Setelan Pabrik Lelaki Patriarki Usai Akad Nikah vs Kehidupan Suami Ideal Menurut Islam

Setelan Pabrik Lelaki Patriarki Usai Akad Nikah vs Kehidupan Suami Ideal Menurut Islam

Lelaki patriarki ingin menguasai perempuan usai nikah, konsep Islam menawarkan sebaliknya

Setelan Pabrik Lelaki Patriarki Usai Akad Nikah vs Kehidupan Suami Ideal Menurut Islam
man hide a ring behind his back before making a proposal

Suatu hari Mbak Alissa Wahid bercerita tentang program bimbingan perkawinan yang diadakan oleh Kementerian Agama RI. Ada modul berikut kegiatan persiapan yang diadakan oleh Kantor Urusan Agama di kecamatan masing-masing. Beberapa teman saya pun pernah mengikutinya.

Ada hal menarik dari modul tersebut, salah satunya mencatat hal-hal yang tidak boleh dilakukan pasangan terhadapnya. Hal itu menjadi semacam ‘kontrak’ bagi dua insan dalam menjalin kehidupan bersama di masa mendatang. Bagi saya, ini terobosan yang luar biasa. Mengapa?

Begini. Setelan pabrik laki-laki di dunia patriarki ini ya berkuasa. Sampai beberapa tahun yang lalu, saya masih memiliki pendapat bahwa ketika seorang perempuan mengikat diri dalam sebuah pernikahan, di situlah dia akan bergantung sepenuhnya pada suami. Bahkan ada istilah ridha suami adalah ridha Allah. Suami berhak mendisiplinkan istri bagaimanapun caranya, termasuk dengan memberi treatment fisik.

Namun saya mengalami perubahan paradigma karena bertemu dengan gagasan-gagasan tentang Islam yang memanusiakan dan berkeadilan. Bahwa menikah bukanlah memutus langkah seorang perempuan untuk maju. Pernikahan yang maslahat (baik) bukanlah pernikahan yang membawa masalah. Justru, dengan menikah, kedua insan ini saling berkembang menjadi versi terbaik dari dirinya.

Islam juga memperbolehkan perempuan untuk memberikan kontrak itu terjadi. Misal, seorang perempuan enggan dipoligami. Atau memberi syarat tidak bisa menerima kekerasan, baik secara fisik, verbal, maupun psikis. Jika si lelaki berkenan, maka pernikahan bisa dilanjutkan. Namun jika tidak, keduanya bisa memilih jalan masing-masing.

Saya mencoba menanamkan itu di dalam benak. Sejak mulai mengenal dekat calon istri, rasa-rasanya saya tidak pernah membentak atau marah barang sekali. Sebisa mungkin saya menghindari kekerasan apapun bentuknya. Ingat, seringkali sebagai pasangan kita menormalisasi kekerasan atas nama menjadikan pasangan lebih baik. Padahal, hubungan sehat kalau masing-masing dari kita berbuat sesuatu yang menyehatkan, dimulai dari diri sendiri.

Bentuk kekerasan pun beragam. Yang jarang disadari adalah kekerasan psikis. Membuat seolah-olah pasangan menjadi pihak yang patut disalahkan dan bagaimana caranya agar merasa bersalah. Yang paling menyebalkan ya silent treatment. Tiba-tiba diam tanpa tahu letak kesalahannya di mana. Padahal, alih-alih itu merupakan sebuah ‘pelajaran’, sikap mencari kesalahan atau ‘memaksa’ orang bersalah hanyalah bentuk dari racun (toxic) sebuah hubungan.

Apa susahnya menyampaikan sesuatu dengan cara baik? Apa salahnya menjadi pasangan yang bisa memberikan penjelasan setiap ada perbedaan pandangan? Susahnya hanya satu, yaitu gengsi. Sebuah sikap yang muncul karena memiliki pendapat bahwa dirinya paling benar. Kalau sudah gengsi obatnya cuma satu: tidak gengsi.

