Sikap Nabi Muhammad Terhadap Difabel

Sikap Nabi Muhammad Terhadap Difabel

Sikap Nabi Muhammad Terhadap Difabel

Pasca turunnya QS. ‘Abasa 1-17 yang berisi teguran kepada Nabi Muhammad yang bersikap acuh terhadap sahabatnya yang difabel tunanetra, Abdullah ibnu Ummi Maktûm, Nabi kemudian bersikap sangat baik terhadap difabel serta menjunjung tinggi kesetaraan hak dan kewajiban.

Diinformasikan di dalam hadis, bahwa suatu ketika Ibnu Ummi Maktûm bertanya kepada Nabi perihal kewajibannya shalat berjamaah di masjid. Kepada Nabi, Ibnu Ummi Maktûm bertanya: “Wahai rasul, jarak antara rumahku dan masjid terhalang oleh pohon kurma dan pohon-pohon lainnya, setiap waktu aku tidak bisa bersama orang yang menuntunku. Apakah aku harus shalat di dalam rumah?” Nabi bertanya: “Apakah engkau mendengar iqâmah?” Ibnu Ummi Maktûm menjawab: “Iya”. Lalu Nabi bersabda: “Engkau harus datang ke masjid.” (HR. Ahmad bin Hanbal, No 15491).

Melalui hadis ini, Nabi Muhammad hendak menegaskan bahwa “tidak bisa melihat atau tunanetra” bukan menjadi penghalang seseorang untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (istabiq al-khairât). Hal ini bagian dari langkah progresif yang dilakukan Nabi dalam menghadapi pandangan masyarakatnya yang membedakan hak dan kewajiban orang-orang difabel. Bagi masyarakat Arab pra Islam, orang yang secara fisik dianggap “kurang sempurna” tidak diberi hak dan kewajiban yang sama sebagaimana umumnya manusia.

Selain punya hak berjamaah di masjid, Ibnu Ummi Maktûm juga diperbolehkan oleh Nabi Muhammad menjadi imam shalat. Asy-Sya’bî menceritakan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَكَانَ يَؤُمُّ النَّاسَ وَهُوَ أَعْمَى

“Sesungguhnya Nabi Muhammad saw menjadikan Ibnu Ummi Maktûm sebagai penggantinya. Lalu Ibnu Ummi Maktûm mengimami para sahabat Nabi, sedang Ibnu Ummi Maktûm adalah seorang tunanetra”. (Abî Syaibah, 1409 H: II, 27).

Maksud hadis di atas sangat jelas bahwa Nabi memberikan hak yang sama kepada difabel. Di dalam masyarakat yang menganggap difabel sebagai “setengah manusia”, Nabi justru mempersilahkan Ibnu Ummi Maktûm sebagai imam shalat menggantikannya. Selain Ibnu Ummi Maktûm, sejarah juga mencatat beberapa tuna netra korban perang Badar lainnya yang kerap menjadi imam shalat, seperti ‘Itbân bin Mâlik dan Mu’âdz bin ‘Afrâ`. (Ash-Shan’ânî, 1403 H: II, 394).

Sejarah juga menginformasikan bahwa Ibnu Ummi Maktûm dijadikan oleh Nabi Muhammad sebagai tukang adzan (mu`adzdzin). Ibnu ‘Umar menceritakan, bahwa Nabi Muhammad memiliki dua tukang adzan, yaitu Bilâl dan Ibnu Ummi Maktûm. (Abî Syaibah, 1409 H: I, 197).

Dengan banyaknya peran difabel di dalam sejarah Islam awal, membuktikan bahwa selain agama Islam ramah terhadap orang-orang yang dianggap “kurang” oleh masyarakat, juga memberi pemahaman bahwa Islam mengakui adanya keistimewaan-keistimewaan lain yang dimiliki para difabel. Sebagaimana Ibnu Ummi Maktûm yang tunanetra, namun memiliki kelebihan berupa suara bagus, Bilâl juga diceritakan memiliki kulit hitam dan postur tubuh pendek, namun suaranya sangat disukai oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya. Karena itu, keduanya dijadikan tukang adzan oleh Nabi Muhammad.

Dalam QS. Al-Hujurât 11 dinyatakan bahwa orang yang beriman tidak boleh merendahkan, menertawakan, mencela, dan mengejek saudara-saudaranya. Demikian juga dalam hadis diceritakan bahwa Nabi Muhammad melarang memanggil orang dengan sebutan-sebutan yang tidak menyenangkan dan menyebut kekurangan-kekurangannya, termasuk keterbatasan fisiknya.

Bagi Nabi, perbedaan warna kulit dan fisik manusia bagian dari fitrah yang harus disyukuri. Masing-masing manusia selain memiliki kekurangan yang berbeda-beda, juga di dalamnya ada keberagaman kelebihan dan keistimewaan. Nabi bersabda:

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ، وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada jasad dan bentuk kalian, melainkan (yang Allah lihat) adalah hati kalian.” (HR. Muslim nomor 2564).

Kendati Nabi Muhammad memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada para difabel, namun Nabi juga dalam kesempatan lain memberi kemurahan kepadanya. Misalnya, Nabi mempersilahkan Abdullah Ibnu Ummi Maktûm tidak ikut berperang meski pada akhirnya sahabat yang tunanetra ini ikut serta berperang.

Ath-Thabarî dengan mengutip berbagai riwayat menceritakan bahwa latar kesejarahan yang mendorong turunnya QS. An-Nisâ` 95 adalah pertanyaan dari Abdullah Ibnu Ummi Maktûm yang bertanya perihal tidak ikut berperang karena keterbatasan fisiknya. Melalui ayat tersebut, Nabi mempersilahkannya untuk tidak ikut berperang. (Ath-Thabarî, 2000: IX, 85-86).

Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam memandang difabel dan penyandang disabilitas bukan sebagai kutukan atau kekurangan fisik yang menjadikannya terkurangi hak dan kewajibannya dalam mengakses segala hal yang bisa dilakukannya, melainkan mendudukkannya sebagai bagian dari keberagaman bentuk.

Kendati demikian, Islam juga memberikan kemudahan-kemudahan kepadanya dalam menjalankan kewajiban yang tidak dapat dilakukan karena ada darurat yang dimilikinya, yakni keterbatasan fisik.

 

*)  Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang