-nilai yang lebih manusiawi. Menafsirkan, membuat gebrakan, dan bahkan menuliskan ulang adalah cara-cara yang ditempuh untuk merumuskan gagasan tentang “sebangsa”, dan hidup bersama dalam kebangsaan, adalah ungkapan-ungkapan kebersamaan, solidaritas, kemandirian dan kesatuan sebagaimana terbentuknya imajinasi tentang Indonesia dan dunia.
Adapun kritik terhadap Islam Liberal pada masa awal yang dilancarkan oleh para kalangan Islamis dimotori oleh Adian Husaini dan kawan-kawan sering berujung pada stigma dan klaim sepihak, sebenarnya kritik terhadap Islam Liberal ini sering dilakukan oleh kawan-kawan yang beraliran progresif. Sebab dalam pemahaman kaum beraliran progresif, Islam Liberal sering beragendakan untuk memuluskan Islam yang mendukung kapitalisme atau membuat kelas borjuis semakin berkuasa dengan klaim dukungan atau memuluskan jalan kekuasaan dengan alat agama.
Di sinilah kita perlu menelusuri kembali pemikiran Islam liberal ini dalam kekritisan agar tidak terjebak dalam perangkap ini.
Menurut saya, isu stigma Islam liberal sebagai kesesatan ini sebenarnya sudah sangatlah usang. Sebab organisasi Jaringan Islam Liberal pun sudah tidak lagi aktif, dan isu kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, korupsi dan masih banyak lagi bisa menjadi konsentrasi kita bersama.
Fatahallahu alaihi futuh al-Arifin