Shalawat uhudiyah sangat terkenal di Jawa Timur. Selain berisi shalawat untuk Nabi Muhammad, shalawat ini juga sebagai pengingat terhadap jalan suci para pejuang Islam di Uhud pada masa silam
Salah satu kultur keislaman yang ada di Kalimantan, termasuk tempat kelahiran saya di Kotawaringin Timur, adalah kegemaran mengucapkan shalawat nabi dalam kondisi apa pun. Termasuk, dalam situasi kesusahan, baik kesusahan yang relatif remeh temeh, maupun yang benar-benar getir.
Baca juga: Bagaimana Cara Membuktikan Cinta Kepada Nabi? Ini Beberapa Caranya
Saya dan mungkin sebagian besar umat muslim di Kalimantan, diajari oleh orang tua untuk meniup luka berdarah di kaki karena terjatuh seraya membaca shalawat. Kami juga diajarkan menyapu kulit kemerahan yang baru terciprat minyak panas dari wajan dengan sedikit ludah senyampang membaca shalawat. Bahkan kami diajarkan, kalau terkena segala macam ketidakberuntungan, semisal lupa mengerjakan PR atau tiba-tiba ban kempes di tengah jalan sepi yang diapit rimba semak belukar, bacalah shalawat sebanyak-banyaknya.
Kami diajarkan redaksi shalawat yang paling pendek hingga shalawat yang dikombinasikan dengan syair-syair ritmis pujian pada Allahu SWT serta doa-doa. Bahkan shalawat yang cukup panjang bisa dibukukan . Bagi mereka yang paham, eksistensi shalawat ini dilegalisasi melalui banyak riwayat tentang balasan minimal sepuluh kali kebaikan untuk tiap satu shalawat yang diucapkan.
Khasiat itu jadi memiliki kekuatan tatkala disisipi pujian, kerap berupa asmaul husna, dan doa-doa yang merupakan persaksian kefanaan manusia. Sementara bagi mereka yang malas menelisik matan, bisa jadi, kegemaran shalawat ini dianggap laku bid’ah.
Baca juga: Keutamaan Menulis Shalawat
Kedekatan orang Kalimantan dengan shalawat tidak bisa dipisahkan dari metode dakwah yang diterapkan para ulama di pulau Borneo tersebut. Sebagai contoh, apa yang didengungkan Al-Maghfurlah Tuan Guru Muhammad Zaini Abdul Ghani dari Sekumpul. Dalam banyak ceramah, apa pun topik sentralnya, Guru Sekumpul, begitu dia biasa disapa, kerap menyisipkan pesan tentang pentingnya bershalawat, agar nur atau cahaya Nabi Muhammad makin cerah menyinari dirinya.
Terlebih, Guru Sekumpul yang haulnya menjadi magnet tersendiri di Kalimantan Selatan itu, juga senang menyenandungkan sholawat dengan suara merdu. Kebiasaan Guru Sekumpul itu dilanjutkan para penerusnya, antara lain, Al-Maghfurlah Tuan Guru Ahmad Zuhdiannor Banjarmasin, Guru Udin (KH Zhofaruddin) Samarinda, hingga yang relatif masih muda dan pandai membaca Al-Quran Guru Mahmud Syarkani Balikpapan.
Pada 2001, saya pindah ke pulau Jawa dan mendapatkan fakta bahwa sholawat juga kental menghiasi kehidupan umat muslim di sini. Tidak hanya terlihat jelas dari banyaknya massa pecinta Habib Syech alias Syechermania yang gemar menggemakan sholawat. Lebih dari itu, di pulau ini juga lahir banyak syair sholawat populer hasil gubahan para ulama. Di antaranya, Shalawat Uhudiyah.
Shalawat Uhudiyah memiliki tempat tersendiri di hati saya, karena penulisnya adalah Al-Maghfurlah KH Adnan Syarif, pengasuh Pondok Pesantren Kyai Syarifuddin Wonorejo, Lumajang sekaligus Rektor Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang. Sementara saya, hingga saat ini tercatat sebagai dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam di kampus tersebut.
Pada Senin 23 November 2020 lalu, Kiai Adnan Syarif kembali ke sisi Allah SWT. Selain ilmu yang sudah disebarkan, bagi para santri, orang-orang di sekitar, serta mereka yang pernah menyesap manfaat dari petuah-petuah Kiai Adnan, Shalawat Uhudiyah adalah warisan berharga.
Shalawat Uhudiyah memiliki tak kurang dari sebelas bait. Yang tiap bait berisi empat baris. Selain berisi pujian pada Allah SWT dan shalawat untuk Nabi Muhammad, shalawat ini juga sebagai pengingat terhadap jalan suci para pejuang Islam di Uhud pada masa silam, syair-syair di dalamnya bertabur doa.
Yang kebanyakan berupa lantunan permohonan pertolongan dari hamba pada Sang Khalik. Permohonan agar dimudahkan dalam beribadah dan diberi kekuatan berjuang di jalan agama. Permohonan ampunan, rahmat, perlindungan, dan keselamatan dunia akhirat.
Baca juga: Bolehkah Shalawat Kepada Selain Nabi?
Tiap kali membaca Shalawat Uhudiyah, sanubari ini tersentuh. Kesadaran betapa tidak ada apa-apanya saya bila dibandingkan dengan para pejuang di bukit Uhud membuncah. Perbedaan kami tidak hanya baina sammawati wal ardhi (antara langit dan bumi). Namun, meminjam istilah yang biasa dipakai KH Marzuki Mustamar, baina sammawati wal sumur minyak (antara langit dan sumur minyak, lebih dalam dari bumi).
Shalawat Uhudiyah menjadi alarm betapa manusia tidak punya daya dan upaya. Sehingga doa demi doa mesti terus dituturkan. Apalagi, bagi orang lemah seperti saya, doa adalah segalanya. (AN)