Sudah Jualan Agama dan Memusuhi atas Nama Tuhan Hari Ini?

Sudah Jualan Agama dan Memusuhi atas Nama Tuhan Hari Ini?

Sudah Jualan Agama dan Memusuhi atas Nama Tuhan Hari Ini?
Foto: www.bosmurah.com

Apakah gawai Anda sudah dijejal-sesaki dengan berita oknum pseudo penceramah yang mencaci-maki Wakil Presiden sebagai babi? Silakan berselancar mundur ke tahun 2015, siapakah pimpinan Ormas yang mula-mula menghina Presiden dan lantas diikuti secara berjamaah oleh cecunguk-cecunguk amatir lainnya? Gelombang hujatan, tsunami ujaran kebencian dan hoaks-hoaks beraroma surgawi yang melokomotifi gerbong-gerbong demo berkepanjangan tak satupun yang tidak bermuatan politik. Tapi, apakah Negara takut kepada Ormas-ormas Pentungan yang memang sengaja dipelihara oleh segelintir oknum Jenderal?

Di kota metropolitan dan maniak industri, kehidupan sudah sedemikian anyir dan berlendir. Jabatan politik, gelar akademik, gelar bangsawan, gelar ustadz dan habib, tukang ceramah, tukang demo, popularitas, pengetahuan, nasib baik, anatomi fisik, semuanya diperjualbelikan, atau setidaknya digali potesi-potensi ekonomis dari segala yang (dianggap) ada, tanpa terkecuali Tuhan dan agama.

Pendek kata, semua telah menjadi pasar. Setiap jengkal kehidupan telah mendapati puncak kegilaannya yang paling konsumtif, pemuja syahwat dan penyembah selangkangan. Memang manusia telah manjadi bagian dari teknologi, padahal, tadinya teknologi (terutama virtual) adalah bagian dari manusia. Apa yang terjadi? Manusia kehilangan diri dan akal sehatnya. Anda tahu, bahkan di luar politik elektoralpun, mangsa paling empuk bagi para serigala bisnis, oligark kekuasaan dan pengasong agama adalah siapapun yang cuti nalar alias berotak cingkrang.

Sekali lagi, di jantung kota-kota besar, di mana para imigran berjudi dan kaum urban berkerumun mengais nasib mereka, Tuhan semakin sulit ditemukan. Sehingga, menjadi kaum urban harus pandai-pandai mencari Tuhan. Lho, bukannya di pasar semua serba ada? Tuhan dan agama pun nyaris seperti kacang rebus, bukan?

Di zaman “mabuk jualan” ini, bukan hanya aset Negara dan tangis rakyat yang dijual, Tuhan, Nabi dan agama pun dipoles sedemikian rupa untuk dijual, minimal agama sebagai bumbu dan pemanis bagi segala jenis jualan hormon. Oleh karena itu, jangan kaget jika dekade ini kita sedang panen ustadz karbitan, pseudo ulama, dai picisan yang ceramahnya hanya berisi provokasi dan disinformasi. Kabar buruknya, pasar akan terus menyediakan mereka sebanyak mungkin, selama sebagian dari kita tetap menginginkan mereka.

Adapun politisasi sentimen dan sentimentalisasi (pilihan) politik semakin berjibun. Pasar, seperti halnya Tuhan, memang membantu siapapun yang membantu dirinya sendiri. Artinya, Anda harus menjadi petarung dan pendekar pilih tanding—menjual atau jika tidak, Anda akan dijual, menindas atau malah ditindas! Akan tetapi, Tidak seperti Tuhan, pasar tidak memaafkan mereka yang tidak tahu apa yang mereka lakukan. Pasar memiliki pusaran purba yang hanya tunduk pada hukum untung-rugi. Terang sekali bahwa agama dan Negara seolah hanya takut kepada pemilik modal, para tengkulak, predator bisnis, oligark kekuasaan, demagog dan pengasong khilafah.

Baiklah, kita kembali ke fokus perbincangan, mengapa sulit mencari Tuhan di perkotaan, di pusaran ekonomi dan politik? Sebenarnya, Tuhan ada di mana-mana dan di siapa-siapa, semau-mauNya, tanpa apa dan bagaimana. Tuhan adalah Pihak Kedua ketika Anda sedang sendiri, menjadi Pihak Ketiga manakala Anda sedang berdua. Apabila Anda seorang pengkhotbah di gereja atau pura, maka Tuhanlah salah satu jemaat Anda. Dan, ini yang banyak politisi, para begundal dan gerombolan bromocorah Parlemen tak percaya, setiap kali mereka rapat atau sidang menentukan, me-mark up, dan lalu menyunat anggaran, Tuhan juga sedang geleng-geleng sembari tersenyum di tengah-tengah mereka.

