Dalam keadaan normal shalat Jum’at hukumnya wajib berjamaah bagi laki-laki, kecuali perempuan, hamba sahaya, anak kecil, dan musafir (HR: Abu Daud). Saat pemberlakukan new normal ini bukan berate kembali seperti keadaan semula. Kita harus tetap mengikuti prosedur dan protocol medis, tetap pakai masker, jaga jarak, cuci tangan, mengurangi aktivitas di luar rumah dan sebagainya. Lalu bagaimana dengan shalat Jum’at? Problematika ini biasanya terjadi di kota besar, misalnya dalam satu pabrik, instansti, dan perkantoran yang berisi ratusan staf dan karyawan. Kalau di desa dan kampung tidak ada masalah. Jika masih memungkinkan untuk shalat Jum’at, maka tetap wajib mengikuti aturan dari pihak terkait dan medis. Bila tidak memungkinkan ada beberapa tahapan:
Pertama, Memperbanyak Tempat Shalat Jum’at
Cara ini ditempuh dan disahkan oleh para ulama dan habaib di Pasuruan, yakni jangan sampai meninggalkan shalat Jum’at, tetapi memperbanyak tempat shalat Jum’at, seperti di Mushalla dan langar meskipun jamaahnya tidak sampai 40 orang.
Syekh Abu Bakar Dimyathi, guru dari para ulama tanah Jawa, menulis dalam catatan kitabnya:
ﻭﻗﺎﻝ اﻟﺴﻴﻮﻃﻲ: ﻛﺜﻴﺮا ﻣﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﺑﺘﻘﻠﻴﺪ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ، ﺇﺫ ﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻟﻠﺸﺎﻓﻌﻲ ﻗﺎﻡ اﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺭﺟﺤﺎﻧﻪ. اﻩ ﻭﺣﻴﻨﺌﺬ ﺗﻘﻠﻴﺪ ﺃﺣﺪ ﻫﺬﻳﻦ اﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ﺃﻭﻟﻰ ﻣﻦ ﺗﻘﻠﻴﺪ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ
“Al-Suyuthi berkata, ‘Banyak dari ulama Syafi’iyyah taqlid kepada Abu Hanifah dalam soal jamaah shalat Jum’at terdiri dari empat orang. Padahal pendapat ini merupakan salah satu dari pendapat al-Syafi’I yang memiliki keunggulan dalil. Dengan demikian, mengikuti salah satu dari dua pendapat al-Syafi’I lebih utama dari pada (pindah) taqlid kepada Abu Hanifah” (Hamisy Hasyiah I’anah al-Thalibin 2/70)
Kedua, diganti dengan shalat Dzuhur
ﻭﺃﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﺎﺗﺘﻪ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻣﻦ اﻟﻤﻘﻴﻤﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻮا ﺃﺭﺑﻌﺎ
“Para ulama telah membuat consensus (ijma’) bahwa orang yang tertinggal melakukan shalat Jum’at bagi para muqimin (bukan musafir), maka wajib shalat Dzuhur” (Ibnu al-Mandzir, al-Ijma’, 1/40)
Ketiga, pendapat yang melarang shalat Jum’at bergelombang/shift
حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمْعَةِ لَمْ يُقِمْهَا إِلاَّ فِيْ مَسْجِدِهِ وَلَمْ يُرَخِّصْ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ مَعَ فَرَطِ حُبِّهِ لِلتَّيْسِيْرِ عَلَى أُمَّتِهِ فِيْ أَنْ يُقِيْمُوْهَا فِيْ مَسَاجِدَ مُتَعَدِّدَةٍ أَوْ يُصَلِّيَ بِمَنْ يَتَيَسَّرُ لَهُ الْحُضُوْرُ أَوَّلَ الْوَقْتِ وَيَأْذَنُ فِيْ أَنْ تُقَامَ بَعْدَهُ جُمْعَةٌ وَجُمْعَةٌ وَثَالِثَةٌ وَهَكَذَا لِبَاقِيْ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَحْضُرُوْا، وَكَانَ ذَلِكَ أَيْسَرَ عَلَيْهِمْ لَوْ كَانَ
“Sehingga jika sudah datang hari Jum’at, maka beliau SAW tidak melaksanakan shalat Jum’at kecuali di masjidnya. dan Nabi meskipun sangat ingin memberikan kemudahan kepada umatnya tidak memberi dispensasi untuk mendirikan shalat Jum’at di banyak mesjid, atau shalat bersama orang yang bisa datang kepadanya di awal waktu, dan mendirikan shalat jumat kedua, ketiga dan seterusnya bagi mereka yang tidak bisa datang (di awal waktu). Padahal cara itu lebih mudah bagi mereka seandainya memang diperkenankan.” (Tanwir Al-Qulub, 189)
Empat, Pendapat yang Membolehkan Bergelombang
Masalah seperti ini pernah ditemukan di negeri Eropa, masjid tidak memadai dan sulit memperbanyak tempat salat namun jamaah shalat Jum’at dari Muslim imigran cukup banyak. Akhirnya ada yang menggunakan cara bershift/ susulan seperti ini:
ﻣﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ اﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺇﻋﺎﺩﺓ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻓﻲ ﻣﺴﺠﺪ ﻭاﺣﺪ ﺑﺤﺠﺔ ﺃﻥ اﻟﻨﻈﺎﻡ ﻓﻲ اﻟﻤﺪﺭﺳﺔ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ اﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ ﻣﻦ ﺃﺩاء اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻣﻊ اﻷﻭﻟﻴﻦ، ﻓﻬﺬا ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ اﺑﻦ ﺣﺰﻡ ﻭﻣﻦ ﻭاﻓﻘﻪ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ، ﺣﻴﺚ ﻳﺮﻯ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﺎﺗﺘﻪ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻭﻭﺟﺪ ﻣﻦ ﻳﺼﻠﻲ ﻣﻌﻪ ﻭﻟﻮ ﻭاﺣﺪاً ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺼﻠﻲ ﻣﻌﻪ ﺟﻤﻌﺔ، ﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﺃﺣﺪاً ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺼﻠﻲ ﻇﻬﺮاً
“Apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengulang shalat Jumat di satu masjid dengan dalih aturan sekolah tidak memungkinkan bagi orang yang terlambat untuk melakukan shalat Jum’at bersama gelombang pertama maka menurut pendapat Ibnu Hazm tidak apa-apa. Ibnu Hazm berpendapat jika ada orang yang ketinggalan shalat Jum’at dan masih menemukan orang untuk diajak shalat Jum’at, meski satu orang, maka ia shalat Jumat bersamanya. Jika tidak menemukan sama sekali maka ia shalat Dzuhur.” (Qism Al-Fiqh 79/29)
Kelemahan dari cara nomor empat ini untuk diterapkan di negara kita adalah karena pendapat madzhab Dzahiri (di luar empat Madzhab). Di samping itu juga menyalahi Ijma’ mayoritas umat Islam, serta masih mudahnya menemukan tempat untuk dijadikan tempat shalat. Solusinya terdapat pada cara pertama, yaitu melakukan shalat Jum’at di banyak tempat meskipun tidak sampai 40 orang. Jika tidak memungkinkan, maka diganti shalat Dzuhur.
*Artikel ini diambil dari status FB KH. Ma’ruf Khozin