Suatu sifat yang tidak mungkin (mustahil) dimiliki oleh seorang Nabi itu ada empat sifat. Adapun keempat sifat tersebut, yaitu kadib, ‘ishyan, kitman, dan ghoflah yang kesemuanya itu merupakan sifat-sifat yang berlawanan dengan sifat-sifat wajib bagi seorang Nabi.
Selain keempat sifat tersebut, sifat mustahil bagi seorang Nabi adalah sifat-sifat yang merendahkan martabat kenabian seseorang atau prilaku yang tidak patut dilakukan oleh seorang Nabi, walau pun perbuatan tersebut bukan tertermasuk perbuatan yang bagi pelakunya mendapatkan dosa. Semisal mengkonsumsi bawang.
Lalu bagaimana apa yang telah dilakukan oleh Nabi Adam A.S, dengan memakan buah khuldi yang telah dilarang untuk memakannya oleh Allah Swt. Apakah itu bukan kesalahan? sedangkan seorang Nabi itu terjaga dari kesalahan karena itu suatu kemustahilan baginya.
Dari sekian ayat al-qur’an yang menceritakan peristiwa tersebut, dianataranya ada dua ayat yang secara redaksional bertentangan satu dengan lainnya.
Ayat yang pertama menjelaskan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Nabi Adam A.S, itu disebabkan karena sikap lupa atas larangan Tuhannya, tetapi sebelum peristiwa itu terjadi, ia tidak pernah terbesit sedikit pun dalam hatinya untuk mengingkari apa yang telah dititahkan oleh Allah Swt agar menjauhi keberadaan buah khuldi tersebut.
وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَى آدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat” [QS. Thaha : 115].
Sedangkan ayat yang kedua menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Adam A.S dengan buah khuldinya itu merupakan suatu perbuatan kemaksiatan terhadap Tuhannya. Sebagaimana apa yang tertulis dalam al-qur’an, sebagai berikut:
وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى
“…dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia” (Thaha ;121)
Namun kalau dianalisa lebih mendalam dari kedua ayat tersebut tidaklah berlawanan, tetapi saling melengkapi satu dengan lainnya. Ayat yang pertama menjelaskan apa yang dilakukan oleh Nabi Adam A.S atas buah khuldi itu didasari sikap lupa, dan orang lupa itu tidak bisa dimasukkan dalam katagori orang yang melakukana kesalahan (maksiat) atau tidak amanah.
Sedangkan ayat yang kedua menjelaskan bahwa Nabi Adam A.S. itu telah melakukan kesalahan (maksiat) itu dari sudut pandang bahwa ia adalah manusia dengan martabat dan posisi yang tinggi diantara makhluk lainnya, sehingga perbuatan yang dianggap hal remeh temeh untuk orang lain atau makhluk lainnya tidak demikian halnya dengan Nabi Adam A.S.
Tafsir (analisa) yang lain menjelaskan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Nabi Adam A.S. itu tasyri (rangkaian pengajaran syariat) bahwa manusia itu tidak bisa terlepas dari sikap kesalahan dan lupa sebagai pembeda dengan prilaku malaikat, namun ia dituntut untuk berbuat taubat (pengakuan) atas kesalahan kepada Tuhannya dan tidak mengulanginya untuk kedua kalinya. Dan prilaku taubat atas kesalahan itu adalah sikap pembeda antara manusia dengan Iblis atau syaithan yang selalu berbuat dosa tetapi tidak pernah berbuat taubat.
Jadi dari dua ayat tersebut memberikan pemaknaan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Nabi Adam A.S itu bukan perbuatan pengkhianatan kepada perintah Tuhannya, melainkan cara Allah Swt, mengangkat derajat Nabi Adam A.S ke tingkatan yang lebih tinggi yaitu derajat kesempurnaan taubat.
Adapun do’a permohonan ampunan (istigfar) yang terucap dari bibir Nabi Adam A.S sejauh ia terlempar dari surga ke dunia itu bukan sebagai permohonan ampunan atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya, karena apa yang telah dilakukan oleh Nabi Adam A.S dalam peristiwa memakan buah khuldi itu bukan didasari kesengajaan namun disebabkan sikap lupa sebagaimana apa yang telah dijelaskan dan diuraikan di atas.
Istigfar yang diucapkan oleh Nabi Adam A.S, itu dikarenakan bertambahnya pengetahuan akan Tuhannya (makrifat billah), sikap wira’i dan taqwa yang sempurna, serta bertambahnya pahala dan kedekatan dengan Allah Swt disebabkan tinggi kedudukan dan derajatnya di sisi-Nya.