Pemerintah akhirnya membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) setelah lebih dari 30 tahun organisasi transnasional ini beroperasi di Indonesia tanpa hambatan yang berarti. Sejak hadir di Indonesia pada awal tahun 1980-an, HTI pada masa Soeharto lebih banyak bergerak di bawah tanah dengan membangun basis di universitas-universitas melalui Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang merupakan organisasi payung bagi sejumlah organisasi Muslim lain termasuk Salafi dan Tarbiyah (al-Ikhwan al-Muslimun). Setelah Soeharto tumbang pada tahun 1998, HTI sudah mampu membangun basis di banyak tempat dan menemukan momentum untuk melakukan mobilisasi secara terbuka.
Jejak HTI dalam medan dakwah terang-terangan ditandai dengan publikasi buletin mingguan Al-Islam dan majalah Al-Wa’ie. Pada tahun 2006 HTI berhasil mendapatkan pengakuan dari negara. Legalisasi ini memungkinkan HTI untuk bergerak lebih leluasa tidak hanya menjangku komunitas-komunitas Muslim dan kampus tetapi juga membangun pengaruh di lingkup birokrasi pemerintahan. Seruan khilafah HTI tidak hanya terdengar di masjid dan kampus, tetapi juga menjangkau ruang-ruang seminar hotel dan kantor-kantor pemerintahan.
Dengan jangkauan pengaruh yang semakin luas, HTI percaya diri dan mulai mengupayakan tahapan terakhir menuju penegakan khilafah, yakni mencari dukungan (thalabun-nushrah) kepada tokoh-tokoh kuat (ahlul-quwwah) untuk bersama HTI mengambil alih kekuasaan. Belum ada tanda bahwa langkah ini membuah hasil yang berarti, HTI sudah dibubarkan oleh pemerintah.
Apa yang terjadi pada HT setelah dilarang?
Bagi HT, bergerak di bawah larangan negara bukanlah hal baru. Dengan menyandang status sebagai organisasi terlarang, HT di sejumlah negara tidak mampu bertahan, tetapi di sejumlah negara lain ia justru menjelma menjadi kekuatan penting oposisi terhadap rezim yang melarangnya. Di Jerman, HTI nyaris mati setelah dilarang pada tahun 2003. Pemerintah Jerman melarang HT dengan dakwaan kampanye anti-semitisme dan propaganda kekerasan.
Selain itu, pelarangan HT di Jerman juga dimungkinkan oleh undang-undang organisasi bernama Act Governing Private Associations. Pemerintah Jerman melarang sejumlah ormas, termasuk HT, yang oleh sebuah badan di bawah Kementerian Dalam Negeri dianggap mempunyai tujuan dan aktivitas yang bertentangan dengan konstitusi (constitutional order) dan “pemahaman internasional” (international understanding) (lihat Hizb ut-Tahrir: Islam’s Political Insurgency, h. 37-39). Tidak hanya melarang, peraturan ini juga memungkinkan pemerintah merampas hak milik organisasi yang dilarang. Hal ini praktis membuat HT di Jerman mati suri.
Di sejumlah negara lain seperti Mesir, Turki, Bangladesh dan Pakistan, HT mampu bertahan meski dilarang, tetapi tidak berkembang. Di negara-negara ini, tidak sedikit tokoh HT yang ditangkap dan dipenjara, tetapi mereka bertahan melalui kampanye di media dan pertemuan-pertemuan di bawah tanah.
Wilayah di mana HT mampu berkambang meski dilarang adalah sejumlah negara pecahan Uni Soviet seperti Kyrgistan, Kazakhstan dan Tajikistan. Di negara-negara ini HT berhadapan dengan pemerintahan yang lebih keras dan otoriter dan banyak anggota HT dipenjara. Namun di tengah lemahnya kekuatan oposisi, HT mengisi ruang kosong dan menjadi saluaran perlawanan masyarakat dan kelompok-kelompok etnis tertentu yang miskin dan tertindas.
