Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang dilakukan oleh umat Islam pada bulan Rabiul Awwal di hampir semua belahan dunia Islam, termasuk di Indonesia. Tradisi ini ada dan tetap lestari sebagai bentuk ekspresi kecintaan, rasa syukur dan suka cita atas kelahiran Nabi Muhammad yang merupakan utusan terakhir yang mengemban rahmat bagi semesta alam.
Bagi orang yang mengerti hukum agama akan tahu bahwa perkara maulid tidak termasuk bid’ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual peribadatan dalam syariat. Argumen ini dikuatkan dengan realita bahwa bentuk format perayaan maulid nabi begitu bervariasi di setiap tempat tanpa ada aturan yang baku (given/tauqifi) yang merupakan salah satu ciri dari ibadah.
Jelasnya, perayaan maulid merupakan bentuk syiar Islam yang tentunya bersifat ijtihadi, situasional, kreasi umat Islam, dan bersifat mubah. Meskipun tata cara perayaannya berbeda, namun esensi dari peringatan tetap sama, yaitu gembira dan bersyukur atas kelahiran Rasulullah yang merupakan sebuah anugerah Allah yang patut senantiasa kita syukuri.
Beberapa literatur kitab klasik menerangkan orang yang pertama kali merayakan maulid secara formalitas. Imam As-Suyuthi dalam kitab “al-Hawi Lil Fatawi” (1/272) menjelaskannya secara gamblang:
وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ فِعْلَ ذَلِكَ صَاحِبُ إِرْبِلَ المَلِكُ المُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كُوْكُبُرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِيْنِ عَلِيِّ بْنِ بُكْتِكِيْنَ أَحَدُ المُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالكُبَرَاءِ الأَجْوَادِ وَكَانَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الجَامِعَ المُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
“Orang yang pertama kali mengadakan hal demikian (maulid nabi) adalah penguasa Irbil, yaitu Raja Mudhaffar Abu Sa’id Kuukuburi bin Zainuddin Ali ibn Buktikin, salah seorang raja yang mulia, agung, dan dermawan. Dia juga memiliki rekam jejak yang bagus dan beliaulah yang meneruskan pembangunan Masjid Al-Mudhaffari di kaki Gunung Qasiyun”
Bahkan di dalam kitab “al-Fathur Rabbani Min Fatawa al-Imam asy-Syaukani” dijelaskan bahwa hal itu sudah menjadi konsesus ulama:
وَأَجْمَعُوْا أَنَّ المُخْتَرِعَ لَهُ السُّلْطَانُ الكُرْدِيُّ المُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كُوْكُبُرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِيْنِ عَلِيِّ بْنِ بُكْتِكِيْنَ صَاحِبُ إِرْبِلَ
“Ulama sepakat bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid adalah Sultan Kurdi Mudhaffar Abu Sa’id Kuukuburi bin Zainuddin Ali ibn Buktikin, penguasa negeri Irbil (Irak)”
Keterangan ini juga diakui oleh Ibnu Katsir dalam kitab “al-Bidayah wa an-Nihayah”, seraya menjelaskan sifat-sifat baik raja ini, yaitu seorang raja yang berotak cemerlang, gagah berani, berakal cerdas, alim, dan adil.
Lebih lanjut, Imam as-Sayuthi menjelaskan betapa meriahnya format acara maulid yang diselenggarakan oleh Raja al-Mudhaffar itu. Ia berkata,”Sebagian orang yang pernah menghadiri acara Maulid yang diselenggarakan oleh raja al-Mudhaffar menghitung bahwa dalam acara tersebut disajikan lima ribu kepala kambing bakar, sepuluh ribu ayam, seratus kuda, seratus ribu roti, mentega dan tiga puluh ribu piring kue!”
Namun fakta sejarah di atas dijadikan argumen oleh beberapa kelompok untuk menolak dan membid’ahkan perayaan maulid ini, dengan alasan bahwa perayaan maulid baru muncul di masa raja al-Mudhaffar, sehingga diambil kesimpulan bahwa di masa sebelumnya tidak pernah diadakan perayaan maulid. Akhirnya mereka menuding perayaan maulid sebagai perbuatan bid’ah yang dipastikan sesat dan tidak memiliki sandaran dalil apapun dari Al-Qur’an maupun sunnah.
Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki menegaskan dalam kitab “Haul al-Ihtifal bi Dzikra Maulid ar-Rasul” bahwa perayaan maulid bukanlah bentuk formal ibadah dengan tata cara khusus yang mengikat bagi yang melaksanakannya, namun segala perkara yang mengajak kebaikan dan mengumpulkan manusia dalam hidayah, serta membimbing mereka kepada hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat, maka hal itu sudah mencapai esensi tujuan dari maulid Nabi.
Dengan demikian, bila memahami konsep perayaan maulid di atas, maka lebih pas kita mengatakan bahwa Raja al-Mudhaffar merupakan orang yang pertama kali mengemas perayaan maulid dalam bentuk formal acara yang “resmi”. Lantas siapa yang pertama kali merayakan maulid? Dengan tegas Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki menyatakan bahwa orang yang pertama kali merayakan maulid Nabi adalah Rasulullah sendiri! Dalil yang paling kuat dan paling jelas yang menunjukkan hal itu adalah hadits riwayat Imam Muslim yang menjelaskan bahwa Rasulullah mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الإِثْنَيْنِ فَقَالَ: فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ
“Diriwayatkan dari Abi Qatadah al-Anshari bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang puasa hari senin, beliau menjawab,”Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan.”
Demikian pula riwayat dari Imam al-Baihaqi bahwa Nabi melaksanakan aqiqah untuk dirinya setelah diangkat menjadi Nabi. Padahal kakeknya, Abdul Muththalib telah melaksanakan aqiqah untuk beliau setelah di hari ketujuh dari kelahiran beliau. Dengan demikian, Nabi melaksanakan hal tersebut semata-mata sebagai bentuk syukur atas lahirnya beliau sebagai rahmat bagi semesta alam.
Dari hadits di atas, bisa kita tarik kesimpulan akan bolehnya melakukan syukur kepada Allah atas apa yang Dia anugerahkan di hari tertentu berupa pemberian nikmat dan hilangnya marabahaya, dan hal itu dilakukan setiap tahun bertepatan pada hari momen itu terjadi.
Walhasil, bila Rasulullah sendiri yang merayakan hari kelahirannya, maka tuduhan bid’ah yang selalu ditudingkan pada tradisi ini akan tertolak dengan sendirinya.
Wallahu a’lam.