Filsuf juga insan jalanan. Selain melakukan permenungan, hidup seorang filsuf juga diabdikan untuk membela dan menyuarakan kelompok tertindas.
Beberapa filsuf dan pemikir sosial terkemuka bahkan tidak hanya masyhur karena kontribusi intelektualnya, tetapi juga karena keterlibatan mereka dalam aksi demonstrasi jalanan.
Masing-masing dari filsuf jalanan ini memiliki sejarah panjang dalam aktivisme dan telah menggunakan pengaruh mereka untuk mendukung berbagai gerakan sosial. Berikut lima filsuf cum pemikir yang tercatat pernah turun ke jalan, walaupun mereka bukan agamawan.
Angela Davis, Filsuf perempuan turun ke jalanan untuk Palestina
Ia adalah seorang akademisi, aktivis, dan penulis dari berkebangsaan Amerika. Lahir pada tahun 1944 di Alabama, Davis menjadi terkenal karena keterlibatannya dalam banyak gerakan hak-hak sipil, hak-hak tahanan, dan feminisme.
Selain menjadi anggota aktif Partai Black Panther, Davis juga terlibat dalam berbagai aksi protes dan demonstrasi pada rentang tahun 1960-an dan 1970-an. Ia tampak fasih mengamalkan betul jiwa-jiwa kemarxisan, apalagi ketika menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas California. Davis disupervisi langsung oleh Herbert Marcuse. Kaffah sekali rasanya.
Davis menjadi ikon dalam gerakan hak-hak sipil setelah ditangkap dan diadili atas tuduhan yang terkait dengan penculikan dan pembunuhan, meskipun akhirnya dibebaskan.
Juga, ia telah lama mengadvokasi reformasi sistem penjara Amerika, sering berpartisipasi dalam protes dan kampanye yang menentang penahanan massal. Buku dan pidatonya telah menginspirasi banyak aktivis untuk melanjutkan perjuangan luhurnya.
Salah satu quotes-nya yang cukup terkenal adalah “I’m no longer accepting the things I cannot change… I’m changing the things I cannot accept.”
Dengan latar belakangnya yang sangat kritis, Davis berdiri tegak bersama orang-orang Palestina.
Dalam satu artikel ia menulis, “gejolak emosi yang dialami kebanyakan kita selama lima bulan terakhir ketika menyaksikan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang ditimbulkan oleh militer Israel mengingatkan saya betapa pentingnya upaya Palestina untuk mendapatkan keadilan bagi perjuangan pembebasan…”
“Dan, saya bersyukur melihat begitu banyak generasi muda–terutama generasi muda kulit hitam–yang mendukung perjuangan untuk Palestina saat ini,” tegasnya dalam artikel berjudul Standing with Palestinians (2024).
Noam Chomsky, Selain turun ke jalanan juga boikot produk Israel
Chomsky bukan hanya seorang ahli linguistik terkenal, tetapi juga salah satu aktivis publik paling terkenal di dunia. Filsuf kelahiran 1928 ini telah memainkan peran penting dalam berbagai aksi jalanan selama beberapa dekade, termasuk dukungannya yang kuat terhadap perjuangan Palestina.
Chomsky dengan tegas menentang pendudukan Israel atas wilayah Palestina, seperti Tepi Barat dan Gaza. Menurutnya, pendudukan ini tidak hanya ilegal, tetapi juga merugikan rakyat Palestina. Dia sering menyuarakan kritiknya terhadap kebijakan Israel yang dianggapnya merampas hak-hak dasar penduduk lokal.
Sebagai pendukung gerakan BDS, Chomsky mendorong upaya boikot, divestasi, dan sanksi terhadap Israel. Tujuan gerakan ini adalah memaksa Israel untuk mematuhi hukum internasional dan menghormati hak-hak rakyat Palestina.
Walupun begitu, Chomsky ternyata tidak hanya berbicara di forum-forum internasional. Ia juga kerap berpartisipasi langsung dalam demonstrasi dan aksi protes yang mendukung hak-hak Palestina. Kehadirannya dalam acara-acara ini menunjukkan komitmennya yang kuat terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Praktis, pandangan Chomsky tentang Palestina tidak hanya memengaruhi pemikiran dan diskursus di Amerika Serikat, tetapi juga di seluruh dunia. Aktivismenya telah memberikan dukungan moral dan intelektual yang signifikan bagi gerakan pro-Palestina di berbagai negara.
Guy Debord, Filsuf pembuat film sekaligus demonstran ulung
Debord adalah seorang filsuf, penulis, dan pembuat film asal Prancis yang dikenal sebagai salah satu pendiri dan tokoh utama dari Situationist International (SI).
SI sendiri merupakan kelompok revolusioner avant-garde yang aktif pada tahun 1957 hingga 1972. SI menggabungkan teori kritis dengan praktik artistik untuk mengkritik masyarakat kapitalis dan budaya konsumen.
Pria berkacamata kelahiran 1931 ini terkenal dengan karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul “The Society of the Spectacle” (1967). Di buku yang cukup tipis itu ia menguraikan konsep “spectacle” atau “tontontan” sebagai cara bagaimana hubungan sosial dimediasi oleh citra dalam masyarakat kapitalis.
Debord dan anggota SI lainnya tidak hanya teoritis tetapi juga aktif terlibat dalam aksi-aksi revolusioner dan protes. Mereka memainkan peran penting dalam peristiwa Mei 1968 di Prancis, melibatkan serangkaian protes mahasiswa dan pemogokan buruh yang hampir melumpuhkan negara tersebut.
