Sosok Ulama Bernama Mbah Liem, Joglo Perdamaian Umat dan Kontribusinya Mendirikan FKUB Pertama di Indonesia

Sosok Ulama Bernama Mbah Liem, Joglo Perdamaian Umat dan Kontribusinya Mendirikan FKUB Pertama di Indonesia

Sosok Ulama Bernama Mbah Liem, Joglo Perdamaian Umat dan Kontribusinya Mendirikan FKUB Pertama di Indonesia

Terkadang kita lupa, ketika bicarakan toleransi ada satu nama yang luput, yakni KH Rifai Muslim Imampuro atau Mbah Liem. Siapa dan bagaimana perannya?

Sebelum ke sana, kita sebaiknya memahami bahwa, pada setiap 16 November, diperingati Hari Toleransi Internasional. Peringatan ini muncul sebagai respons terhadap konflik rasial dan budaya di dunia. Hari Toleransi Internasional tersebut ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1996.

Peringatan tersebut untuk mendorong masyarakat bersikap toleran dan menghargai budaya dan menolak diskriminasi. UNESCO sebagai pengadopsi resolusi ini menyebutkan bahwa toleransi bukan sekadar sikap pasif soal menerima perbedaan. Lebih dari itu, toleransi adalah suatu kewajiban untuk menghormati dan menghargai keberagaman dan hak asasi setiap individu.

Indikator disebut kota, kampung atau individu toleran sebagai berikut; ketiadaan kebijakan diskriminatif dan peristiwa intoleransi, dinamika masyarakat sipil, pernyataan dan tindakan nyata pemerintah kota, heterogenitas agama, inklusi sosial keagamaan, terjadinya masyarakat saling menghargai, menghormati, dan menerima perbedaan pendapat, keyakinan, atau kepercayaan orang lain dan tidak memaksakan kehendak, tidak mencela, dan tidak merendahkan orang lain (Kompas, 16 November 2024).

KH Rifai Muslim Imampuro dan Jejak Langkahnya

Indikator tersebut sebenarnya telah dijalankan saat itu oleh KH Rifai Muslim Imampuro atau dikenal Mbah Liem (almarhum). Melalui Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti dan Forum Kebersamaan Umat Beriman (FKUB Kebersamaan), toleransi dikibarkan.

Di masa hidup, Mbah Liem sangat gigih dalam memperjuangkan Islam dan Pancasila. Baginya, Islam dan Pancasila adalah satu kesatuan dan tidak bertentangan.

Oleh karena itu, dia sangat menentang keras ide pendirian negara Islam atau NKRI Bersyariah. Menurut Mbah Liem, Pancasila itu sendiri adalah manifestasi nilai-nilai Islam. Karena itu dia menyarankan Pancasila untuk dirawat. Karena itu pula dia menamai pondoknya dengan nama Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti (Alpansa), Klaten.

Saat Indonesia diterpa oleh ideologi transnasional dan sengkarut konflik horizontal sosial keagamaan seperti yang terjadi di Sampit, Ambon, dan Poso, Mbah Liem sangat merasa prihatin. Belum selesai konflik di sana, ditambah lagi huru-hara bernuansa sentimen SARA pasca runtuhnya rezim Soeharto, yang terjadi di kota-kota Indonesia, termasuk pembakaran ruko di sepanjang Solo dan Yogya. Atas dasar keprihatinan terhadap maraknya konflik rasial tersebut, Mbah Liem membentuk Forum Kebersamaan Umat Beriman (FKUB Kebersamaan) pada 14 November tahun 1998, jauh sebelum Kemenag membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB Kerukunan) tahun 2006.

Mbah Liem melihat bara konflik SARA ini harus dicarikan solusi kongkrit. Klaten, sebagai kota penyangga antara kota Solo dan Yogyakarta, Mbah Liem melihat memiliki posisi strategis untuk meredam konflik kemanusiaan itu meluas dari Solo ke Yogyakarta dan sebaliknya.

Di masa genting, pendiri ponpes Alpansa itu berkeliling ke berbagai tokoh agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Penghayat untuk memformulasikan solusi yang tepat untuk berbagai konflik di Indonesia, sekaligus memperkuat sebuah forum yang Mbah Liem dirikan: FKUB Kebersamaan.

Sejarah FKUB Kebersamaan

Pada awalnya, kegiatan yang dilakukan FKUB Kebersamaan adalah dengan mengadakan doa bersama lintas iman. Kegiatan yang tampaknya sederhana itu menimbulkan kontroversi karena masih banyak pihak yang belum bisa menerimanya. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Mbah Liem. Bersama tokoh agama dan masyarakat tetap menjalin komunikasi yang hangat, akrab, dan penuh kekeluargaan dengan mengutamakan kemanusiaan.

Sejak awal, FKUB Kebersamaan memiliki kesepakatan tidak tertulis, yakni tidak boleh mempersoalkan ajaran/teologi masing-masing agama sebagai titik beda, namun semangat kerelaan dan keterbukaan itu yang menjadi titik temu.

