Seorang warga Katolik meninggal di Kotagede, Yogyakarta. Ketika hendak dikuburkan, keluarganya tidak diperkenankan untuk memasang tanda salib diatas kuburannya. Akhirnya, keluarga yang meninggal memotong ujung salibnya itu. Jadilah makam itu bernisan seperti huruf T saja.
Keluarga juga tidak diperkenankan menggelar doa arwah dirumahnya. Akhirnya, disepakati bahwa doa arwah digelar di Gereja Pringgolayan.
Kuburan yang dipakai itu kabarnya memang kuburan umum. Namun kuburan itu sedang dalam proses untuk menjadi kuburan Muslim. Tentu dianggap tidak pantas tiba-tiba ada salib menyembul di antara kuburan Muslim.
Bisa dimaklumi. Mereka hanyalah satu dari tiga keluarga Kristen dari satu RT yang beranggotakan 150 KK. Dalam logika numerik, yang tiga sebaiknya mengalah. Maka keluarga yang meninggal pun membuat surat pernyataan bermaterai. Mereka menyatakan tidak keberatan atas pemotongan salib itu.
Selesai? Mungkin.
Cuma masalahnya tidak akan selesai pada nisan salib itu saja. Untuk mereka yang paham, simbol salib dalam kekristenan itu ada beraneka raham.
Ada juga salib yang berbentuk seperti huruf T, yang dikenal dengan nama “crux commissa.” Salib T ini dikenal juga dengan nama salib Tau. Salib model ini juga dikenal sebagai Salib Santo Antonius atau Salib Santo Fransiskus.
Para imam dari Ordo Fransiskan, misalnya, kemana-mana mengenakan salib berbentuk T ini. Mereka umumnya berjubah coklat dengan kantong di punggungnya (yang sebenarnya adalah penutup kepala); dan bersandal. Para imam itu biasanya mengenakan salib kayu berbentuk T. Itulah crux commissa atau Salib Tau.
Simbol kekristenan itu sangat beragam. Umat Kristen purba, ketika mereka masih dibawah tanah, memakai berbagai simbol untuk berkomunikasi. Yang paling sering mereka pakai adalah gambar ikan. Itu adalah simbol ichthys or ichthus (/ˈɪkθəs/), dua garis lengkung diatas dan dibawah sehingga membentuk simbol ikan.
Selama beberapa abad Kristen adalah agama subversif. Mereka harus berkumpul di tempat-tempat tersembunyi, lorong-lorong bawah tanah kota Roma. Disitulah banyak simbol ikan itu muncul. Namun, setelah Kekristenan menjadi umum dan dipraktekkan secara terbuka, mulailah diadopsi simbol salib. Penggunaanya pun meluas.
Saya hanya ingin menunjukkan bahwa tidak terlalu mudah mereduksi kekristenan menjadi satu simbol. Demikian juga agama lain.
Namun ada persoalan yang lebih substansial dari sekedar simbol. Yakni: bagaimana kita harus memahami tindakan yang melarang simbol seperti yang dilakukan di Purbayan, Kotagede, Yogyakarta ini?
Jawaban yang sering diberikan adalah bahwa ini terjadi karena meningkatnya intoleransi dalam masyarakat kita. Untuk saya, jawaban seperti ini adalah jawaban mudah atas persoalan yang pelik. Ia tidak menyentuh persoalan sebenarnya, yakni mengapa intoleransi ini muncul?
Itulah pula sebabnya kita menangani masalah ini dengan cara yang relatif gampangan.
Kita selalu bersorak kalau ada tokoh yang kita anggap toleran. Menjadi tokoh toleran pun, standarnya tidak terlalu tinggi. Orang disebut toleran kalau dia rajin berkunjung ke tempat ibadah yang bukan kepercayaannya. Atau rajin berbicara di media mengecam intoleransi.
Para “pendukung” toleransi terharu biru ketika gereja menyediakan tempat parkir untuk orang yang sholat Ied. Suatu hal yang dalam waktu normal itu wajar menjadi istimewa dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Industri “dialog antar iman” pun tumbuh subur. Ada ribuan seminar dan konggres digelar untuk meningkatkan toleransi.
Tidak lupa, kita akan menyebut bahwa semboyan negara kita adalah “Bhineka Tunggal Ika” seperti kita merapal mantra yang akan bisa menyembuhkan penyakit intoleransi.
Namun tidak sedikit pun kita pernah mempertanyakan mengapa orang menjadi intoleran? Mengapa orang tidak nyaman dengan perbedaan?
Untuk saya, peristiwa di Yogyakarta ini sendiri adalah satu simbol. Yakni, simbol sebuah masyarakat yang sedang sakit parah. Ini adalah symptom dari sebuah penyakit sosial yang akut. Pengobatannya pun tidak mudah.
Sebagian besar orang di masyarakat kita merasa bahwa mereka menjadi korban. Mereka mengalami kemunduran dan mereka sedang terancam.
