Dikisahkan seorang guru memberi tugas kepada ketiga muridnya. Masing-masing ketiganya diberi seekor burung dan sebuah pisau. Mereka kemudian diperintahkan menyebar dan menyembelih burung yang mereka bawa di tempat, dimana tidak akan ada yang memergoki mereka saat menyembelih si burung di tempat itu. Tak lama kemudian, dua orang murid kembali dengan burung dalam keadaan tersembelih. Satu murid tak lekas kembali. Setelah lama ditunggu ia pun kembali dengan burung yang masih hidup. Saat ditanya sang guru ia pun beralasan, “Bagaimana saya dapat menyembelih di tempat yang ada minta, sedangkan tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh sifat maha mengetahui Allah?”.
Kisah di atas adalah kisah kecil tentang keluguan seorang murid. Namun keluguan itu menunjukkan kedalaman pemahamannya tentang sifat Allah. Ia sadar betul bahwa sifat ‘alim atau maha mengetahui milik Allah menjangkau setiap ruang dan waktu. Sehingga saat mencari di mana tempat yang dimaksud gurunya, ia tidak menemukan tempat tersebut. Allah maha mengetahui, maha melihat dan maha mendengar. Bahkan Allah mengetahui apa yang terbersit di hati seseorang. Padahal, kadang si pemilik hati, tidak sadar bahwa ia sedang membathin sesuatu.
Banyak umat muslim yang mengetahui serta hafal sifat-sifat Allah, tapi banyak pula yang yang tidak memahami dengan mendalam sehingga dapat meyakini dengan betul sifat-sifat tersebut. Sebab, salah satu bentuk meyakini sifat-sifat Allah adalah mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terkait sifat-sifat Allah dapat diklik di sini.
Banyak yang tahu bahwa Allah maha kuasa. Kuasa untuk menjadikan hal yang tak mungkin secara akal, menjadi mungkin. Tapi pada praktiknya banyak yang putus asa saat mendengar keluarganya divonis dokter dan dinyatakan tidak akan sembuh, putus asa saat pekerjaan tetapnya hilang sementara kebutuhan banyak, putus asa saat melihat banyak orang menyatakan bahwa ia akan mengalami kegagalan. Padahal yang seharusnya dilakukan saat ia benar-benar meyakini sifat-sifat Allah, adalah terus berusaha serta memasrahkan hasilnya kepada Allah.
Meyakini bahwa Allah bersifat qiyamuhu bi nafsihi atau berdiri sendiri dan tidak butuh terhadap hal lain, dapat dipraktikkan dengan ikhlas beribadah. Tidak perlu ada keyakinan bahwa ibadahnya dibutuhkan oleh Allah, terlebih meyakini bila tidak beribadah maka kekuasaan Allah akan berkurang ataupun malah hancur. Sebab Allah tidak membutuhkan ibadah makhluknya. Beribadah merupakan tujuan diciptakannya makhluk. Maka ibadah atau tidak ibadah akibatnya akan kembali kepada si pelaku, tidak kepada Allah.
Dalam berdakwah, tidak perlu ada keyakinan bila tidak berdakwah maka agama Allah akan hancur. Cukup berdakwah sebagai wujud melaksanakan perintah Allah. Keinginan untuk berdakwah maupun memerintahkan kepada kebaikan, perlu didasarkan sebagai wujud melaksanakan perintah Allah, ataupun bentuk rasa cinta kepada Allah yang diwujudkan dengan keinginan untuk membuat Allah bahagia lewat dapat tersebarnya syiar agamanya. Semangat berdakwah juga adalah bentuk semangat melaksanakan perintah Allah. Sebab Allah mencintai hambanya yang semangat dalam beribadah.
Namun, sebagai bentuk melaksanakan perintah, maka kita tidak boleh memaksakan bahwa hasilnya harus sesuai dengan keinginan. Berdakwah tidak boleh disertai keyakinan bahwa dakwah pasti berhasil, atau orang yang didakwahi harus mau menerima dakwah kita. Sebab berhasil atau tidak, mau menerima atau tidak, itu adalah kewenangan Allah dalam menentukan. Ini merupakan wujud meyakini Allah maha kuasa. Kuasa menjadikan yang seharusnya menurut akan menjadi baik, justru akan menjadi buruk. Selain itu, Allah juga maha berkehendak. Allah tidak akan bisa dipaksakan memenuhi kehendak makhluknya.