Cara pandang umat Islam terhadap agamanya selalu dinamis, nilai sakralitas tidak dimaknai sebagai sesuatu yang benar-benar suci tanpa ada negosiasi dengan pikiran-pikiran umatnya. Oleh karenanya, tidaklah mungkin memisahkan antara wahyu dan akal sebab keduanya seperti mata rantai yang tak terputus.
Yang profan, katakanlah budaya, juga selalu berkembang secara dinamis. Praktik berbudaya boleh jadi tetap, tetapi cara bagaimana masyarakat memahami budaya selalu berkembang dan menyesuaikan diri dengan keadaan zaman. Bolehlah jika dikatakan bahwa budaya selalu muncul dari pikiran-pikiran yang mengendap dan pada saat yang sama menghasilkan nilai yang tetap.
Setiap pemeluk agama pasti memiliki tradisi kebudayaan yang diwarisi dan dikembangkan secara turun-temurun. Dalam perkembangan itu selalu terjadi perkawinan antara keyakinan keagamaan dan budaya sebagai praktik kreativitas manusia. Islam pun juga demikian, berkembang melintasi batas dengan terlebih dahulu berinteraksi dengan unsur-unsur budaya lokal.
Sejak kemunculannya, nalar Islam selalu terbuka terhadap budaya lokal. Al-Qur’an sendiri turun dalam bahasa Arab. Nilai-nilai komunal yang berkembang di mayarakat Arab waktu itu, seperti moralitas dan tata pergaulan Arab banyak sekali yang dipertahankan. Misalnya, adab dalam memelihara kehormatan, kedermawanan, wara’, muru’ah, dan lain sebagainya.
Nabi Muhammad Saw. juga tidak datang dengan suatu peradaban lengkap yang sama sekali baru, tetapi justru melengkapi peradaban yang sudah ada dengan semangat dan orientasi yang baru. Meski begitu, Nabi sangat selektif, tidak semua bentuk kebudayaan diterima begitu saja, ada yang ditolak sama sekali, ada yang dirubah dan ada pula yang dibiarkan hidup.
Hal ini dilakukan sebab budaya-budaya itu harus mengalami penyesuaian dengan ajaran Islam, begitupun sebaliknya, Islam juga menyesuaikan dengan budaya setempat bukan semata-mata ajarannya kurang lengkap dan tidak sempurna, tetapi lebih mengacu pada bagaimana orientasi ajaran Islam dapat dipraktikkan sesuai dengan koridor kebudayaan yang masih dipelihara.
Ada beberapa keadaan yang menunjukkan bahwa Islam menginternalisasi budaya lokal sekaligus menolaknya sebagai bentuk penyesuaian sekaligus mempertahankan tradisi-tradisi yang baik. Pertama, menerima dan mengembangkan budaya yang sesuai dengan prinsip ajaran Islam dan bermanfaat pada kehidupan umat manusia. Seperti mengembangkan ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani dan Persia kala itu. Pengembangan ini tidak hanya diperuntukkan umat Islam semata, tetapi umat manusia pada umumnya.
Kedua, menolak tradisi dan unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya, kebiasaan-kebiasaan buruk minum khamar dan adanya keadaan di mana laki-laki dapat menikahi sejumlah perempuan secara tidak terbatas. Untuk yang terakhir, ajaran Islam hanya membatasi empat saja dan menganjurkan monogami jika tak mampu berbuat adil.
Ketiga, cara berpakaian. Sebelum era Islam, cadar dan hijab misalnya, seperti juga pakaian jubah untuk laki-laki, sudah ada dan menjadi pakaian adat-istiadat masyarakat Arab. Islam lalu mengakomodir adat berpakaian itu sebagai sesuatu yang bercirikan syar’iat, yakni aturan-aturan teknis tentang bagaimana umat Islam menjalani agamanya. Batasan aurat, oleh karenanya, menjadi salah satu ajaran penting dalam Islam yang harus dipatuhi.
Hal di atas sebenarnya hanya contoh kecil di mana Islam berinteraksi dengan budaya lokal dan mengakomodirnya sebagai sesuatu yang baik. Ketika Islam dapat secara terbuka menyikapi budaya lokal, itu bukan hanya karena semata-mata budaya itu baik dan layak dipertahankan. Tetapi juga sifat keluwesan ajaran Islam itu sendiri yang dapat berdialog secara dinamis dengan tradisi-tradisi yang sudah berkembang begitu lama dalam komunitas masyarakat.
Begitu juga era Walisongo di Nusantara waktu itu, para Sunan berdakwah melalui jalan akulturasi dan menyesuaian diri dengan budaya yang sudah ada. Mereka tidak menghilangkan sama sekali, tetapi sebagaimana dakwah era Nabi Muhammad di Arab kala itu, tradisi kebudayaan yang sudah ada dipilah-pilah dan jika baik, diserap sebagai bagian penting dari negosiasi antara ajaran Islam dan budaya setempat.
Hal ini dilakukan semata-mata agar ajaran agama dapat mudah diterima dan secara tidak langsung tidak menghapus sama sekali alam pikiran masyarakat yang sudah terlanjur berkembang turun-terumun, hanya saja dilakukan penyesuaian dan kalau perlu, budaya itu menjadi mediator utama bagi proses Islamisasi.
Proses asimilasi ini penting, di samping sebagai suksesi dakwah Walisongo, juga antara Islam dan budaya, dalam pengertian yang luas, memiliki karakter lentur dan dapat mempengaruhi satu sama lain. Itu artinya, Islam bukanlah budaya, tetapi tidak mungkin menjalankan ajaran Islam, jika lepas sama sekali dari budaya, khususnya budaya lokal dan nilai lokalitas di mana masyarakat hidup dan berkembang.
Sebagaimana dawuhnya Kang Said Agil Siraj, jika Islam hanya akidah dan syari’at saja, maka sudah pasti umatnya sedikit dan Islam hanya akan diikuti oleh segelintir orang saja. Oleh karena umat Islam mengembangkan hal-ikwal selain kedua prinsip pokok itu, misalnya seperti mengembangkan ilmu pengetahuan, politik dan juga budaya, maka Islam menjadi agama yang besar, maju dan berperadaban. Itulah sesungguhnya esensi Islam, kebesaran dan kemajuannya sangat ditentukan oleh bagaimana Islam dapat bernegosiasi dengan budaya, terlebih budaya lokal.