
Gerakan radikal-terorisme tidak hanya beroperasi dalam ranah militer dan politik, tetapi juga dalam dimensi simbolisme yang memainkan peran penting dalam pembentukan identitas, legitimasi ideologi, serta mobilisasi pendukung. Simbol bukan sekadar representasi visual, tetapi juga menjadi sarana komunikasi yang menghubungkan perjuangan masa kini dengan narasi historis yang dianggap sakral.
Dalam sejarah jihad modern, Abdullah Azzam menjadi salah satu tokoh yang pertama kali memanfaatkan simbolisme dalam jihad global, terutama melalui narasi “malaikat yang membantu dalam perang”. Narasi ini diperkenalkan untuk memperkuat keyakinan bahwa jihad yang dilakukan di Afghanistan bukan sekadar konflik fisik, tetapi juga bagian dari skenario ilahi. Keyakinan ini kemudian berkembang dalam berbagai kelompok ekstremis, termasuk di Indonesia, di mana simbolisme menjadi alat propaganda yang efektif dalam merekrut anggota dan membangun loyalitas.
Salah satu simbol yang berkembang dalam lanskap ekstremisme di Indonesia adalah “Sorban Merah”, yang digunakan oleh kelompok Muhajirin At-Tauhid (MAT). Kelompok ini mengadopsi simbol tersebut sebagai bagian dari identitas perjuangan mereka, sekaligus sebagai alat untuk memperkokoh militansi anggotanya.
Simbolisme Sorban Merah
Kelompok Muhajirin At-Tauhid (MAT) muncul pada tahun 2020 dan berkembang di 11 provinsi di Indonesia. Awalnya, kelompok ini terbentuk dari sebuah kajian daring bernama “Ghuroba”, yang menjadi wadah diskusi keagamaan bagi individu dengan kecenderungan ideologi Islamic State (IS).
Seiring waktu, MAT mengalami perubahan signifikan. Kelompok ini tidak lagi sekadar menjadi forum diskusi, tetapi berkembang menjadi organisasi militan. Meskipun pemimpinnya, Abby Haura, pernah menyangkal adanya keterkaitan langsung dengan faksi teroris lain, fakta menunjukkan bahwa salah satu anggotanya, Agus Alwi, pernah pergi ke Suriah sebelum akhirnya dideportasi dari Turki ke Indonesia. Juga penyebaran buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh ISIS seperti Bahrun Naim, yang tewas saat mengendarai motor di Ash Shafa, Suriah.
Di dalam MAT, simbol “Sorban Merah” pertama kali diperkenalkan oleh Wahid Artanto alias Abu Asadullaj, seorang komandan lapangan kelompok tersebut. Istilah ini digunakan untuk menanamkan kebanggaan dan heroisme di antara para anggota, serta sebagai bentuk penguatan identitas ideologis mereka.
Secara historis, istilah “Sorban Merah” asalnya tidak dikenal dalam kelompok teror mana pun, tetapi MAT merujuknya kepada sejarah klasik, khususnya yang berkaitan dengan Abu Dujanah al-Anshari, seorang dari suku Bani Sa’idah.
Dalam Perang Badar, Abu Dujanah dikenal sebagai salah satu pejuang tangguh yang diberi pedang oleh Nabi Muhammad. Ia terkenal karena keberaniannya, termasuk dalam Perang Khaibar, di mana ia berhasil membunuh pemimpin Yahudi Khaibar, al-Harith Abu Zainab. Karena kegigihannya, ia mendapat julukan sebagai pemimpin “Pasukan Maut.”
Narasi ini kemudian dijadikan sumber inspirasi, yang mengaitkan perjuangan mereka dengan heroisme Abu Dujanah. Pejuang Arab di Afghanistan, misalnya, sering mengadopsi simbol serupa untuk membangun citra sebagai mujahid, yaitu sosok pejuang yang memiliki keberanian sekaligus kedalaman spiritual.
Dalam konteks MAT, “Sorban Merah” digunakan untuk menghubungkan perjuangan kelompok ini dengan narasi sejarah klasik, menciptakan kesan bahwa mereka adalah kelanjutan dari jihad yang telah berlangsung sejak masa lalu.
Penggunaan simbolisme dalam gerakan ekstremis bukan hanya sekadar upaya membangun identitas, tetapi juga menjadi strategi yang efektif dalam propaganda dan rekrutmen. Simbol seperti “Sorban Merah” dalam MAT memperkuat semangat perjuangan dan membangun kesan bahwa jihad yang mereka lakukan memiliki dimensi historis dan spiritual yang kuat.
Dari Sentralisasi ke Desentralisasi
Dimensi spiritual dalam gerakan ekstremis seperti MAT tidak berdiri sendiri, tetapi berpadu dengan dimensi fisik sebagai bagian dari strategi perjuangan mereka. Simbolisme religius, seperti “Sorban Merah”, tidak hanya membentuk identitas kelompok, tetapi juga berfungsi sebagai penguat moral dan motivasi dalam aktivitas fisik dan militer.
Dalam praktiknya, MAT mengintegrasikan simbolisme ini ke dalam pelatihan fisik dan militer, salah satunya melalui tadabur alam di Gunung Pundu Nence, Bima. Kegiatan ini mencakup latihan fisik dan internalisasi doktrin tauhid ekstrem, yang mereka yakini sebagai fondasi spiritual sekaligus taktis dalam perjuangan mereka. Dengan kata lain, simbolisme keagamaan digunakan untuk membangun mentalitas pejuang yang siap secara fisik dan ideologis, sehingga setiap latihan militer tidak hanya dianggap sebagai persiapan teknis, tetapi juga sebagai bagian dari misi ilahi.
Kemunculan MAT pun mencerminkan pergeseran strategi dalam gerakan ekstremis di Indonesia. Jika sebelumnya kelompok teror memiliki struktur yang lebih hierarkis dan terpusat, kini mereka lebih banyak mengadopsi model desentralisasi. Pola ini memungkinkan mereka untuk tetap beroperasi tanpa tergantung pada satu komando utama, sehingga lebih sulit dideteksi dan diberantas.
Internet dan media sosial menjadi faktor penting dalam evolusi strategi ini. MAT, seperti kelompok ekstremis lainnya, memanfaatkan teknologi digital untuk merekrut anggota baru, menyebarkan propaganda, serta mengokohkan jaringan ideologis mereka. Salah satu bentuk aktivitas digital mereka adalah penyebaran buku Bahrun Naim, yang berisi panduan teknis dalam melakukan serangan teror.
Selain itu, keberadaan “divisi istisyhadiyah” (misi bunuh diri) dalam MAT menunjukkan bahwa kelompok ini tidak hanya mengadopsi ideologi jihad global, tetapi juga secara strategis mengintegrasikan metode serangan bunuh diri ke dalam operasional mereka. Divisi ini mengindikasikan kesiapan kelompok untuk melakukan serangan dengan tingkat destruktivitas yang lebih tinggi.
Dari kelompok MAT, yang diwakili oleh Wahid Artanto, simbol “Sorban Merah” memancarkan heroisme yang tidak dapat dianggap sederhana. Simbol ini membawa makna yang dalam, mencerminkan keberanian yang luar biasa, pengorbanan tanpa batas, dan legitimasi religius yang menjadi inspirasi bagi gerakan jihad. Sorban merah telah menjadi lambang perjuangan yang menyatukan narasi spiritual dan militansi, menjadikannya simbol yang kuat dalam ideologi kelompok-kelompok ekstremis. []