Hari ini di media sosial beredar secara viral sebuah baliho di pinggir jalan bertuliskan “Benarkah Bibel Dipalsukan?” Spanduk tersebut tertulis sebagai kegiatan yang diselenggarakan Mualaf Center Yogyakarta, yang akan digelar 27 Agustus 2017.
Spanduk itu memunculkan respon publik yang beragam. Ada banyak komentar yang muncul, pro dan kontra, namun dugaanku saudara kita yang menjadikan Bible sebagai kitab suci dan meyakini sebagai kebenaran yang suci ada yang terlukai, sebagaimana muslim yang merasa terlukai saat Ahok menyitir Al-Maidah 51 dalam kalimat yang kontroversial. Perdebatan yang terjadi bukan lagi soal kebenaran tetapi bagaimana menang dan kalah. Tetapi bagaimana menundukan perbedaan.
Menyaksikan baliho itu, aku teringat pelajaran kesalehan dari Gus Dur. Pada tahun 2002 dalam buku Dialog peradaban Gusdur berkata
“Menurut berbagai agama, kepercayaan dan keyakinan, suatu jalan keselamatan tidak mungkin bisa dicapai atau dilewati kecuali dengan bergerak dan berusaha secara aktif menuju kebahagiaan yang dijanjikan. Persaudaraan kemanusiaan merupakan puncak dari persaudaraan”
Perbedaan suku, ras, agama, golongan atau apapun adalah fitrah. Tuhan melahirkan kita berbeda agar kita berlomba dalam kebaikan dan saling mengisi. Sungguh tidak ada sesuatu yang di ciptakan dengan sempurna, selalu ada ceruk kosong untuk di isi oleh yang lain. Merayakan perbedaan, membangun harmoni adalah merayakan takdir.
Belajar dari Masjid Muntok
Aku pernah tinggal cukup lama di tengah perkampungan Bangka Belitung yang mayoritas warganya beretnik Thionghoa. Interaksi kami berjalan biasa saja, saling sapa dan gotong royong berjalan sebagaimana orang kampung. Gotong royong yang elok dan menyenangkan.
Warga Thionghoa yang tinggal di kampung itu kebanyakan sudah generasi ketujuh. Nenek moyang mereka didatangkan kolonialis hampir 300 tahun lalu, pada awal abad 18an.
Selain Thionghoa, etnik Melayu juga mayoritas di kampung dimana aku pernah tinggal itu. Interaksi sosial yang terbangun lama melahirkan perkawinan dua kebudayaan. Saling mewarnai, mulai dari pakaian, makanan, hingga tradisi dan bahasa. Percampuran dua kebudayaan tersebut melahirkan identitas budaya baru.
Hubungan sosial yang tulus memang mengagumkan. Bahkan perkawinan antara Amoy dan Bujang, atau Aminah dan Akew bukan hal baru. Seorang Koh Afat menyumbang semen untuk Masjid dan sebaliknya Datuk Hajar menyumbang genting untuk Klenteng bukanlah hal tabu. Ketulusan dan rasa saling memiliki menjadi pondasi hubungan.
Saat terjangan cobaan pluralitas dan kebhinekaan terus berlangsung, namun pelajaran berharga kita bisa ambil dari daerah barat Pulau Bangka tepatnya di Kecamatan Muntok berdirilah sebuah monumen toleransi plural yang nyata. Sebuah kelenteng dengan dua pagoda gagah berdiri menjulang tinggi didampingi dengan masjid Jamik Kecamatan Muntok yang bernuansa hijau menyejukkan hati.
Kelenteng Kung Fuk Miau atau Kong dibangun pada masa Dinasti Ching itu dinamai berdasarkan nama asal daerah para pendiri kelenteng yakni China Daratan. Kong Fuk berasal dari kata Kwang Tung dan dan Fuk Kian(Hokkian) yaitu nama wilayah di China. Kedua kata disingkat menjadi Kong Fuk. Sementara Miau artinya Rumah Dewa. Kondisi Kelenteng Kung Fuk Miau berada dibawah kepemilikan Yayasan Tulus Bhakti.
Sejak berdiri pada tahun 1820 Kelenteng Kung Fuk Miau masih aktif digunakan sebagai tempat peribadahan hingga sekarang. Selain digunakan sebagai tempat peribadahan, Kelenteng Kung Fuk Miau juga digunakan sebagai pusat pelatihan barongsai.
Tepat di sebelah klenteng berdiri Masjid Jami’ Muntok dibangun bersebelahan dengan Kelenteng Kung Fuk Miau di Kampung Tanjung, Kecamatan Muntok, tidak jauh dari pelabuhan lama kota Muntok. Masjid Jami’ Muntok disebut sebut sebagai masjid tertua di Pulau Bangka dan masih eksis hingga kini.
Bangunan Masjid Jami Muntok ini berdiri sejak tahun 1879M (59 tahun setelah Klenteng berdiri ). Berdiri atas inisiatif Tumenggung Kartanegara II (Abang M. Ali) sebagai wakil Kesultanan Palembang, dibantu tokoh dan masyarakat setempat termasuk tokoh masyarakat Thionghoa kaya yang sudah masuk Islam dan Mayor Chung A Thiam. Masjid ini berdiri di atas lahan wakaf dari dari Tumenggung Arifin dan H. Muhammad Nur seluas 7.500 M2. Dan lokasinya persis bersebelahan dengan Kelenteng Kung Fuk Miau. Kedua bangunan bersejarah ini kini dirawat dan masih menjalakan fungsinya dengan baik
Pondasi hubungan yang tulus tanpa sekat dari mereka inilah yang membangun peradaban bangsa kita. Peradaban di bangun atas dasar dialog yang terbuka menghilangkan kecurigaan. Saling mengisi ceruk yang kosong dari sebuah hubungan.
Kita kerap kagum pada pencapaian Golden Age pada era dinasti Abbasiyah yang sukses membawa Islam pada puncak kejayaan dengan melahirkan banyak penemu dan peletak dasar ilmu pengetahuan. Namun kita lupa bahwa di balik pencapaian itu ada sebuah dialog dengan sang “Kafir” Yunani dan Romawi.
Sulit rasanya pencapaian itu akan terwujud jika kita belajar hanya untuk mencari titik lemah mereka yang berbeda. Dialog peradaban tercipta ketika kita berani menanggalkan kecurigaan dan hasrat ingin menaklukan.
Tanpa itu semua kita hanya jadi bangsa Barbar seperti halnya ISIS yang menghancurkan semuanya. Kita akan menjadi bangsa latah yang dengan kata ‘ bela agama’ saja dari mulut satu orang semua ikut tersulut emosinya. Hingga semua bereaksi menghujat etnik tertentu.
Kita tidak Ingin menjadi bangsa kerdil bukan? Kita ingin seperti Abbasiyah yang mencapai golden age nya dengan dialog. Kita harus terus membangun dialog terbuka tanpa rasa curiga, saling mengisi ruang kosong, saling gotong royong dan saling menopang, tanpa ketulusan ketulusan itu kita hanya akan jadi bangsa kerdil.
*) Awan Kurniawan