Pengusiran Waria dan Disuruh Syahadat, Bagaimana Harusnya Muslim Bersikap?

Pengusiran Waria dan Disuruh Syahadat, Bagaimana Harusnya Muslim Bersikap?

Terjadi pengusiran waria dan diminta syahadat, sikap kita harusnya bagaimana ya?

Pengusiran Waria dan Disuruh Syahadat, Bagaimana Harusnya Muslim Bersikap?

Memahami eksistensi waria di tengah realitas sosial terkadang memang rumit. Lebih-lebih jika wacana tentang keberadaan waria dihadapkan pada dogma keagamaan. Maka, tak usah heran ketika belum lama ini viral di media sosial sebuah video tentang anggota Ormas Islam di Cianjur yang menceramahi waria setelah sebelumnya kena sweeping.

Sebagaimana diberitakan detik.com (26/5/2018), dalam video yang beredar ada empat orang waria yang diamankan. Mereka kemudian diminta untuk berjongkok dan diberi tausiah oleh seorang anggota ormas. Kabarnya, setelah sempat diminta untuk membaca syahadat, empat orang waria itu juga diminta untuk berikrar agar tidak lagi berdandan layaknya perempuan. Pengucapan ikrar dipandu oleh salah seorang dari kelompok ormas dan diikuti oleh empat waria tersebut.

Tapi, benarkah menjadi waria sepenuhnya terlarang? Atau dengan begitu kemudian menjadi kafir sehingga musti syahadat? Dan adilkah kita menghukumi waria sebegitunya tanpa lebih dulu mencoba memahami ada apa gerangan di balik itu?

Fran Martin (2008) dkk., dalam Asia PacifiQueer: Rethinking Genders and Sexualities menerangkan, pemahaman yang ada menyatakan bahwa dalam Hadis—termasuk juga ditemukan dalam pembahasan fiqih— identitas gender disebut dalam empat varian, yaitu: laki-laki, perempuan, khunsa, dan mukhannis atau mukhannas.

Mukhannis dan mukhannas adalah laki-laki yang memiliki tingkah laku menyerupai perempuan. Perbedaannya, mukhannis merupakan laki-laki yang mengidentifikasikan diri sebagai perempuan dan menginginkan pergantian kelamin menjadi perempuan. Sedangkan mukhannas adalah laki-laki secara biologis yang bersifat seperti perempuan, namun tidak menginginkan perubahan kelamin.

Pemahaman ini mengimplikasikan pandangan bahwa Islam memperbolehkan khunsa (hermaprodit) untuk menjalani operasi perubahan kelamin sehingga dapat menghilangkan keambiguan kelaminnya, dan memutuskan apakah hendak menjadi perempuan atau laki-laki.

Sebaliknya, Islam melarang mukhannis atau mukhannas, yaitu laki-laki yang berperilaku seperti perempuan dalam hal cara berjalan, bersolek, dan sebagainya. Dasar Hadisnya adalah riwayat Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas yang menjelaskan celakanya laki-laki yang mensifati dirinya dengan perempuan atau sebaliknya.

Dengan begitu, waria bahkan bisa diabstraksikan telah ada sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad. Sebagaimana Hadis yang merujuk pada salah seorang istri Kanjeng Nabi dengan mata rantai ‘Abad bin Humaid, kemudian ‘Abdur Razaq dari Ma’mar dari Az Zuhri dari ‘Urwah, bahwasannya Sayyidah Aisyah berkata, “seorang banci masuk ke tempat para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu mereka menganggapnya seperti orang yang tidak mempunyai birahi terhadap perempuan, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang, dan si Banci itu sedang berada di antara mereka”.

Dia (banci), lanjut Aisyah, menggambarkan perempuan yang katanya: “Wanita bila menghadap, dia menghadap dengan empat anggota tubuhnya, dan bila membelakang, dia membelakang dengan delapan anggota tubuhnya”.

Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perhatikanlah, bukankah dia mengerti apa yang ada di sini? Karena itu janganlah kalian izinkan masuk ke rumah kalian”.

Lalu, kata Aisyah, “Sejak itu rumah kami tertutup bagi si banci”. Belakangan, Hadis itu terkenal dengan terusirnya waria dari rumah istri-istri Kanjeng Nabi.

