Beberapa waktu mutakhir, linimasa media sosial saya ramai dengan dentuman percakapan tentang “sound horeg”, terutama menjelang tujuh belasan. Orang-orang memang sedang berbondong-bondong merayakan rasa bungahnya atas HUT RI ke-79.
Bukan hanya berisi festival tujuh belasan yang meng-horeg-kan, beberapa insiden terkait dengan resonansi bunyi-bunyian ini juga berdendang di media sosial. Protes ibu-ibu di Pati hingga kasus perusakan jembatan di Demak, misalnya, membuat kita, atau setidaknya saya, bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi dengan sound horeg sebagai sebuah praksis sosial kekinian?
Bukan Sekadar Gelegar Dentuman
Muasalnya, frasa ini merupakan kombinasi dua kata: “sound” yang berarti suara dan “horeg” yang dalam Bahasa Jawa berarti bergerak atau bergetar.
Fenomena ini mengacu pada hajatan di mana rangkaian sound system dalam skala besar dipakai dalam karnaval, pawai, dangdut, atau bahkan panggung skena solawatan. Ia menghasilkan suara yang sangat keras sehingga membuat sekelilingnya—termasuk bangunan dan orang—bergetar.
Di beberapa daerah, bil khusus di Jawa Timur, sound horeg telah menjadi semacam ekspresi kebudayaan baru.
Bayangkan, suara musik DJ yang memekakkan telinga mengalun dari atas truk besar yang berkeliling di jalanan, sementara sekelompok muda-mudi berjoget di belakangnya. Terdengar seru? Atau malah mengganggu?
Lebih dari Hiburan
Fenomena ini sebenarnya menciptakan dilema di tengah masyarakat. Ada yang menganggapnya sebagai hiburan belaka, sebuah cara untuk menikmati musik dalam skala besar. Tapi, ada juga yang merasa terganggu dengan bisingnya suara yang dihasilkan.
Dalam sebuah artikel liputan di Mojok[dot]co, Sugeng, seorang pelaku seni jaranan dari Blitar menyebut karnaval sound horeg ini tidak ada nilai seninya. Ini mencerminkan konflik antara budaya tradisional dan hiburan modern yang lebih ekstrem.
Sebagai gantinya, ia lebih suka kalau karnaval budaya diisi dengan kostum adat atau seni tradisional seperti reog.
Bagi Sugeng, apa menariknya mbak-mbak berjoget pargoy dengan pakaian seksi di depan anak-anak? Bukankah itu malah nir-edukatif?
Simulasi Melampaui Realitas
Ketika menyimak ontran-ontran ini, saya tertarik untuk mendaras ulang pemikiran seorang filsuf dari Prancis, Jean Baudrillard.
Baudrillard dasarnya memang tidak mengalami paparan sound horeg, tetapi dia memiliki legasi konseptual bernama hyperreality, yang dengannya kita bisa sedikit memahami ke tingkat lebih dalam dengan menganalisis sound horeg dari perspektif kebudayaan (pasca) modern.
Menurut Baudrillard, kita hidup di dunia di mana simulasi telah menggantikan realitas. Dan, sound horeg adalah contoh sempurna dari itu. Ia bukan lagi sekadar acara hiburan. Kini, sound horeg telah menjadi simulacra—sebuah tanda yang tidak lagi merujuk pada realitas asalinya, melainkan menciptakan realitasnya sendiri.
Misalnya, suara keras yang memaksa telinga tetap terjaga ini bukan lagi sekadar getaran mekanis yang ditransmisikan melalui media elastis, bergerak di udara dengan kecepatan sekitar 1.087 kaki (331 meter) per detik di permukaan laut. Lebih dari itu, sound horeg telah menjadi simbol kuasa (power) melalui dominasi dan identitas sosial. Itulah kenapa bagi para penikmatnya, dentuman sound system adalah realitas terdambakan. Suara dan getaran yang dihasilkan adalah tanda kekuatan yang di dalam dirinya memiliki nilai prestise.
Hal itu, umpamanya, diungkapkan oleh Tata, seorang pemuda Blitar yang besar dengan sound system rakitan bapaknya. Bagi dia, gelegar sound system adalah semesta tempat dia merasa hidup.
Karnaval kencang-kencangan sound system, dengan demikian, bukan sekadar hiburan semata, “melainkan sebagai ajang pamer sound system mana yang paling horeg sebagai promosi persewaan sound,” ujarnya, seperti ditulis Mojok.
Mengakomodasi atau Melarang?
Syahdan, sound horeg telah melampaui fungsinya sebagai hiburan dan, kini, ia telah menjadi bagian dari sistem tanda yang dikonsumsi oleh masyarakat. Dengan kata lain, sound horeg adalah hiperrealitas di mana tanda dan simulasi telah menggantikan realitas tradisional.
Pertanyaanya, bagaimana kita seharusnya menanggapi fenomena ini? Apakah sound system sebagai ekspresi gaya hidup perlu dilarang karena potensi destruktifnya? Atau justru perlu diakomodir dengan regulasi lebih ketat?
Untaian pertanyaan di atas sebetulnya menjadi wilayah stakeholders untuk menjawabnya. Namun ada kisi-kisi yang layak dipertimbangkan bagi pemegang kekuasaan, baik yang bersifat legal-formal seperti pemerintah (pusat/daerah), maupun kekuasaan yang sifatnya kultural semacam tokoh masyarakat.
Satu hal yang pasti, sound horeg sebagi praksis sosial menunjukkan bagaimana sebuah fenomena kebudayaan bisa berkembang menjadi realitas berlebih yang, pada gilirannya, menggantikan realitas konvensional sehari-hari.
Di satu sisi, ia adalah hiburan yang dianggap mengasyikkan, sekaligus ajang pamer teknologi audio terkini. Ingat, bahwa sound horeg menjadi komoditi penting dalam kampanye Pilpres 2024, ketika Paslon 02 menggelar kampanye akbar di Jakarta.
Di sisi lain, ia mungkin dianggap berisik bagi mereka yang mendambakan keheningan di tengah hingar-bingar ekonomi politik sehari-hari.
Pada akhirnya, fenomena sound horeg mengingatkan kita bahwa di era (pasca) modern ini, realitas tidak selalu seperti yang kita lihat atau dengar.
Terkadang, realitas yang kita alami adalah hasil dari simulasi yang kita ciptakan sendiri—seperti suara yang membuat jantung berdebar, baik dalam artian fisik maupun sosial.