Waria masih mengalami diskriminasi dalam lingkungan sosial. Masyarakat masih menjustifikasi waria sebagai bentuk identitas abnormal. Persepsi ini melahirkan berbagai bentuk kekerasan verbal dan fisik yang menyasar kepada waria. Hal ini terjadi bahkan di ruang publik keagamaan sekalipun. Waria masih belum mendapatkan keamananan dan kenyamanan dalam bersosial dan terlibat dalam acara kegamaan.
Pengalaman pahit ini dialami oleh salah satu kerabat penulis yang kebetulan seorang waria. Kejadian buruk ini menimpanya ketika mengikuti sebuah kajian keagamaan di daerah Blitar. Selain di daerah, Majelis ini juga cukup populer di jagad digital berkat perkembangan sosial media yang masif, sehingga bisa menggaet jemaah hingga puluhan ribu dari seluruh penjuru daerah.
Mayoritas dari mereka yang mengikuti majelis ini adalah para garangan yaitu pemuda-pemudi “nakal” yang ingin memperbaiki diri dan bertobat. Gaya bicara penceramah dalam Majelis ini yang ceplas-ceplos dan slengekan itu menjadi daya tarik para jemaahnya karena relate dengan kehidupan sehari-hari. Sosok yang karismatik, gaya serta paras penceramahnya yang nyentrik juga mampu menarik para emak-emak untuk ikut ngaji bareng di markas Majelis tersebut.
Bahkan, di beberapa kesempatan Majelis tersebut dihadiri oleh jemaah dari lintas agama seperti agama Hindu, Budha dan Kristen. Dengan mengadvokasi perdamaian dan dialog di antara komunitas agama yang berbeda, Majelis tersebut berupaya menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis, di mana orang dapat hidup dan bekerja sama tanpa memandang latar belakang agama mereka.
Namun apakah hal itu sudah cukup? Apakah kita hanya akan membatasi diri pada pembangunan masyarakat inklusif lintas agama tetapi berlaku diskriminatif terhadap perbedaan gender?
Meskipun tampaknya ruang pengajian ini menyajikan sebuah realitas yang beragam karena orang dengan berbagai latar belakang berbeda hadir, namun saya merasa bahwa ruang publik keagamaan semacam ini masih belum aman dan nyaman bagi kelompok waria. Kisah ini merupakan pengalaman langsung yang saya saksikan ketika menghadiri Majelis ini.
Biasanya saya datang dengan salah seorang kerabat yang mana ia adalah waria. Kerabat saya tersebut seringkali mendapat catcalling dari satgas pengamanan dan parkir. Dia dijadikan bahan candaan oleh pelaku dan dikejar-kejar dan mendapat gangguan fisik yang menyasar langsung ke tubuhnya. Dalam beberapa kesempatan, bahkan pelaku secara brutal menyentuh area tubuh yang sensitif korban. Dalam situasi itu, korban hanya bisa menghindar dan menjauh dari pelaku.
Kenyataan itu memperlihatkan bahwa ruang majelis keagamaan rupanya masih belum memiliki wawasan yang cukup dalam memahami dan memperlakukan orang dengan orientasi gender yang berbeda. Mengapa seorang memperlakukan demikian? Mungkin karena hal semacam itu dianggap “tidak benar” atau menyimpang dengan norma agama dan norma sosial di lingkungan yang tradisional.
Dalam acara demikian pun bahkan sebenarnya mereka para waria merasa kebingungan ketika harus menempatkan diri. Selain itu persoalan lainnya adalah pakaian atau busana yang mereka pilih sangat memungkinkan bagi mereka untuk menjadi korban dari pelaku yang belum melek gender. Padahal, mereka tetaplah manusia yang barangkali sedang menempuh sebuah perjalanan spiritual yang akan merubahnya menjadi pribadi yang lebih baik.
Saya merasa bahwa edukasi soal gender perlu dikampanyekan secara serius dan masif. Meminjam istilah Chantal Mouffe, agonistic pluralism merupakan sebuah hal yang semestinya dapat diterapkan di ruang publik, termasuk ruang keagamaan. Bila merujuk pada konsep ini, suatu identitas yang berbeda seharusnya mendapat ruang dalam masyarakat yang demokratis.
Mereka para waria, memiliki nilai dan pandangan hidup yang khas sebagai jati dirinya. Dalam konteks itu saya membayangkan bahwa Majelis ini idealnya menampung keanekaragaman individu-individu. Dan itulah yang biasa kita sebut dengan toleransi.
Ruang publik keagamaan seharusnya berkembang menjadi ruang yang aman bukan hanya bagi kelompok antar agama, penjudi, pemabuk, mantan narapidana ataupun garangan, tetapi juga menjadi ruang bersama yang meneduhkan bagi orang dengan keunikan gender seperti halnya waria.
Saya berharap bahwa setiap orang menghormati keberagaman identitas dan gender. Keterbukaan dalam hal tersebut merupakan upaya penting untuk menciptakan lingkungan yang inklusif sekaligus memberi ruang untuk keadilan di ruang publik. Hal ini akan memungkinkan ruang publik agama menjadi tempat yang aman, ramah dan mengayomi semua individu, tanpa memandang perbedaan identitas gender diantara mereka.