Darimanakah konflik bermula? Dari perceraian antara harapan dan kenyataan. Ketidaksinkronan antara idealitas dengan realitas. Perceraian atau ketidaksinkronan tersebut kemudian menimbulkan kesenjangan. Dari kesenjangan itulah timbul ketegangan atau biasa kita sebut sebagai konflik. Kita hidup di dunia dimana tidak semua yang kita inginkan bisa mewujud menjadi kenyataan. Maka dengan sendirinya kehidupan ini tidak bisa terlepas dari konflik. Sebagian dari kita menyimpulkan bahwa tidak ada hidup tanpa konflik. Sebagian yang lain mencoba lebih bijak dengan menyatakan bahwa kehadiran konflik pada suatu kondisi bisa menjadi tolak ukur ketahanan kehidupan kita.
Demikian pula dalam ranah hukum Islam. Konflik itupun nyata adanya. Noel J. Coulson, seorang profesor peneliti hukum Islam dari University of London meramu konflik dalah ranah hukum islam dalam 6 point. Salah satunya adalah konflik wahyu dan akal. Artinya, apakah hukum Islam kita anggap sebagai sebuah wahyu dari Tuhan ataukah ia merupakan produk akal manusia melalui sebuah upaya yang disebut ijtihad.
Nyatanya, pada setiap konflik, akan selalu ada jalan keluar. Pada persoalan diatas, menurut Coulson, hukum Islam bisa dipandang sebagai hukum Tuhan dan hukum produk para ahli hukum sekaligus. Wahyu mewakili faktor konstanta dan akal manusia mewakili faktor perubahan (variabel) dan fluktuasi dalam yurisprudensi Islam. Agen yang berperan dalam mengkombinasikan dua aspek tersebut adalah para ahli hukum Islam (mujtahid).
Para mujtahid memegang peran, yang disebut oleh Wael B. Hallaq, sebagai otoritas epistemis. Menurut Wael, seorang mujtahid harus memiliki kemampuan untuk mengetahui hukum, dan bagaimana hukum tersebut bisa dijabarkan, ditafsirkan dan terutama diterapkan. Sebuah upaya yang sia-sia jika hukum hanya bisa diketahui tanpa melihat ada peluang untuk diterapkan. Untuk itu, ia harus mampu menggabungkan kekuasaan agama, moral, sosial dan hukum sekaligus.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa ulama klasik memberikan persyaratan yang tidak terhingga sulitnya bagi seseorang untuk mencapai gelar mujtahid. Ia harus hafal Al-Quran, tahu mana saja yang ayat ahkam. Harus hafal hadis dan tahu hadis mana saja yang ahkam, tahu tentang ijma’, qiyas, dan paling utama paham bentul tentu ilmu tata bahasa Arab mengingat sumber hukum Islam semuanya menggunakan bahasa Arab. Sebuah persyaratan yang rasanya tidak akan sanggup dipenuhi oleh siapapun muslim yang saat ini hidup.
Problem itulah yang kemudian memunculkan polemik lanjutan. Lantas siapakah sesungguhnya yang memegang otoritas untuk memberikan fatwa hukum islam di masa sekarang ini?
Bagi mereka yang masih merindukan “NKRI Bersyariah” atau menjadi pendukung penerapan Perda Syariah di berbagai daerah barangkali memahami bahwa otoritas hukum Islam sepenuhnya bertumpu pada Al-Quran yang kemudian dijabarkan melalui hadits. Persoalannya adalah siapakah yang memegang otoritas untuk menafsirkan keduanya? Padahal upaya penafsiran amat sangat diperlukan mengingat tidak semua umat memahami isi kandungan Al-Quran dan jarak geografis serta waktu yang rentangnya cukup besar tentu saja mempengaruhi penafsiran tersebut.
Konflik tersebut kita rasakan misalnya dalam wacana legalisasi poligami baru-baru ini yang kabarnya akan diberlakukan di wilayah Aceh. Hal tersebut tentu saja menimbulkan polemik. Di antara polemik tersebut ialah siapakah otoritas yang berhak mengeluarkan qanun tersebut sedangkan kita tahu ada beberapa pandangan ulama dalam menafsirkan ayat terkait persoalan poligami ini. Pertanyaan lanjutannya tentu saja apakah qanun tersebut ketika nanti diberlakukan akan menimbulkan maslahat bagi warga Aceh atau justru sebaliknya. Sebagaimana kita tahu, tujuan utama syariat adalah kemaslahatan umat.
Ada sebuah tawaran menarik terkait ketegangan hukum Islam antara idealitas dengan realitas ini, yakni sebuah tawaran solusi untuk mendamaikan keduanya. Artinya, sebuah hasil ijtihad yang menjawab pertanyaan hukum, harus benar-benar m,emperhatikan realitas sosial agar terjadi kesinambungan antara pesan hukum dengan pemberlakukannya pada masyarakat. Sehingga, fikih sebagai sebuah produk hukum yang salih li kulli zaman wa makan bukan hanya menjadi angan-angan belaka, namun bisa menjadi nyata.