Salah satu anjuran yang banyak dilakukan saat Ramadhan adalah tadarus al-Quran. Seusai shalat Tarawih, hampir tiap surau, mushala ataupun masjid di sekeliling kita masing-masing melaksanakan kegiatan tersebut.
Lantas apa makna sebenarnya dari Tadarus itu sendiri? Dan sudah layakkah yang selama ini kita lakukan disebut sebagai Tadarus?
Istilah tadarus terambil dari Bahasa Arab tadârasa (تدارس) yang berasal dari kata darasa yang bermakna berulang-ulang. Kata daras dapat pula berarti lapuk. Ia menjadi lapuk sebab terpapar sinar matahari secara terus menerus atau berulang. Demikian Prof. M. Quraish Shihab mengawali penjelasannya.
Dalam kaidah ilmu Sharaf, kata yang mengikuti wazan tafâ’ala, sebagaimana kata Tadarus, salah satunya mengandung arti “saling” atau adanya keterlibatan antara dua pihak atau lebih secara aktif. Maka tadarus dalam konteks ini berarti mempelajari al-Quran secara bersama-sama yang dilakukan secara berulang sehingga mencapai pemahaman makna ayat al-Quran yang baik dan benar.
Jika demikian, menurut Prof. Quraish Shihab, apa yang kita lakukan selama ini yakni hanya sekedar membaca saja tanpa memahami, kendati itu hal yang baik, boleh jadi belum sesuai dengan makna tadarusal-Quran yang sebenarnya.
Oleh karenanya, melaksanakan tadarus hanya sepuluh ayat dalam sehari atau satu bulan, yang disertai dengan usaha mengamalkannya lebih utama dari sekadar membaca atau mengkhatamkan al-Quran.
Meski demikian Allah tetap akan mengganjar hamba-Nya yang membaca al-Quran walau ia tak memahami maknanya. Namun apabila disertai pemahaman, tentu akan lebih utama.
Prof. Quraish pernah memberikan perumpamaan. Layaknya seseorang yang memiliki sahabat dekat, tentu ia mengetahui rahasia-rahasia sahabatnya yang tak diketahui oleh orang lain. Demikian pula orang yang senantiasa dekat dan mempelajari al-Quran, bukan tidak mungkin Allah akan mengilhami makna-makna atau pemahaman yang berbeda dengan orang lain.
Al-Quran tak ubahnya seperti alam raya, yang dari dulu hingga sekarang tak berubah. Namun apa yang diketahui orang dahulu dengan saat ini mengenai rahasia di dalamnya boleh jadi berbeda. Rahasia-rahasia tersebut akan terus terkuak oleh orang-orang yang senantiasa mau mempelajarinya. Demikian pula tadarus. Semakin banyak diulang, sangat mungkin kita akan menemukan pemahaman yang berbeda walau membaca ayat yang sama.
Dalam kitab al-Naba’ al-‘Azhim disebutkan, bahwa al-Quran bagaikan berlian yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda-beda dari sudut yang lain. Dengan berlian yang sama, bukan tidak mungkin apabila seseorang mempersilakan orang lain untuk melihatnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang dilihat. Demikian kurang lebih perumpamaan Syaikh Abdullah al-Darraz, salah seorang Ulama yang mengkaji kemu’jizatan al-Quran sekaligus penulis kitab tersebut.
Dalam suatu riwayat, Nabi Muhammad Saw selalu melaksanakan tadarus al-Quran dengan Malaikat Jibril saat bulan Ramadhan. Bahkan di usia terakhir beliau, Nabi bertadarus dua kali. Sekali pada saat Ramadhan dan sekali pada bulan yang lain.
Begitu pula para sahabat. Dalam mempelajari al-Quran pun mereka senantiasa mengulanginya. Mereka tidak beranjak pada ayat selanjutnya sebelum ayat dikaji belum benar-benar difahaminya.
Demikian pula mengenai perintah membaca (iqra’) yang diterima Nabi pada saat menyepi di gua Hira’. Pengulangan perintah pada wahyu pertama yang diterima Nabi tersebut, menurut Prof. Quraish dalam tafsir al-Mishbah, dimaksudkan agar beliau lebih banyak membaca, menelaah, memperhatikan alam raya, serta membaca kitab –baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dalam rangka mempersiapkan diri terjun ke masyarakat.
Dengan bertadarus dan membaca bersama, selain memperoleh pemahaman ayat yang baik, di dalamnya terdapat nilai kebersamaan dan silaturahim yang dapat terjalin.
Jika Nabi saja diperintahkan sedemikian rupa untuk meningkatkan kualitas dirinya, lantas bagaimana dengan kita? [rf]