Bagi orang Jawa, ritus dan tradisi menjadi penentu struktur kehidupan sehari-hari seluruh masyarakatnya. Kita juga bisa katakan bahwa dalam ritus dan upacara tradisi itu, pandangan dunia masyarakat Jawa diolah kemudian direproduksi terus menerus. Banyak peneliti budaya menyatakan bahwa pandangan hidup orang Jawa dibentuk dari aktivitas dan praktik yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini, Cliford Geertz (1973-1976), terkenal dalam penelitianya tentang Jawa karena berhasil memahami secara terperinci bahwa dalam ritus dan upacara dapat mengumpulkan orang Jawa dalam kehidupan empiris. Melalui kehidupan empiris tersebut konsepsi kosmis dipegang teguh, ditata, diawetkan dan juga diperindah. Mulai dari anak-anak, remaja sampai orang dewasa memberi sumbangsih dalam ritus dan tradisi yang dilakukan. Dari sana lah kemudian mereka mendefinisikan kejawaan mereka.
Dalam melakukan ritus upacara dan ritual slametan itu juga, tidak kita temukan sekat antara orang kaya dan orang miskin di kota hingga di desa, semua melakukan ritual dan upacara yang diadakan. Walaupun harus diakui bentuk dan formatnya berubah atau disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari yang semakin cepat ini.
Yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah, peran perempuan sebagai penaggungjawab utama dalam segala praktik ritual dan upacara yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Hal inilah yang tercermin dalam ritual yang paling sering dilakukan oleh masyarakat Jawa hari ini yaitu slametan.
Jika kita sedikit jeli melihat praktik ini, sebenarnya stereotip bahwa muslimah selalu di posisikan di belakang atau di domestikkan, tidaklah benar. Malah sebaliknya dalam ritus dan adat ini muslimah Jawa diberi ruang yang dominan untuk menganal dan memposisikan dirinya di dunia sosial masyarakat Jawa.
Slametan Untuk Kerukunan
Slamet dalam bahasa Jawa artinya “baik-baik saja”, dalam pengertian konteks menyatakan keadaan seseorang. Dalam bahasa Arab sendiri, Slametan, asalnya dari kata selamat, Islam-aslama, yuslimu, Islam: menyerahkan diri kepada Tuhan, artinya iman yakin kepada Allah beragama Islam, maka akan selamat.
Kata ini juga biasa digunakan dalam kerangka atau kondisi sulit, slamet bisa menunjukan bahwa seseorang sudah lolos dan keluar dari kondisi kesulitan. Jika ada yang mengatakan “saya slamet” hal ini menunjukan seseorang tersebut telah berhasil menyelesaikan sebuah kesulitan (Risa Permanadeli : 2015).
Dalam dunia filosofi Jawa, slamet juga bisa diterjemahkan sebagai suatu keadaan yang pas. Dalam keadaan pas tersebut, tepat dan waktu bertemu dalam posisi keselarasan sempurna. Menyatukan ketiga pola relasi kosmik antara manusia, alam dan sang pencipta. Agar mencapai tujuan keselamatan semua dan menuju keharmonisan bersama unsur-unsur hidup di dunia.
Untuk itulah slametan bagi masyarakat Jawa digelar, untuk menunjukan kesadaran dalam keadaaan keseimbangan. Sebab dalam keseimbangan tersebut setiap orang mendapat tempatnya. Begitupun titik tempat dan waktu bertemu menunjukan kesadaran bagi masyarakat Jawa bahwa mereka dalam keadaan slamet. Dirinya slamet dan setiap orang di lingkungannya juga slamet menunjukan bahwa mereka dalam kondisi rukun.
Biasanya acara slametan diadakan dalam tujuan yang jelas, melalui perbincangan dari suami dan istri atau antara ayah dan ibu. Dan harus melalui pemilihan tanggal yang tidak bisa sembarangan, harus disesuaikan dengan perhitungan tanggal baik melalui kalender Jawa yang cukup rumit. Setalah mendapatkan waktu yang pas, kemudian menentukan siapa saja tamu yang akan diundang dan menetapkan biaya yang akan dibutuhkan. Menariknya, semua penyelenggaraan dan orkestrasinya dilakukan sepenuhnya oleh perempuan.
