Suatu hari penulis pernah mendapat teguran dari seorang laki-laki yang tidak dikenal ketika melakukan shalat sunnah sambil duduk di salah satu masjid kampus. Saat mendapat teguran tersebut, saya hendak membantah dan menjelaskan maksud dari shalat duduk pahalanya setengah dari shalat sambil berdiri, namun saya urungkan takut membuat gaduh seisi masjid.
Bagi para pengkaji hadis, tentu tidak asing dengan hadis tentang pahala shalat duduk tersebut. Imam al-Suyuthi bahkan memasukkan hadis ini secara khusus dalam kajian tentang asbabul wurud dalam kitabnya. Hadisnya sebagai berikut:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم
“(pahala) salat orang yang duduk adalah setengah dari pahala salat dengan berdiri.”
Hadis tersebut oleh Imam as-Suyuthi dimasukkan dalam kategori contoh asbabul wurud yang berfaidah sebagai takhsish al-‘amm, yaitu membatasi suatu hadis yang masih terlalu umum.
Hadis di atas sebenarnya bukan untuk semua orang yang shalat dengan duduk, melainkan hanya untuk orang yang shalat fardhu dengan duduk, padahal mereka masih bisa berdiri.
Hadis di atas mungkin secara sekilas kelihatan masih umum, tapi jika kita runut Asbab al-Wurud-nya, hadis tersebut ditujukan kepada orang-orang di Madinah saat itu yang shalat dengan duduk. Pada saat itu nabi mengetahui, Nabi pun bertanya kepada Abdullāb ibn Umar terkait alasan mereka salat duduk.
Mereka menjawab bahwa mereka shalat duduk karena mereka terkena wabah penyakit panas. Kemudian Rasul bersabda hadis di atas. Para sahabat yang masih mampu berdiri pun lebih memilih berdiri dari pada duduk.
Kisah lengkap tentang hadis ini, lebih lengkap bisa dilihat dalam riwayat al-Ṭabrānī dalam al-Musnad al-Syāmīyīn. Lihat: al-Ṭabrānī, Musnad al-Syamīyyīn, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1984), j. 1, h. 370.
Al-Suyūṭī pun menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pahala setengah dari orang yang berdiri adalah untuk orang-orang yang masih kuat dan mampu untuk berdiri tetapi ia lebih memilih duduk. Selain itu, pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dalam kata shalat di atas bukanlah semua shalat, melainkan hanya shalat fardhu.
Mengapa demikian? karena dalam hadis lain riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah shalat fardhu dengan duduk, hingga beliau wafat.
عن جابر بن سمرة أن النبي ﷺ لم يمت حتى صلى قاعدا.
“Dari Jābir ibn Samurah bahwa Rasulullah Saw tidak meninggal dunia hingga beliau salat dengan duduk.” (HR. Muslim)
Ini menunjukkan bahwa Rasul SAW selalu, dengan sekuat tenaga, berusaha berdiri hingga beliau sakit parah yang menyebabkan kewafatan beliau. Artinya, Rasul hanya shalat fardhu dengan duduk ketika sakit parah yang menyebabkan beliau meninggal dunia.
Nah, oleh karena itu, memahami sebuah hadis tidak bisa hanya sepotong dan hanya membaca terjemahannya, perlu juga dilakukan kajian mendalam dengan keilmuan hadis, salah satunya dengan asbabul wurud di atas.
Wallahu a’lam.