Shalih Musthofa, Kiai Tarekat Pejuang Kemerdekaan

Shalih Musthofa, Kiai Tarekat Pejuang Kemerdekaan

Shalih Musthofa, Kiai Tarekat Pejuang Kemerdekaan
Pertempuran Surabaya

Martin van Bruinessen dalam bukunya, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, menuliskan tentang Tarekat dan Pemberontakan. Di mana, revolusi memperlihatkan fenomena menarik – kala pemuda, santri atau kyai yang siap berperang melawan Belanda dilatih silat dan tenaga dalam terlebih dahulu, sebagaimana kiprah Kiai Ahmad Sanusi membimbing silat dan membai’at pemuda yang aktif berjuang.

Selain kiai asal Sukabumi, Kyai Sanusi, masih banyak kyai-kyai lainnya. Salah satunya adalah kiai asal Gresik Jawa Timur – Kiai Shalih Musthofa. Kiai Shalih Musthofa juga akrab dikenal sebagai kiai Shalih Tsalis, dari keturunan Kiai Nawawi, atau Shalih Awwal, dan untuk membedakan dengan kiai Shalih sebelumnya.

Kiai Shalih Musthofa lahir pada 28 November 1907 masehi di desa Kranji kecamatan Paciran kabupaten Lamongan. Kiai Shalih Musthofa lahir dari pasangan KH. Musthofa dan Nyai Aminah. Ayah kiai Shalih Musthofa adalah pendiri pondok pesantren Tarbiyatut Thalabah terletak di desa Kranji – pondok yang mashur dikenal oleh warga sekitar sebagai pondok Kranji.

Kiai Sholih Musthofa juga telah dikader ayah dan kakeknya sejak kecil sebagai kiai. Sejak kecil ia belajar agama dari ayahnya. Tidak hanya itu, ia juga belajar dari kakeknya, KH. Abdul Karim dari desa Tebuwung, kecamatan Dukun, kabupaten Gresik. Selain itu, kakek buyutnya juga seorang kiai dari desa Derajat kabupaten Lamongan.

Pendidikan agama Sholih Musthofa sudah diemban sejak kecil, dari orang tuanya, akan tetapi tidak puas sampai di situ, Kiai Musthofa juga mengirimkan anaknya untuk belajar ilmu dari kakeknya di pondok pesantren Sampurnan – Qomaruddin (berdiri sejak 1775 masehi), yang berada di desa Bungah, kecamatan Bungah, kabupaten Gresik. Setelah mondok dari Gresik, pada tahun 1918- 1927 kiai Shalih Musthofa belajar agama di pondok pesantren Tebuireng, Jombang – saat itu masih dipimpin langsung oleh KH. Hasyim Asyari.

Setelah mondok dari Tebuireng, kiai Sholih Mustofa menunaikan ibadah haji dan mondok di Makkahtul Mukarromah, selama kurang lebih empat tahun. Sepulang haji, ia menikah dengan Nyai Khadijah, putri kiai Ismail. Kiai Ismail adalah pemangku pondok pesantren Qomaruddin yang kelima.

Seusai menikah, kiai Sholih juga aktif membantu mertuanya mengurus pondok. Setelah ayah mertuanya wafat, kiai Shalih Musthofa menggantikannya sebagai pemangku pondok pesantren Qomaruddin. Ia terhitung menjadi pemangku pondok yang keenam.

Pergantian estafet kepemimpinan pondok pesantren Qomaruddin tidak serta merta diterima oleh kiai Shalih Musthofa. Tawaran untuk menjadi pengganti kiai Ismail itu, terlebih dahulu ia obrolkan kepada ayah kandungnya, kiai Musthofa. Kiai Musthofa memberikan izin anaknya untuk menjadi pemangku pondok pesantren Qomaruddin dengan satu syarat, berhenti mendidik makhluk dari bangsa halus.

Mengapa syarat yang diberikan ayah kiai Shalih Musthofa begitu mistis? Yah, karena banyak orang tahu, kiai yang hidup di era pra kemerdekaan memiliki ilmu supranatural, hingga diajarkan ke para santrinya, tidak hanya santri yang tampak, tapi santri yang tak tampak pula. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh kiai Ismail, ayah mertuanya.

Dari wawancara lisan dengan masyarakat Bungah, kiai Ismail memang dikenal memiliki kesaktian. Salah satu kesaktiannya, adalah bisa membelah diri. Membelah diri di sini maksudnya adalah jasadnya bisa hadir dalam tiga acara sekaligus.

Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari Gus Alauddin, kepala madrasah diniyah pondok pesantren Qomaruddin saat ini. Yang berjuang sebelum kiai Shalih Musthofa adalah kiai Ismail, mertuanya. Saking gigihnya kiai Ismail memperjuangkan kemerdekaan, hingga berdampak pada terbunuhnya empat keponakannya, di antaranya adalah mbah Muhtadi dan Amin yang dieksekusi Belanda di desa Dagan, kecamatan Solokuro, Lamongan. Dua keponakan lainnya mbah Hamid dan Ismail meninggal saat pertempuran. Insiden itu terjadi berdekatan saat agresi militer 48. Meninggalnya kiai Ismail, diduga keras karena kaget dengan meninggalnya empat keponakan tersebut.

Selain kiprah kiai Ismail dalam mempersembahkan jiwa dan raganya untuk Indonesia, kiai Shalih Musthofa pun demikian. Secara tidak langsung, kiai Shalih Musthofa juga berlatih tarekat dan ilmu kanuragan dari mertuanya yang sakti itu, kiai Ismail. Sehingga, selain menjadi kiai dan pemangku pondok, kiai Shalih Tsalis juga memiliki peran dalam mempertahankan dan memperjuangan kemerdekaan.

Hal itu sebagaimana yang ditulis oleh Sholeh Hayat dalam buku Kiai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan, dan diperoleh dari sumber buku Dua Abad Pondok Pesantreb Qomaruddin, 1989. Hayat mencatat di zaman perang kemerdekaan, umur kiai Shalih Musthofa mencapai 54 tahun. Perannya dalam wujud cinta tanah air dan membenci segala bentuk penindasan dengan cara ikut serta berjuang.

Kiai Shalih Musthofa terus menggembleng secara rohaniah para santri dan masyarakat. Penggemblengan itu tidak lain untuk menyiapkan pejuang perang. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh kiai Ahmad Sanusi, Sukabumi.

Di zaman penjajahan Jepang, kiai Shalih Musthofa juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Keasistenan Bungah Gresik. Pada bulan Agustus 1945, kiai Mustofa juga diangkat sebagai penasehat Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dan pada perang 10 November, kiai Shalih Musthofa ditunjuk sebagai penasihat Penjilmaan Pertahanan Rakyat. Yang pada akhirnya, kiai Shalih Musthofa dijadikan sesepuh Lasykar Perjuangan.

Kiprah kiai Shalih Musthofa, tarekat dan pesantren pun turut andil besar dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tentunya, kiai dan santri lainnya. Kekayaan pesantren dan islam Indonesia menjadi sebuah kebudayaan yang tidak pernah lepas dari akar cinta akan tanah air dan bangsa.[]

Wallahu A’lam.