Acara slametan ini pada dasarnya berbeda dengan ritus-ritus yang ada sebelumnya. Dalam ritus primitif, keadaan selamat memang dicari lewat sebuah acara yang dilakukan masyarakat tradisional yang sedang mengalami celaka. Dengan menggunakan persembahan atau korban mereka meminta perlindungan. Namun berbeda halnya dengan slametan itu sendiri, yang melakukan acara slametan dalam keadaan slamet. Dia tidak sedang mengalami derita ataupun celaka dari hal itulah mereka mengucapkan rasa syukur. Berbagi kebahagian dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Secara tidak langsung secara sosiologis mempererat jalinan atar masyarakat itu sendiri.
Jika dilihat lebih dalam, hal ini dipengaruhi oleh cara masuknya Islam di Jawa. Para Wali Sembilan yang diyakini memodifikasi acara yang dulu sudah melekat dengan masyarakat dengan agama lokalnya, dengan cara mengubah upacara persebahan ini dengan memasukan nilai-nilai Islam di dalamnya.
Oleh karenanya, acara ini selalu menjadi agenda penting disetiap acara-acara penting umat Islam, seperti tujuh bulanan anak, hingga kelahiran seorang bayi, kemudian pernikahan, hingga kematian sampai seratus harian. Termasuk hari-hari besar umat Islam seperti Maulid nabi, sampai hari raya.
Slametan Tidak Sekadar Ruang Dapur Saja
Sebenarnya tempat slametan untuk perempuan tidak hanya terbatas sama ruang dapur semata. Dapur hanyalah ruang nyata pertama yang menghubungkan perempuan dengan dunia sosial dimana perempuan menjadi perumus banyak hal, termasuk keberadaanya.
Dalam tata kelola slametan, biasanya di bagi menjadi dua bagian antara yang di dalam dengan yang di luar, atau biasa disebut jero dan jaba. Biasanya untuk bagian ne jero dikategorikan untuk kerja berat, bagian masak nasi membuat lauk-pauk untuk disajikan dengan sekala besar. Seringkali bagian ini diisi oleh perempuan yang secara pengalaman dan mental sudah terbiasa dan mempunyai kecakapan. Sedangkan yang ne jaba mengurusi bagian persiapan untuk menata besek yang nantinya akan di doakan. Bagian ini biasanya diperuntukkan bagi para perempuan remaja dan untuk melihat proses dalam mempersiapkanya.
Yang unik dari hal ini adalah tidak ada intruksi teknis dan struktural dalam menempatan posisi, semua perempuan kemudian mengukur diri mencari posisinya masing-masing yang sesuai dengan kapasitasnya dirinya. Ada semacam rasa saling asah dan asuh diantara yang lebih tua dan muda. Sehingga semesta ruang ini menjadi medium belajar bagi perempuan untuk saling mengenal diantara keluarga besar masyarakat dan olah rasa untuk bisa berkomukasi dengan yang liyan.
Para perempuan yang sudah dimintai tolong dalam mempersiapkan hajatan disebut rewang. Mereka dengan suka rela datang kerumah yang punya hajat untuk membantu, bahkan membawakan sedikit kebutuhan seperti gula pasir untuk meringankan beban yang punya hajatan. Hal ini merupakan usaha timbal baik untuk saling mebantu di antara orang yang mempunyai hajatan.
Sementara itu yang tidak bisa ditinggalkan dari ritual ini adalah dimensi srawung bagi perempuan. Srawung yang mengacu pada gagasan pergaulan dan interaksi sosial ditengah masyarakat Jawa. Menjadikan kata ini sebagai medium belajar bagi perempuan Jawa untuk mengenal bagaimana menjadi orang Jawa yang ideal menurut laku dan fikir orang Jawa.
Pada slametan inilah dimensi srawung bagi perempuan Jawa ada. para perempuan keluar dari jebakan stereotip apa yang dinarasikan selama ini, bahwa ruang tradisi selalu memosisikan perempuan di belakang dan terasing oleh lingkungan sosialnya. Padahal melalui srawung inilah eksistensi perempuan Jawa selalu ada dan mendapat ruangnya ditengah masyarakat.