Sejumlah analis menyimpulkan ketersediaan oposisi yang legitimate menjadi kunci sejauh mana HT mampu bertahan atau berkembang di bawah pemerintahan yang melarangnya, kecuali di negara-negara non-demokratis seperti Arab Saudi dan negara-negara Teluk di mana mereka bisa dikatakan gagal. Di negara mayoritas Muslim lain seperti Mesir dan Turki, pengaruh HT redup di bawah bayang-bayang kekuatan Islamis lain, khususnya Jama’ah al-Ikhwan al-Muslimin.
Doktrin HT menghadapi represi
Satu hal yang tampaknya seragam dari sikap HT setelah dilarang adalah para anggota HT tidak berhenti menentang demokrasi; menyerang legitimasi pemerintahan yang dianggap sekuler; mengajak umat Islam untuk menanggalkan sentimen nasionalisme atau aliran; dan terus menyerukan khilafah sebagai alternatif. Secara normatif, konsistensi ini bersumber dari doktrin organisasi yang ditanamkan oleh pendiri HT, Taqiyuddin an-Nabhani.
Dalam buku At-Takattul al-Hizbiy yang merupakan salah satu panduan gerakan HT, an-Nabhani menyerukan kepada pengikutnya untuk tidak bergeser sedikitpun dari ideologi dan prinsip gerakan meskipun mendapatkan tentangan dari berbagai pihak:
Ketika terjadi pertentangan antara prinsip dan kemauan publik, anggota Hizb harus berpegangan pada prinsip, meski Hizb akan dibenci umat. Kebencian itu hanya sementara. Konsitensi Hizb dalam berprinsip akan mengembalikan kepercayaan umat. Hizb harus selalu awas dan tak boleh menyimpang dari prinsipnya meski sehelai rambut pun. Prinsip adalah kehidupan Hizb dan penjamin keberlangsungannya. Dalam menghada pi situasi yang sulit dan berbahaya, Hizb harus terus berupaya mengajak umat pada prinsip Hizb, menjelaskan gagasan dan konsep-konsepnya, dan terus berupaya agar gagasan-gagasannya mendominasi pikiran umat. (Taqiyuddin an-Nabhani dalam At-Takattul al-Hizbiy, 2001:52-53. Terjemah dalam bahasa Inggris: Structuring of a Party, 2001:48-49)
Selain itu, anggota HT mendapatkan doktrin bahwa kembalinya khilafah adalah janji Allah yang pasti akan datang. Respon HT ketika dilarang tidak hanya berdasar pada pertimbangan taktis gerakan tetapi juga keyakinan teologis bahwa Muslim yang meninggal tidak dalam kondisi berbaiat kepada imam atau khalifah maka ia “mati dalam keadaaan jahiliyah”. Jika khilafah belum berdiri selama masa hidupnya, yang penting bagi anggota HT adalah hidup sebagai pejuang khilafah dan menolak tunduk pada sistem dan rezim sekuler.
Karena itu, bisa dipastikan pembubaran HTI tidak akan serta-merta mematikan suara seruan terhadap khilafah. Jika ini tidak bisa dilakukan dalam bentuk pertemuan-pertemuan terbuka, orang-orang HT akan menggunakan media (buletin Al-Islam, majalah Al-Wa’ie, blog, media sosial) dan pertemuan-pertemuan tertutup. Konsistensi ideologis ini semestinya tidak terbatas pada totalitas dalam tujuan melawan sistem sekuler, tetapi juga jalan non-kekerasan yang dipegang teguh sampai kekuasan beralih ke khilafah.
Namun, HTI sudah terlanjur menjadi organisasi yang cukup besar. Pertanyaannya: dengan anggota puluhan ribu atau lebih di Indonesia, apakah mungkin semua anggota mampu mempertahankan mandat konsistensi ideologis ini? Apalagi jika mempertimbangkan fakta bahwa belum ada model wilayah HT yang bisa dibilang sukses mendekati tujuan mengambil alih kekuasaan (istilam al-hukm). Adaptasi dan inovasi dengan mempertimbangkan sumber daya dan struktur kesempatan politik yang beragam di negara berbeda sangat mungkin terjadi.