Saya pun menantikan program itu saat mempersiapkan berkas-berkas pernikahan. Di sini saya baru menyadari betapa ribetnya administrasi untuk pernikahan. Mulai surat RT, lurah, hingga KUA kecamatan. Mulai pernyataan perjaka hingga asli laki-laki. Serius. Ada surat bermaterai terkait pernyataan keaslian sebagai laki-laki! Saat itu saya mendapat jadwal bimbingan di KUA tempat kami akan melangsungkan akad di Harau.

Namun sayangnya, akibat pandemi Covid-19, program bimbingan perkawinan tidak dilaksanakan secara ideal. At least, tidak seperti yang tertulis dalam modul yang pernah saya baca. Agendanya pun singkat, hanya ‘tes’ mengaji Al-Quran dan ceramah tentang pernikahan, diselingi beberapa pertanyaan apakah rajin sholat Jamaah dan sejenisnya. Menariknya, waktu itu, pembimbingnya seorang perempuan. Ia menyampaikan nilai-nilai keadilan hakiki dalam pernikahan dan betapa ajaibnya bersikap ketersalingan antara suami dan istri.

Saya langsung teringat Mbak Nur Rofi’ah dan Kang Faqih, dua tokoh yang sejak 2017 saya ikuti banyak pendapatnya. Mbak Nur Rofi’ah kerap mengampanyekan konsep keadilan hakiki, konsep yang senafas dengan mubadalah-nya Kang Faqih. Keduanya menjadi motor terselenggaranya Kongres Ulama Perempuan Indonesia di Cirebon pada 2017.

“Wah, keren ini ajaran keadilan hakiki dan mubadalah sudah sampai sini,” ujarku dalam hati.

“Menurutmu, apa itu ketersalingan?” tanya ibu pembimbing. Saya pun hanya menirukan apa yang kerap saya dengar dari Mbak Nur dan Kang Faqih. Tentang suami dan istri yang saling mendukung. Tentang kedua belah pihak harus sama-sama berperan dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, juga maslahah.

“Ya, benar sekali. Anak pesantren pasti paham ini,” tebak si ibu. Saya hanya tersenyum.

Bimbingan itu terjadi kurang lebih 28 jam sebelum saya mengucapkan komitmen di depan penghulu dan bapak calon istri. Waktu-waktu yang semakin mendekatkan saya dengan tanggung jawab besar sebagai lelaki.

Di hari akad nikah, saya sangat nervous. Gejala yang langsung ditangkap dengan bijak oleh kedua orang tua saya. Mama saya mengelus pundak di tengah kekalutan saya dengan berbagai pertanyaan yang entah mengapa hadir berputar di kepala.

Di sebuah ruangan yang hanya tersisa saya dan kedua orang tua, tangis saya pecah. Saya menangis sejadi-jadinya seperti bocah 5 tahun yang menangis minta dibelikan mainan. Memohon ridho kedua orang tua bahwa hari ini anaknya akan segera mengemban tugas menjadi seorang suami. Seumur hidup, itu adalah tangisan pertama saya sembari memeluk orang tua. Bapak yang orangnya tidak mellow pun, terisak dan terus mengucapkan “seng yakin”.

Menuju lokasi akad nikah, saya hanya bisa bersalawat dan membaca Al-Fatihah berkali-kali. Berharap kalimat-kalimat agung itu membantu saya untuk lebih kuat. Berharap agar setiap jengkal langkah saya mendapat keberkahan dan manfaat dunia akhirat.

Seperangkat alat salat dan beberapa gram logam mulia menjadi mas kawin yang saya sertakan dalam pembacaan akad. Di dalam hati, saya selalu meyakini bahwa mas kawin bukanlah ‘harga’ seorang perempuan. Setelah akad, bukan berarti perempuan yang menjadi istri ini bisa saya perlakukan sekenanya. Tubuh dan jiwanya adalah miliknya sepenuhnya. Bahwa saya harus mendampingi, saya juga butuh didampingi. Ketersalingan menjadi kata kunci dalam memaknai sebuah pernikahan.

Justru saya harus bersikap lebih hati-hati karena pernikahan sejatinya menghadirkan unsur kesaksian Tuhan. Bismillah, semoga akad ini menjadikan kami sebagai manusia yang lebih bermartabat dan bermanfaat.