Silaturahmi Bhineka dan Upaya Menenun Kalimatun Sawa

Silaturahmi Bhineka dan Upaya Menenun Kalimatun Sawa

Silaturahmi Bhineka dan Upaya Menenun Kalimatun Sawa
Suasana kunjungan 90 finalis Workshop Milenal Islami ke Vihara Lalitavistara

Tentang ke-wasathiyah-an Muslim di Indonesia, dalam banyak hal saya tidak ragu. Walau sebagian riset menunjukkan peningkatan ultra-konservativisme Islam, pengakomodasian narasi alternatif tentang Islam kontekstual yang ramah tetap punya ruang untuk bertumbuh dan menyebar. Hanya, salah satu tantangan berat dari moderasi Islam di Indonesia terletak terutama pada situasi di mana sebagian (besar?) Muslim hidup dan bergaul, belajar dan berinteraksi, di lingkungan yang homogen. Tidaklah mereka punya kolega, keluarga, dan rekan melainkan Muslim juga. Dan tidaklah mereka belajar dan bermuamalah melainkan yang role of conduct-nya dominan Islam.

Akibatnya, kita kehilangan kesempatan untuk menumbuhkan empati, setidak-tidaknya tentang, bagaimana rasanya menjadi minoritas. Kita kehilangan kemampuan melihat sesuatu dari kacamata holistik; dari sudut pandang orang lain. Akibat turunannya kita jadi sensian, gampang sekali merasa dinistakan, dicaci-maki, padahal sehari-hari tanpa sadar bisa jadi kita sebetulnya berulang kali menistakan agama lain. Misalnya: kita bisa dengan bebas ‘mengkritisi’ konsep trinitas Kristen, mencibir gagasan bahwa Yesus itu anak Tuhan, dan merasa tidak apa-apa dengan itu. Walau jika ada non-Muslim mengkritisi Nabi Muhammad, misalnya, kita akan bereaksi dengan keras. Ini penistaan! Penghinaan! Ciduk dan penjarakan!

Sikap tersebut kadang ditopang oleh penafsiran sempit  atas ayat innaddina ‘indallahil Islam, satu-satunya agama yang direstui Allah hanya Islam. Yang membuat mereka merasa berhak untuk, katakanlah, melihat non-Muslim sebagai less human, karena mereka bukanlah manusia yang diridhai oleh Allah sebenar-benarnya Tuhan. Padahal, keyakinan atas Islam sebagai agama yang benar harus ditopang oleh kesadaran bahwa sejak awal Tuhan tidak bermaksud menjadikan ras manusia itu makhluk yang satu; bahwa Allah sejak awal memang sengaja membuat manusia terdiri atas bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beragama-agama.

Maka diperlukan suatu kalimatun sawa, titik semu. Irisan yang mempersatukan, yang mengaitkan jemari. Alasan yang membuat kita bisa berdiri bahu ke bahu. Saling merangkul. Kemanusiaan dapat menjadi salah satu titik temu itu. Juga keindonesiaan dan kebaikan universal. Tetapi untuk menemukan titik temu itu ternyata diperlukan exposure dengan lingkungan pergaulan (dan pendidikan) yang heterogen. Karena melalui pergaulan dan pendidikan yang heterogen, akan bertumbuh kesadaran tentang perbedaan-perbedaan, baik yang terjembatani maupun yang tidak; yang melalui proses itu akan membawa kita untuk melihat dengan sudut pandang yang lebih kaya. John Dewey bilang bahwa untuk menumbuhkan iklim demokrasi, diperlukan interaksi lintas-kultur dan inter-agama.

