Ulama hadis setelah melakukan penelitian terhadap ratusan ribu hadis menyimpulkan ada beberapa hadis yang memuat kaidah penting tentang ajaran Islam. Bahkan mereka menyatakan bahwa ada hadis yang memuat sepertiga dari ajaran Islam. Ya, sepertiga dari ajaran Islam tak bisa dilepaskan dari hadis ini sehingga hadis tersebut penting diketahui, dihafal dan difahami kandungan-kandungannya.
Hadis yang dinyatakan memuat sepertiga ajaran Islam itu berbunyi:
عَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ
Artinya:
“Diriwayatkan dari pemimpin orang-orang mukmin; Abi Hafs ‘Umar ibn Khattab –semoga Allah menridhainya- bahwa beliau berkata: aku mendengar Rasulullah salallahualaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya amal bergantung niat. Dan sesungguhnya tiap orang tergantung dengan niatnya. Orang yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Orang yang hijrah-Nya ke dunia yang ia peroleh atau perempuan yang ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia hijrah padanya.”
Hadis sahih di atas menjadi pondasi penting tentang pentingnya niat. Menimbang begitu pentingnya hadis tersebut, banyak yang meletakkannya sebagai hadis pertama dalam beberapa kitab hadis. Beberapa diantaranya Kitab al-Arba’in karya Imam an-Nawawo dan Kitab al-Jami’ as-Shoghir karya Imam as-Suyuthi. Lalu bagaimana bisa hadis tentang niat ini dinyatakan sebagai sepertiga ajaran Islam? Bagaimana penjelasannya? Apa arti niat? Mengapa Nabi Muhammad menjadikan dunia dan perempuan sebagai perbandingan untuk Allah dan Rasul-Nya? Simak dalam uraian berikut ini.
Pertama, hadis tentang niat mencakup sepertiga ajaran Islam artinya, bahwa permasalahan tentang niat masuk ke hampir seluruh bab dalam kajian fikih. Hal ini seperti dalam bab wudhu, mandi besar, tayammum, shalat, khutbah jum’at, zakat, puasa, haji, jual beli, hewan sembelihan, nadzar, wakaf, nikah, sumpah, wasiyat, menyebarkan Ilmu, berfatwa dan beberapa bab lain yang masih diperselisihkan ulama’ tentang keterkaitannya pada niat.
Imam al-Baihaqi memiliki artian lain tentang bahwa hadis niat mencakup sepertiga ajaran Islam. Imam al-Baihaqi membagi tindakan manusia terbagi atas tiga bagian. Yaitu yang dilakukan hati, lisan dan anggota tubuh. Niat merupakan sepertiga dari bagian tersebut dan merupakan yang terpenting. Sebab niat kadang menjadi ibadah tersendiri tanpa yang lain, dan selain niat kadang memerlukan niat agar menjadi ibadah tersendiri.
Kedua, niat artinya adalah kesengajaan dalam hati tatkala melakukan sesuatu. Oleh sebab itu, kesengajaan dalam hati yang muncul sebelum melakukan sesuatu tidak dapat disebut niat. Dan dalam kajian fikih diistilahkan dengan ‘azm. Karena itu, niat alam wudhu hendaknya besertaan awal wudhu. Niat dalam shalat dan lainnya juga seperti itu.
Ketiga, amal dalam hadis di atas maknanya adalah apa yang dilakukan oleh anggota lahir. Tidak mencakup oleh apa yang dilakukan oleh hati. Dan makna amal bergantung niat bukan berarti bahwa gerakan tubuh layaknya orang solat apabila tidak diniati tidak dapat disebut solat. Tapi, tidak dianggap sah dan belum bisa menggugurkan kewajiban shalat dari pelakunya.
Keempat, permasalahan tentang niat tidak hanya terkait pada kajian fikih saja. Tapi, menurut beberapa ulama, juga terkait dengan ilmu gramatikal arab dan ilmu tasawuf. Imam Sibawaih mensyaratkan adanya unsur kesengajaan pada sebuah lafadz agar bisa disebut kalam dalam bahasa Arab.
Kelima, meletakkan kata perempuan setelah dunia padahal perempuan juga bagian dari dunia menurut sebagian ulama menunjukkan, bahwa bahaya atau godaan perempuan dalam permasalahan melalaikan Allah lebih berbahaya dari godaan manapun. Sedang membandingkan antara niat kepada Allah dan rasul-Nya pada dunia dan perempuan, mengisyaratkan pentingnya beralih dari memandang atau mempertimbangkan ciptaan kepada wujudnya sang pencipta. Wujudnya keindahan alam dunia seisinya jangan sampai membuat lalai pada Allah sebagai penciptanya.
Keenam, pentingnya niat ikhlas kepada Allah mengingatkan bahwa dalam memandang segala sesuatu tidak boleh hanya berdasar tindakan dzahir saja. Tidaklah setiap yang tampak bershodaqah berarti ia sedang mencari ridha Allah. Tidak setiap yang tampak shalat berarti ia sedang mendekatkan diri kepada Allah. Sebab bila niatnya agar memperoleh perhatian manusia, bisa berarti Allah telah hilang dari alam pikirannya.