Sekarang ini mayoritas masyarakat kita sedang mengalami ketakutan kolektif. Menanggapi ketakutan ini, satu-satunya bisa mereka lakukan adalah masuk ke dalam kelompok tribalnya, ke dalam kawanannya. Ketakutan inilah yang melahirkan serangan terhadap apa saja yang dianggap tidak termasuk dalam kawanannya.
Hal seperti ini terjadi merata di semua komunitas. Ini tidak terjadi secara eksklusif di komunitas Muslim atau Kristen saja. Tapi di hampir semua komunitas.
Persoalan ini mengharuskan kita untuk menggali lebih dalam lagi. Apa yang menjadi penyebab orang takut pada perbedaan? Mengapa orang tidak mau keluar dari komunitas gerombolannya? Apa yang sedang terjadi dan berubah di masyarakat kita?
Intoleransi tidak terjadi begitu saja. Saya tidak percaya intoleransi terjadi karena ajaran agama atau sistem kepercayaan yang dianut seseorang. Agama-agama Abrahamik (yang saya tahu) sangat kaya dengan anjuran untuk membunuh orang yang tidak percaya kepada agamanya.
Namun di banyak masyarakat, orang bisa hidup berdampingan selama berabad-abad tanpa harus saling membunuh karena berbeda agama. Jika pun ada pembunuhan atas nama agama, maka umumnya yang terjadi adalah pembunuhan yang mencari justifikasi agama namun basis dasarnya adalah kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan.
Akar-akarnya saya kira ada pada persoalan ekonomi-politik kita. Kegagalan-kegagalan kita membangun sebuah sistem dimana semua orang bisa maju dan tidak merasa terasing dan menjadi korban.
Politisi kita memilih untuk mengeksploitasi ketakutan dan memajukan mentalitas kawanan (herd mentality) ini. Karena ini adalah jalan yang paling mudah untuk berkuasa.
Untuk mengetahui apakah sebuah masyarakat sedang sakit atau sehat, ajukanlah pertanyaan ini: Apakah orang lebih memilih rumahnya bebas banjir, anaknya terdidik dengan baik, kesehatannya terjamin ataukah mereka lebih mengutamakan pemimpin yang berasal dari kawanannya?
Dalam masa kampanye ini, kita sering mendengar bahwa angka kemiskinan saat ini paling rendah dalam sejarah. Mungkin iya. Namun bukan disana persoalannya.
Apakah yang terjadi jika Anda lulus SMA dengan nilai terbaik dan Anda merasa terpanggil untuk menjadi dokter tetapi tidak bisa karena Anda kalah bersaing dengan yang mampu membayar ratusan juta untuk masuk sekolah kedokteran? Apakah yang terjadi jika Anda lulusan insinyur sipil dan kemudian hanya pekerjaan tukang ojek online yang tersedia untuk Anda?
Apakah yang terjadi jika Anda seorang perwira militer yang setia dengan tugas dan bergulat dengan medan pertempuran tapi Anda karir Anda mandeg hanya karena Anda tidak memiliki koneksi di kalangan elit di Jakarta?
Apakah yang terjadi jika Anda hanya lulus SMA? Pekerjaan apa yang tersedia untuk Anda kecuali menjadi TKI di Hongkong, Taiwan, atau di Timur Tengah? Anda sudah merasa beruntung sekalipun harus bekerja selama 3 tahun tanpa libur dan paspor ditahan agen tenaga kerja namun bisa membawa beberapa puluh juta rupiah pulang ke kampung. Apa yang terjadi ketika Anda tidak bisa menjadi TKI? Tidak ada sawah yang bisa digadaikan untuk membayar agen?
Sistem ekonomi kita gagal memberikan jaminan bahwa ada masa depan dan kesempatan bagi semua orang untuk maju. Orang membutuhkan keamanan masa depan untuk tidak hidup dalam ketakutan. Mentalitas kawanan itu muncul dari ketakutan semacam itu.
Anda tidak perlu heran jika masalah intoleransi ini muncul di wilayah seperti Yogyakarta. Inilah salah satu kota dengan ketimpangan sosial tertinggi di Indonesia. Tanyakanlah pada penduduk asli Yogyakarta, apakah mereka menikmati semua hotel dan industri pariwisata serta industri pendidikan di kota ini?
Intoleransi itu muncul karena ketakutan. Dan ketakutan itu muncul karena tidak ada harapan akan masa depan. Dan, masa depan itu sangat suram untuk sebagian besar mereka yang tidak hidup dalam lapisan elit negeri ini.
Orang-orang ini tidak berpartai. Semua partai politik dikuasai para elit. Semua partai politik memperjuangkan kepentingan elit.
Tidak satu pun politisi kita membahas kesenjangan sosial yang makin akut di masyakarat kita. Mereka dengan gembira menyebut satu digit angka kemiskinan namun mereka lupa bahwa satu digit itu tidak bicara apa-apa tentang sebagian besar orang yang tidak punya masa depan. Orang-orang yang mobilitas vertikalnya ke bawah, bukan ke atas.
Apa yang kita pelajari dari Yogyakarta bukan intoleransi atas simbol salib sebagai nisan. Pelajaran utama kita adalah intoleransi para elit politik dan ekonomi kita yang culas, serakah, dan mau berkuasa tanpa batas.