Pada tahun 2012, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) disebut mengusulkan adanya sertifikasi ulama. Ide dasarnya adalah banyak penceramah (muballigh) yang menebar pesan radikalisme hingga terorisme. Walau sempat dibantah oleh mereka, tapi bola terlanjur bergulir. Wacana ini masih saja menjadikan pro dan kontra. Belakangan, isu ini mencuat kembali.
Kalangan yang mendukung menilai sudah saatnya ulama dan muballigh disertifikasi agar tidak semakin banyak ulama gadungan yang menebar pesan-pesan radikalisme. Sementara pihak kontra menyebut bahwa ustad dan ulama bukan jabatan yang perlu disertifikatkan.
Bagi saya pribadi, wacana itu tidak perlu ditolak sepenuhnya atau pun diterima seutuhnya. Penulis mengamini adanya kegelisahan di kalangan masyarakat awam terkait ulama yang patut jadi panutan. Sebab saat ini jurang perbedaan pendapat antara satu tokoh dengan yang lain sangat lebar. Lalu, mana yang layak dijadikan panutan?
Krisis ulama dan cendekiawan muslim harus diakui tengah melanda di dunia Islam, bukan hanya di Indonesia tetapi juga dunia. Sementara ulama yang ada memilih untuk diam tak bersuara, lalu banyak kalangan politik yang menggunakan momentum ini untuk menciptakan ulama-ulama yang sesuai dengan tujuan politiknya. Akibatnya, adalah kekacauan luar biasa dan kekerasan atas nama agama terjadi di mana-mana.
KH Said Aqil Siradj misalnya mengatakan terjadinya krisis Mesir beberapa waktu silam adalah karena vakumnya peran ulama (sindonews, 2013). Al-Azhar sebagai mercusuar keilmuan Islam hanya diam melihat gejolak politik di negeri itu. Maka terjadilah perang saudara yang menewaskan ribuan jiwa.
Saya tidak tahu apakah Indonesia sedang digiring ke arah itu. Yang jelas hari ini semakin banyak orang yang mengamini cara-cara kekerasan dengan dalih membela agama dan ulama. Sedikit saja disulut, bukan tidak mungkin perang saudara terjadi. Na’udzubillah min dzalik.
Terkait krisis ulama ini, Rasulullah pernah bersabda. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru bin al-Ash, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan mengangkatnya dari hati para hamba, tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama sampai ketika Allah tidak menyisakan seorang alim pun. Kemudian manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin-pemimpin mereka. Ketika orang-orang bodoh tersebut ditanya, mereka berfatwa tanpa ilmu maka mereka pun sesat dan menyesatkan.’” (HR Bukhari dan Muslim, ini lafaz Bukhari).
Penulis melihat masih banyak di negeri ini ulama-ulama yang patut dijadikan panutan. Oleh karenanya memang perlu ada ‘sertifikasi’ ulama untuk membedakan antara ulama dan muballigh. Tujuannya tidak lain adalah mengedukasi masyarakat awam. Jangan sampai gelar ulama diobral kepada setiap orang yang membicarakan persoalan agama di hadapan publik, padahal tidak memiliki kapasitas keilmuan dan keagamaan.
Tentu saja sertifikasi ini bukan dalam bentuk kertas seperti sertifikat tanah. Tidak perlu pula adanya akreditasi berdasar indikator tertulis yang justru mendiskreditkan sosok ulama. Karena pada dasarnya gelar ulama adalah gelar yang disematkan oleh masyarakat luas berdasar kapasitas keilmuan dan keagamaannya seseorang.
Lalu siapakah ulama itu? Di pembukaan kitab Bulughul Maram, Syekh Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalaniy mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Berarti para ulama adalah orang-orang yang perilaku dan tindak tanduknya mengikuti para nabi. Di antara ciri-ciri para nabi adalah bertakwa, berakhlak mulia, mengayomi, selalu melindungi dan memikirkan umatnya, pemaaf, menyerukan perdamaian, berdakwah dengan arif tanpa kekerasan dan lain sebagainya.
Untungnya kita berada di Indonesia yang masih memiliki tokoh-tokoh agama seperti itu. Kita tidak kesulitan mengidentifikasi dan membedakan mana ulama dan mana yang hanya bisa disebut sebagai muballigh atau penceramah. Wallahua’lam bi as-sha