
Derasnya arus konten hiburan yang serba cepat, ringan, dan mudah dicerna, hadir sebuah serial dari Malaysia yang menolak ikut arus. Bidaah. Serial ini tak menawarkan tawa ringan atau drama romansa manis yang klise. Sebaliknya, Bidaah muncul sebagai kritik keras yang menyentil: bagaimana agama bisa berubah menjadi topeng kekuasaan. Ini bukan sekadar tontonan, melainkan ajakan untuk bertanya: apakah agama masih kita rawat sebagai jalan kasih, atau sudah menjelma jadi alat legitimasi nafsu dan ambisi?
Bidaah tidak tampil untuk menggurui, apalagi menghakimi. Ia hadir sebagai cermin, agama yang seharusnya menjadi ruang teduh, bisa berubah menjadi alat paling tajam di tangan yang salah. Kita diajak menyusuri dunia yang tampak religius di permukaan, namun penuh intrik, manipulasi, dan perebutan pengaruh di balik layar. Mimbar jadi panggung politik, ceramah jadi alat pencitraan, dan dakwah kehilangan ruh keikhlasannya.
Agama, dalam realitas yang digambarkan dalam serial ini, telah menjauh dari nilai-nilai kasih dan kejujuran. Ia tidak lagi menjadi pelita yang membebaskan, tapi senjata syahwat yang menundukkan dan mungkin, yang paling menyakitkan adalah ketika semua itu dilakukan atas nama Tuhan.
Ketika Agama Menjadi Alat Kuasa
Kekuatan serial Bidaah ini terletak pada keberaniannya mengangkat kenyataan yang sering dianggap tabu: bahwa musuh agama tidak selalu datang dari luar. Kadang justru dari dalam—dari mereka yang paling fasih mengatasnamakan Tuhan. Ayat bisa dipelintir, fatwa diperjualbelikan, dan label seperti “sesat”, “kafir”, atau “bid’ah” bisa dengan mudah ditempelkan pada siapa pun yang berbeda pandangan. Seolah surga dan neraka dapat dikelola dari podium atau akun media sosial.
Serial ini menyentuh sisi gelap agama yang dikomersialkan, dipolitisasi, dan dieksploitasi untuk kepentingan segelintir orang. Salah satu contohnya adalah Walid, tokoh kharismatik yang memimpin sekte Jihad al-Ummah, dan mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi. Di balik jubahnya yang putih dan pidatonya yang menggugah, Walid adalah sosok predator seksual yang memanipulasi ajaran suci demi memenuhi nafsu duniawi.
Dalam salah satu adegan paling mengganggu, Walid memaksa seorang perempuan muda bernama Mia untuk melayani nafsunya—dengan dalih bahwa hubungan itu adalah “jalan menuju surga”. Setelah Mia hamil, Walid justru menyuruhnya menggugurkan kandungannya demi menjaga citra. Agama, dalam tangan Walid, bukan lagi petunjuk hidup, tapi alat untuk menguasai, menundukkan, dan merusak. Namun di tengah kegelapan itulah, muncul secercah cahaya: generasi muda yang mulai mempertanyakan semuanya.
Baiduri dan Hambali: Suara Kritis Generasi Muda
Salah satu kekuatan lain dari Bidaah adalah kehadiran tokoh-tokoh muda seperti Baiduri dan Hambali. Mereka menjadi representasi generasi muda yang gelisah dan tak mudah tunduk pada dogma yang meragukan. Dalam Episode 8, Baiduri mulai mempertanyakan praktik menyimpang dalam sekte tersebut. Alih-alih menerima mentah-mentah klaim keagungan Walid, ia memilih berpikir kritis dan mencari kebenaran sendiri.
Puncaknya terjadi di Episode 13, ketika Baiduri dan Hambali bersama-sama membongkar kedok Walid dan berusaha menyelamatkan orang-orang tercinta dari pengaruh destruktif sekte tersebut. Ini bukan hanya narasi pembebasan, tapi simbol perlawanan terhadap penyalahgunaan agama—yang ironisnya justru dilakukan atas nama Tuhan.
Mencari Kembali Ruh Agama
Serial ini menjadi ruang jeda. Ia mengajak kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita benar-benar memahami agama, atau sekadar mewarisi simbol dan rutinitasnya? Apakah kita mencintai agama karena kedalaman maknanya, atau karena tampilan megah yang disanjung orang?
Sebab pada akhirnya, bid’ah terbesar bukanlah soal menambah atau mengubah ritual. Bid’ah paling berbahaya adalah ketika agama, yang sejatinya suci dan membebaskan, justru dipelintir untuk membenarkan ambisi duniawi. Ketika ia kehilangan ruh kasih, keadilan, dan kejujuran—dan berubah menjadi industri moralitas: menjual fatwa, menjajakan penghakiman, dan mendulang keuntungan dari rasa takut umat.
Fenomena ini tak hanya terjadi di fiksi. Di berbagai tempat, termasuk Indonesia, simbol agama kerap kali dikapitalisasi untuk kepentingan politik, ekonomi, bahkan eksistensi diri. Kita hidup di masa ketika yang paling lantang berbicara atas nama Tuhan, justru seringkali menutup ruang dialog dan membungkam pertanyaan.
Bidaah mungkin membuat sebagian orang gelisah atau marah, tapi justru kegelisahan itu yang menjadikannya penting. Ia menunjukkan bahwa iman bukan kompetisi tampil suci, tapi perjalanan jujur mencari makna. Bahwa kritik terhadap penyalahgunaan agama bukan bentuk kebencian, melainkan cinta yang ingin menjaga kemurniannya.
Kita mungkin tak bisa mengubah dunia hari ini. Tapi kita bisa menjaga agar iman tak berubah menjadi topeng. Kita bisa memilih untuk menjadi lilin kecil—seperti Baiduri dan Hambali—yang tetap menyala di tengah gelapnya penyalahgunaan agama. Dan dari nyala kecil itu, semoga tumbuh keberanian kolektif untuk menjaga makna suci yang sesungguhnya: kasih, kejujuran, dan keadilan.
(AN)