“Sesuai namanya, FKUB Kebersamaan, maka forum ini menganut asas kebersamaan. Kalau mengadakan kegiatan, maka diuasahakan setiap unsur agama ada keterwakilannya, meskipun cuma satu orang saja,” sebut Purnawan Kristanto, salah satu pengurus FKUB Kebersamaan.

Menurut Purnawan, saat ini, FKUB Kebersamaan sudah melampaui (beyond) sekat-sekat dogmatika setiap agama, sehingga dapat berinteraksi nyaris tanpa hambatan. Beberapa kegiatan dilakukaan seperti; Arisan Lintas Iman (para pemuka memiliki arisan yang bertemu setiap bulan); Kirab Budaya (Pawai lintas agama di jalan Pemuda saat perayaan Imlek); Pertemuan Nasional Lintas Iman dan Budaya, yang mengundang perkumpulan lintas agama di seluruh Indonesia; Kemah Pemuda Lintas Iman yang menghasilkan organisasi Jamu Lima (Jaringan Muda Lintas Iman); Penghijauan Lereng Merapi; Menanam 21 ribu bibit pohon paska Erupsi; Respons Bencana Lintas Iman di berbagai kebencanaan; dan Membentuk Koperasi BUMA.

“Sekarang FKUB Kebersamaan diteruskan oleh menantu Mbah Liem, Gus Ahmad Jazuli Kasmani. Mereka memiliki slogan “Sinten Remen”, yang artinya siapa saja boleh bergabung atas dasar kesukarelaan. Jika ada yang tidak merasa nyaman dengan perkumpulan ini, boleh keluar secara sukarela. Tidak ada stigma. Forum ini juga menganut asas “Samirun” yang merupakan kependekan dari “sami-sami urun” (sama-sama ikut memberikan kontribusi). FKUB Kebersamaan didanai bersama, meskipun porsinya tidak dipukul rata. Namun mereka sama-sama nyengkuyung sesuai dengan kemampuan sendiri-sendiri,” jelas Purnawan saat dihubungi lewat WhatsApp.

FKUB Kebersamaan ini telah berhasil menginspirasi masyarakat, salah satunya menginspirasi Pemerintah Indonesia dengan secara resmi membuat Forum Kerukunan Umat Beragama tahun 2016. FKUB Kebersamaan adalah awal dari sejarah FKUB milik pemerintah. Nilai-nilai FKUB Kebersamaan ini kemudian dipahatkan ke dalam kurikulum Pondok Al-Muttaqien Pancasila Sakti.

Pondok Al-Muttaqien Pancasila Sakti

Tidak seperti di ponpes pada umumnya, ponpes Alpansa ini diajarkan Islam wasathiyah, Pancasila, nasionalisme, dan toleransi. “Penanaman rasa nasionalisme pada anak-anak di pesantren ini atas keyakinan Mbah Liem yang kita teruskan sampai sekarang ini. Itu yang membedakan antara Ponpes Alpansa dan pondok-pondok yang lain,” kata KH Saifuddin Zuhri, pengasuh Yayasan Ponpes Alpansa saat ini.

Selain mencetak siswa-siswi yang Pancasilais, ponpes Alpansa menggaransi santrinya berperilaku moderat, santun, dan toleran. Ini terbukti ketika para santri terbiasa menerima kunjungan dari teman lintas agama. Menurut Gus Zuhri, santri-santrinya sudah biasa menerima perbedaan, karena mereka sadar bahwa perbedaan itu rahmat.

Nilai-nilai nasionalisme dan toleransi yang diperjuangkan Mbah Liem, masih mengalir deras bagi Indonesia, khususnya masyarakat Klaten. Sebagai bukti, masyarakat Klaten tidak mengalami gesekan dan konflik. Bukti lain, slogan “NKRI Harga Mati, Pancasila Jaya” masih terpatri di sanubari NU dan TNI hingga saat ini.

Meski banyak orang tidak mengetahui sosok dan jasa Mbah Liem untuk kerukunan Indonesia, tetapi namanya tetap harum, sebagaimana harumnya bunga-bunga yang mekar di makamnya dan di Joglo Perdamaian Umat Manusia se-Dunia itu.

Joglo Perdamaian berdiri untuk menancapkan dan meneruskan nilai-nilai perdamaian yang diperjuangkan Mbah Liem saat itu. Di Joglo Perdamaian itu bertulis: “meski beda agama sekalipun toh sesama hamba Allah, sesama anak cucu eyang Nabiyullah Adam AS, dan sesama penghuni NKRI Pancasila”.

Pesan itu tetap hidup sampai sekarang, melalui FKUB Kebersamaan, melalui Ponpes Pancasila Sakti, dan melalui orang-orang yang mencintai kerukunan dan perdamaian. Itu.