Seorang kawan dalam sebuah penelitiannya tentang Pesantren Waria Al-Fatah di Yogyakarta menuturkan, bahwa pelarangan dalam hadis tersebut sebenarnya bukan pada penolakan atas transgender atau waria. Melainkan penolakan terhadap laki-laki yang berpura-pura menjadi transgender atau waria dan lalu masuk dalam ruang privasi perempuan.

Hal itu ia simpulkan berdasarkan penuturan Arif Nuh Safri, seorang Ustaz (pengajar) di Pesantren tersebut, bahwa wacana mengenai waria mustinya perlu ditinjau lebih jauh dari sekadar urusan surga-neraka. Salah satunya dengan pendekatan sejarah. Dan perlu dicatat bahwa dalam sejarah awal Islam, waria pernah mendapat ruang yang sangat terbuka.

Mereka diizinkan untuk bergaul dan membaur dengan perempuan. Seperti diketahui bahwa Alquran melalui QS. An-Nur [24]: 31 mengakui hal itu sejauh laki-laki yang bersangkutan “tidak mempunyai kemampuan sebagai laki-laki”. Merekalah gairu uli al-irbah.

Menurut Arif, tentang penafsiran gairu uli al-irbah itu, termasuk juga di dalamnya para kaum waria yang tidak sedang dalam kepura-puraan. Dan waria yang dimaksud adalah waria yang tidak memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Apakah kemudian waria itu penyuka sesama jenis, saya kira itu soal lain yang mungkin bisa dibahas lebih lebar, di lain kesempatan.

Lagian, laki-laki yang diceritakan oleh Aisyah adalah laki-laki yang tahu tentang geliat perempuan cantik, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai gairu uli al-irbah. Kasus tersebut diketahui di waktu yang berikutnya, kalau ada kasus seorang waria yang mengetahui tentang wanita cantik. Hal tersebut diidentifikasikan sebagai ketertarikan waria dalam hadis tersebut dengan perempuan—menghadap dengan empat anggota tubuhnya dan membelakang dengan delapan anggota tubuhnya.

Jadi pengusiran itu bukan karena ia waria, melainkan ia adalah waria palsu, yang tetap bernafsu dengan perempuan.

Kendati memang dalam menafsirkan gairu uli al-irbah terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Wahbah Zuhaili umpanya, dalam Tafsir al-Wasith dijelaskan yang dimaksud oleh kata tersebut adalah “para pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan atau keperluan kepada kaum wanita”.

Sementara dalam al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari kata awittaabi’iina ghair uuli al-irbah min al-rijaal, adalah para pembantu laki-laki yang sudah tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Atau lebih tepatnya, orang-orang yang mengikuti suatu kaum untuk mendapatkan kelebihan makanan mereka semata, sementara tidak mempunyai tujuan selain itu dan tidak pula mempunyai kebutuhan terhadap wanita, baik karena mereka sudah berusia lanjut hingga syahwatnya hilang, maupun karena mereka dikebiri.

Yah, apapun itu, meminjam sosiologi pengetahuannya Peter L. Berger, bahwa segala realitas sosial tentunya memiliki komponen esensial kesadaran. Dan kesadaran tersebut selanjutnya dikomunikasikan kepada orang lain, yang kemudian membentuk sebuah dunia sosial khusus.

Artinya, jelas bahwa permasalahan waria bukanlah permasalahan yang sederhana, alias bisa diselesaikan dengan pendekatan normatif begitu saja. Ia merupakan permasalahan yang kompleks dan membutuhkan proses panjang. Jika itu memang dianggap sebagai kelainan.

Kalau dalam istilah Bon Clay—salah satu okama dalam serial One Piece—, bahwa ada yang tersesat dari jalan seorang Pria. Dan ada pula yang tersesat dari jalan seorang wanita. Tapi, tidak ada yang bisa mundur dari jalan seorang Manusia.

Sementara, apa yang dialami oleh kaum waria, sejauh ini justru menunjukkan betapa kerasnya benturan antara pemahaman agama yang ditampilkan oleh sebagian penganutnya yang kaku di tengah kenyataan sosial yang dinamis.

Kasus waria semestinya perlu pendekatan sosial-historis, psikologis, bahkan politik, dan bila perlu pendekatan medis. Karena bagaimanapun realitas waria tidak dapat dilepaskan dari rumpun keilmuan tersebut.