Hal tersebut dikarenakan pergaulan heterogen memperkaya sudut pandang. Sudut pandang yang lebih kaya mendorong kita lebih arif dalam menyikapi sesuatu, termasuk kesadaran bahwa kebenaran yang kita yakini tidak selalu harus absolut dan benar untuk semua orang dan pada setiap situasi. Kita akan tergerak untuk tidak merasa diri paling benar dan tidak judgmental. Karena kita akan menginsafi bahwa pada akhirnya kita semua adalah makhluk papa yang hanya sedang berusaha menuju-Nya, berikhtiar memahami-Nya, mengerti diri dan semesta yang melingkupinya, dan perjuangan itu tidak mudah, tidak selalu menawarkan jawaban yang konstan dan holistik.

Pada situasi tersebut terletak instrumentalitas ‘Silaturahmi Bineka’. Silaturahmi Bineka adalah salah satu ‘mata pelajaran’ dalam kurikulumnya Milenial Islami. Kegiatan ini berisi kegiatan kunjungan ke enam rumah ibadah. Tujuannya selain mengekspos peserta terhadap keniscayaan perbedaan rumah tempat umat lain menyembah Tuhan yang diyakini, juga untuk belajar menemukan kalimatun sawa. Titik temu. Di setiap rumah ibadah para peserta akan bertemu dengan pengelola rumah ibadah, akan mendengar sharing tentang kebiasaan ibadah yang dilaksanakan, hingga misalnya, sejarah singkat rumah ibadah tersebut.

Pengalaman mengunjungi rumah ibadah juga bertujuan untuk meleburkan sentimen negatif yang dikultivasi prasangka. Sebagai contoh: ada sentimen negatif untuk umat Islam bersikap anti mengunjungi gereja. Tetapi di sisi lain, kunjungan ke Candi Borobudur dan Prambanan, misalnya, sama sekali dianggap murni rekreasi. Padahal candi-candi tersebut adalah situs peribadatan juga. Tetapi terhadap situs peribadatan Kristen memang ada sentimen dan ketabuan yang lebih. Apakah ini dipengaruhi oleh ‘kekerabatan’ garis para Nabi kita atau disebabkan ‘konflik’ sejarah yang panjang, butuh riset mendalam dan khusus untuk membahasnya.

Hanya, prihal kunjungan ke rumah ibadah ini saya juga memberikan contoh tentang tiga orang Arab Badui yang kencing di Masjid Nabawi. Para sahabat sudah akan marah tetapi Nabi bilang sabar saja. Setelah orang-orang Arab Badui itu selesai, Nabi menyuruh para sahabat untuk membersihkan bekas kencing tersebut. Moral dari cerita tersebut bagi saya bukan hanya soal kesabaran dan pengertian Nabi, tetapi juga pada situasi di mana, umat Islam jangan sampai seperti orang Badui tadi yang mengotori rumah ibadah agama lain hanya karena ketidaktahuan. Alhasil, punya pengetahuan atas role of conduct di rumah ibadah lain juga diperlukan. Ketika ke Pura, misalnya, ada area di mana kita harus melepas alas kaki.

Tetapi kalau ditarik lebih jauh, manfaatnya bukan hanya di penemuan kalimatun sawa, tetapi juga ‘perobohan’ prasangka. Boleh jadi ada prasangka negatif terhadap umat Islam. Ada ketakutan, phobia. Apalagi pasca pengeboman gereja di Surbaya. Sehingga butuh delegasi yang datang ke gereja dengan damai. Berkunjung atas nama harmoni di tengah perbedaan yang, mengutip Buya Syafii, tidak perlu disama-samakan, sebagaimana yang sama tidak perlu dibeda-bedakan.

Hal tersebut persis seperti ketika Al-Fatih memasuki Hagia Sophia, menggubah gereja tersebut menjadi Masjid tanpa menghapus dan menghilangkan ornamen kegerejaan tersebut. Hari ini kita melihat museum megah di pusat Istanbul itu sebagai simbol harmoni, toleransi. Maka adalah tepat untuk bersilaturahmi, menjalin kekerabatan dan kasih sayang, tidak hanya pada sesama Muslim tetapi juga pada masyarakat yang beragam, yang bineka, karena sebagaimana Ali bin Abi Thalib menyebut, mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.