Debord dan SI menggunakan seni, propaganda, dan demonstrasi langsung untuk menantang status quo dan mempromosikan ide-ide revolusioner. Debord dan SI, misalnya, aktif dalam kerusuhan dan protes yang melanda Prancis pada Mei 1968. Mereka berkontribusi dengan slogan-slogan revolusioner dan poster yang menentang otoritarianisme dan kapitalisme.
Gak cuma itu, Debord dan SI mengembangkan teknik détournement, yang berarti “pengalihan” atau “penyimpangan.” Ini melibatkan penggunaan ulang elemen-elemen budaya populer untuk menciptakan pesan-pesan subversif yang menentang norma-norma kapitalis dan konsumerisme.
Melalui tulisan dan filmnya, Debord mengkritik cara bagaimana masyarakat kapitalis menciptakan “masyarakat tontonan” yang mengalihkan perhatian publik dari realitas sosial dan politik yang sebenarnya. Ini memotivasi banyak aktivis untuk mempertanyakan dan menentang struktur kekuasaan yang ada.
Guy Debord adalah contoh klasik dari seorang intelektual yang tidak hanya memproduksi teori kritis tetapi juga terlibat langsung dalam aksi-aksi revolusioner dan protes. Walaupun telah meninggal dunia, pemikirannya tetap berpengaruh dalam gerakan-gerakan sosial dan politik kontemporer.
Edward Said, Gak cuma demo tapi melempar batu ke pos polisi Israel!
Said adalah seorang cendekiawan dan intelektual publik yang terkenal karena karya-karyanya di bidang kritik sastra dan studi poskolonial. Dia menulis banyak artikel, esai, dan buku yang mengecam pendudukan Israel dan mendukung hak-hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri.
Tulisan-tulisannya, seperti “The Question of Palestine“ dan “Culture and Imperialism,” menjadi referensi penting bagi aktivis dan cendekiawan di seluruh dunia. Juga, bukunya yang diberi judul “Orientalism” menjadi sangat terkenal dan berpengaruh, terutama bagi sobat UIN generasi 80-90an, hingga sekarang.
Sebagai seorang profesor di Columbia University, Said menggunakan posisinya untuk menyebarkan kesadaran tentang isu-isu Palestina, sering berbicara di konferensi, kuliah umum, dan media internasional dalam upaya untuk menentang kolonialisme Israel.
Selain menjadi seorang pemikir, Said adalah seorang aktivis politik yang vokal, terutama terkait dengan isu-isu Palestina. Dibandingkan dengan beberapa intelektual lain, keterlibatan Said dalam aksi protes di jalan lebih terbatas, meskipun ia tetap memiliki peran penting dalam gerakan perlawanan Palestina.
Salah satu insiden yang paling terkenal adalah ketika Edward Said melempar batu ke arah pos militer Israel di perbatasan Lebanon pada tahun 2000. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk protes simbolis terhadap pendudukan Israel. Foto insiden ini menjadi kontroversial dan sering dibahas dalam konteks aktivismenya.
Meskipun tindakan ini tidak sebanding dengan keterlibatan dalam aksi protes jalanan yang besar, itu menunjukkan komitmennya terhadap perlawanan simbolis dan menjadi simbol penting dari perlawanan intelektualnya.
Slavoj Žižek, Filsuf paling menantang dan penuh kontroversi
Žižek adalah seorang filsuf, kritikus budaya, dan intelektual publik asal Slovenia. Filsuf kelahiran 1949 ini dikenal karena pandangan-pandangan kontroversialnya tentang politik, kapitalisme, dan ideologi.
Meskipun Žižek lebih populer karena kontribusi teoritis dan filosofisnya, ia nyatanya juga terlibat dalam berbagai bentuk aktivisme protes jalanan.
Contohnya adalah keterlibatannya dalam demonstrasi dan aksi protes Occupy Wall Street (OWS). Di sini Žižek menjadi beberapa dari intelektual terkemuka yang memberikan dukungan penuh pada gerakan OWS.
Pada Oktober 2011, dia berpidato di Liberty Park, New York, tempat para demonstran berkumpul. Dalam pidatonya, Žižek mengkritik kapitalisme global dan mendukung perjuangan OWS untuk melawan ketidaksetaraan ekonomi dan kekuasaan korporasi.
Selain itu, Žižek juga terlibat aksi protes Anti-Austerity di Eropa, terutama setelah krisis ekonomi 2008. Dia berpartisipasi dalam diskusi dan pertemuan yang mendukung gerakan ini, seperti yang terjadi di Yunani dan Spanyol, yang melibatkan penolakan terhadap kebijakan penghematan yang diberlakukan oleh Uni Eropa dan lembaga keuangan internasional.
Terkait Palestina, Žižek memiliki pandangan cukup kompleks. Dia membahas isu ini dalam berbagai tulisan dan pidatonya, menawarkan perspektif yang menantang sekaligus kontroversial.
Kritiknya terhadap Israel, misalnya, Žižek secara terbuka mencemooh kebijakan rezim Zionis, terutama terkait dengan pendudukan wilayah Palestina dan genosida terhadap warga Palestina, terutama anak-anak dan perempuan.
Dia melihat kebijakan ini sebagai bentuk kolonialisme modern dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Žižek juga sering menekankan bahwa tindakan Israel terhadap Palestina menciptakan situasi apartheid yang tidak dapat diterima.
Sayangnya, di saat yang sama Žižek dianggap menunjukkan ambivalensinya ketika gagal mengangkat sejarah Nakba dan signifikansinya dalam memahami ideologi mesianis Zionis ekstremis.