Salah satu perdebatan penting belakangan adalah, bagaimana merespon (keinginan) pulang 600 ‘warga’ Indonesia dari wilayah ISIS (Returnees ISIS). Isu ini membutuhkan banyak pertimbangan, mulai kemanusiaan hingga keamanan.
Saya lebih suka melihat latar belakang terlebih dahulu bagaimana mereka akhirnya memutuskan bergabung negara ‘halu’ ISIS. Saya sebut halu, karena apa yang selama ini diperjuangkan kelompok ISIS merupakan hal yang sudah tidak logis, apalagi di zaman sekarang. Negara Islam berkonsep satu orang pemimpin (khalifah) untuk semua umat Islam adalah wacana usang, ditambah mereka sudah menunjuk satu orang sebagai khalifah, yang tentu saja, kita tidak kenal kelayakannya sebagai pemimpin secara agama mau pun negara.
Kembali di awal, motif bergabung ke ISIS dapat menjadi pertimbangan matang merespon kepulangan para returnee ini. Ada yang pindah ke ISIS karena dorongan untuk menemukan konsep negara Islam yang mereka mimpikan. Artinya ada kekecewaan terhadap kondisi Indonesia dan serta keinginan menemukan negara sesuai halu mereka.
Jika kemudian mereka ini kembali ke Indonesia. Apakah sudah menanggalkan keinginan mereka menemukan konsep negara halu mereka? Sebab pengalaman berharga negara Indonesia ketika menerima eks jihadis Afganistan, tidak sedikit diantara mereka membawa pulang semangat (ghiroh) membela Islam dengan mendirikan negara Islam sesuai konsep mereka.
Korban Keluarga, Sebuah Sisi Lain
Saya mendengarkan kisah Nada Fedullah di BBC Indonesia, ia adalah korban keluarganya yang memutuskan bergabung ke ISIS. Ia hanyalah anak kecil yang harus ikut pilihan keluarganya.Tentu tidak adil mengukur Nada dan orang-orang sejenisnya menggunakan kacamata sebagai simpatisan ISIS.
Korban keluarga seperti ini mengharuskan kita punya pertimbangan lain menanggapi kepulangan returnee ISIS. Selain tidak punya pilihan untuk ikut atau tidak kewilayah ISIS, secara ideologi perlu dipertanyakan tentang konsep negara Islam yang mereka mimpikan. Jangan-jangan mereka tidak punya bayangan apapun tentang negara Islam ala ISIS.
Sekali lagi, perihal kepulangan returnee ini tentu perlu kehati-hatian, sedikit saja kurang jeli dalam menerima kedatangan mereka, keamanan dan kedamaian Indonesia menjadi taruhan.
Tawaran Solusi
Saya teringat metode negara dalam kepulangan warga negara Indonesia dari Wuhan, yakni tidak langsung dilepaskan ke tengah masyarakat, namun diperlukan proses karantina. Saya membayangkan bagaimana bila para returnee ini benar-benar dipulangkan ke Indonesia dengan membawa ancaman virus ‘terorisme’, tentu kita tidak bisa melihat secara kasat mata siapa yang terjangkit virus, kita perlu melakukan beberapa screening sejak di kamp pengungsian mereka hingga kedatangannya di Indonesia. Begitu pun, pasca kedatangannya tidak langsung dibiarkan membaur, perlu upaya karantina untuk pembersihan virus.
Jika pun waktunya dirasa cukup untuk lulus karantina, saya rasa perlu dibuatkan upaya wajib lapor bagi para returnee ini sesuai motif keberangkatan mereka ke ISIS kepada pihak-pihak terkait. Memang sih terlihat lebay, namun untuk kasus Kejahatan Luar Biasa (Extraordinary Crime ), hal ini terlihat logis dan dibutuhkan.
Gus Dur menulis dalam artikel Islamku, Islam anda, Islam Kita seperti ini “Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.”
Saya setuju pendapat Gus Dur, bawa tindakanya (kekerasan dan teror) yang bertentangan dengan Islam, namun bagi pelaku tetaplah manusia. Mereka harus dipandang sebagai manusia yang dinamis, sehingga kita harus menaruh percaya tanpa menghilangkan kehati-hatian kepada returnee bahwa mereka bisa menerima kenyataan; kenyataan apapun di Indonesia lebih baik daripada halusinasi di kekuasaan dari sebuah teror.