Ini zaman di mana “mengejek” dibalas “ejekan”. Jadilah generasi saling mengejek. Lalu bedanya kita apa? Pastinya tidak ada bedanya. Alangkah indahnya menanyakan kepadanya, kemudian memberikan wejangan kepadanya. Banyak cara memberikan wejangan tanpa mengejeknya kembali.
Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, salam bagimu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh” (Qs. al-Qashas [28]: 55).
Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “salam,” (Qs. al-Furqan [25]: 63).
Dalam pepatah Arab yang terkenal, manakala sudah tepat bahwa ejekan itu tertuju kepada kita dan bukan kepada lain orang, maka bersikaplah: “Kesabaranku itu tuli walaupun telingaku bisa mendengar”. Maksudnya, ejekan itu tak bisa dipungkiri adanya, kita dengar dan mengusik hati kita, tapi bersikaplah seperti seorang tuli yang acuh atas ejekan itu.
Ada kisah menarik tentang sikap seorang berjiwa besar, namanya Baqir, yang diejek seseorang dengan sebutan “baqor”. Kata “baqar” dalam al-Qur’an merujuk kepada surah al-Baqarah, yang bermakna “Sapi”. Orang yang diejek itu merupakan cucu junjungan kita, Rasulullah SAW saat didatangi seseorang yang beragama Kristen.
Tiba-tiba ia berkata, “Kamu adalah Baqor (sapi)”.
Beliau menjawab, “Tidak, saya Baqir”.
“Kamu anak dari tukang masak itu?” Bentaknya.
“Benar, itulah pekerjaan ibuku.” Jawab Baqir tanpa memperlihatkan wajah yang musam.
“Kamu adalah putra dari wanita hitam yang berbuat nista.” Pungkasnya.
“Jika kamu benar, semoga Allah mengampuni ibuku. Jika kamu salah, semoga Allah mengampunimu.” Jawab Baqir.
Seketika orang itu menangis melihat kesabaran Al-Baqir dan meminta maaf kepada beliau. Saat itu juga ia masuk Islam.