Antara ekstremisme dan oposisi demokratis
Pilihan paling realistis bagi HTI saat ini adalah menyalurkan kekuatannya melalui kekuatan-kekuatan politik di luar pemerintahan yang dijamin kebebasannya dalam kerangka demokrasi dan konstitusi. Gelagat HTI belakangan, bahkan sebelum secara resmi dibubarkan, menunjukkan bahwa ia tidak alergi untuk beraliansi dengan kelompok-kelompok pejuang syariah dalam menerima sistem politik yang ada.
Sekilas aliansi ini bisa ditangkap sebagai pergeseran dari doktrin an-Nabhani yang menuntut anggota partai untuk tidak berkompromi. Namun sejumlah doktrin dalam HT memungkinkan mereka untuk bermanuver dalam kancah pemilu. Dalam konteks pilpres, dukungan terhadap calon tertentu dibingkai berdasarkan doktrin yang membedakan antara pemilihan presiden dan kepala negara. Dalam doktrin HT, pemilu juga bisa dianggap sebagai uslub (taktik), bukan thariqoh (metode). Metode tidak boleh berubah, tetapi taktik bisa fleksibel. Misalnya, pada pemilu-pemilu yang lalu, HTI mendorong partai-partai Islam untuk membangun “koalisi syariah”, bahkan secara tidak langsung mendukung calon-calon tertentu dalam pemilu.”
Bisa jadi positioning HTI dalam kancah pemilu ini dilakukan untuk mendapatkan tempat dalam lanskap politik Islam di Indonesia. Selain itu seruan-seruan tentang pentingnya memilih pemimpin seiman dan menyatukan kekuatan politik Muslim bisa dilihat sebagai upaya jangka panjang untuk memperluas basis dukungan bagi penerapan khilafah.
Tetapi setelah dibubarkan, tentu HTI berada dalam posisi lemah karena tidak bisa leluasa mengadakan mobilisasi secara terbuka sebagaimana sebelumnya. Bahkan bisa jadi media-media HTI juga akan segera ditutup oleh pemerintah, kecuali jika Perppu tidak mendapatkan dukungan DPR atau dibatalkan dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Dalam situasi demikian, bergabung dengan oposisi demokratis yang ada akan menjadi saluran paling aman bagi anggota HTI yang tersebar di berbagai daerah. Di tengah situasi menguatnya politik identitas pasca Pilkada DKI, muncul harapan bahwa politik Islam yang selama ini “kalah” akan mengalami titik balik. Merujuk pada pengalaman di negara-negara lain sebagaimana dijelaskan di awal, HT hanya bisa berkembang dalam kondisi dilarang ketika tidak ada kekuatan oposisi lain yang kuat atau di negara totaliter. Konsekuensi dari pilihan ini adalah bahwa HTI harus mengubah dengan mengurangi atau meninggalkan sama sekali seruan khilafah, anti-demokrasi, dan anti-nasionalisme.
Potensi perubahan lain yang tidak bisa dinafikan adalah munculnya friksi di antara anggota HTI sendiri, antara yang berpegang teguh dengan doktrin non-kompromi an-Nabhani dan mereka yang lebih adaptif terhadap perubahan sosial politik. Mereka yang kecewa dengan arus moderasi dan kehilangan harapan terhadap perjuangan intelektual yang tidak kunjung membuahkan hasil bisa jadi melihat ekstremisme kekerasan sebagai saluran.
Pada akhirnya, pilihan-pilihan itu dan segenap konsekuensinya akan berpulang kepada para anggota HTI sendiri: mau konsisten secara ideologis atau berkompromi?
*) Mohammad Iqbal Ahnaf; peneliti CRCS UGM Yogyakarta.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh web CRCS.