Sesekali, kalau Anda bosan karena terlalu sering piknik dan liburan ke luar sana, keluar diri, tengoklah ke dalam diri Anda, masuklah ke relung paling dalam. Ada apa? Karunia paling berarti yang dihadiahkan Tuhan dalam hidup ini sesungguhnya bukanlah gelimang kekayaan, gemerlap jabatan, pesona wanita yang molek jelita, prestasi dan kemewahan hidup, akan tetapi waktu dan kesempatan, yakni kesempatan menjadi manusia yang berakal sehat, kesempatan untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Bukankah banyak di antara kita yang masih binatang?

Bagaimana dengan peluang? Ya, peluang menjadi orang waras. Sayangnya, peluang yang dikirimkan Tuhan tidak membangunkan para pemalas, orang yang tidur dan pura-pura tuli, Tuhan hanya menyapa orang-orang yang siaga dan mempersiapkan diri bagi datang-Nya. Prinsip ini nyaris kian menjauh dari arus deras modernisme dan industrialisme berbasis Medsos.

Manusia supra modern yang justru semakin menggila dan menggilas masa depan Negerinya amat sulit menyadar-insyafi—dan apalagi merubah—budaya konsumtif dan permisif yang telah mengakar sampai ke sumsum meraka. Implikasinya, setiap upaya menetralisir dan menutup “pasar” tertentu, ongkosnya adalah dengan membuka pasar yang lain. Peradaban dari pasar ke pasar ini, dari jual-beli politik lendir sampai birokrasi pendidikan, dari penggelembungan anggaran sampai mark up pengadaan kepalsuan, serta dari makelar kasus sampai pialang agama dan kebudayaan, semuanya adalah peradaban pasar.

Pertanyaannya: siapakah kita di tengah virtualisasi gila-gilaan Internet of Thing ini? (1) Apakah manusia modern ini adalah Tuhan? (2) Siapakah kita di tengah pasar ini? Atau malah (3) kaum urban tak tentu arah itu adalah kita sendiri, yang limbung dan mau diperjualbelikan di era disrupsi? Dan, (4) apakah kita adalah pribadi yang menyadari ketiganya?

Opsi pertama jelas tidak, meski faktanya, masing-masing diri sok berperan menjadi Tuhan—tak ada yang lebih nikmat selain menguasai dan menindas, lebih-lebih atas nama agama dan Nabi. Seolah dikawal malaikat Jibril gitu loh. Opsi kedua-ketiga adalah tempat bermain kita. Jika Anda adalah pasar, Anda adalah tempat bertemunya tengkulak, penjual dan pembeli. Masing-masing menghasrati keuntungan. Jika Anda adalah pasar bagi kehidupan orang lain, jangan biarkan setiap orang yang datang pada Anda, pergi tanpa merasa mendapat yang mereka cari, yakni merasa lebih baik dan lebih bahagia, terutama atas nama agama. Jika Anda, ormas dan institusi tempat Anda bernaung adalah barang dagangan, maka segeralah beralih pada opsi keempat, yakni menyadari semua itu dengan merubah dan memperbaiki: (1) diri sendiri, baru yang lain, (2) dari yang kecil dan remeh-remeh, dan (3) mulai dari sekarang!

Anda bisa membekuk segala jenis ego 4.0 yang menuntut serba cepat di muka bumi ini sembari ngopi. Ego adalah akronim dari Edging God Out (menjauh dari Tuhan, bahasa Arab: syaitan), sehingga bagi para kekasihNya, ego dijinakkan sedemikian rupa dengan cara olah batin (riyadhah) dan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Menyadari hal itu teramat penting dan mahal!

Namun demikian, yang mengkhawatirkan bukanlah apakah Tuhan ada di pihak kita, tapi apakah kita berada di pihak Tuhan. Apa sebab? Tuhan tidak pernah membangunkan para pemalas! Sehingga, akhir dari upaya terbaik manusia adalah awal dari campur tangan Tuhan. Oya, sudahkah Anda jualan agama dan memusuhi atas nama Tuhan hari ini? Sebelum Anda menjawab sebilah tanya itu, perkenankan saya mengakhiri tulisan iseng ini dengan kalimat: Demokrasi memang harus toleran, tapi sudah saatnya demokrasi bersikap intoleran terhadap intoleransi itu sendiri.