Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga terfavorit di dunia. Sepak bola memiliki penggemar atau masa sangat banyak juga fanatik. Selain itu, semua kalangan bisa memainkan dan bisa menikmati. Jangkauan ke masyarakat lebih dekat ketimbang olahraga lain semacam glof, baseball dan olahraga lain. Dari masyarakat menengah ke bawah sampai kalangan menengah ke atas dapat memainkan si kulit bundar itu.
Tidak terkecuali anak-anak di desa yang minim fasilitas lapangan yang memadai, atau orang kota yang minim lahan bermain. Semua dapat bermain bola dengan senang hati tanpa memikirkan berapa ukuran lapangan maupun lebar gawang itu. Minimal ada lahan sepetak dan bola, pertandingan sudah bisa dilmainkan.
Sepak bola bukan sekadar play of the game tetapi bisa untuk melihat world view. Artinya, sepak bola telah menyusup ke berbagai elemen. Pemimpin bangsa, elit politik, kaum buruh, mahasiswa, dosen, ibu-ibu rumah tangga, remaja, dewasa hingga anak kecil dan bahkan para ulama besar pun dapat menikmati olahraga yang satu ini.
Berbicara tentang sepak bola dan ulama, benak saya langsung tertuju pada sosok Abdurrahman Wahid dan Muhammad Quraish Shihab. Gus Dur, presiden keempat ini, kita telah mengenalnya sebagai sosok pengamat sepak bola yang brilian. Kejelian dan ketelitian dalam menganalisa sepak bola tak ada yang bisa menyangkal.
Siapa yang sangka, lahir dari kalangan pesantren, Gus Dur memiliki hobi sama seperti anak-anak seusianya, bermain bola. Saat kecil, teman-temannya kerapkali memergoki Gus Dur absen dari pelajaran di kelas hanya karena ia ingin bermain di luar kelas. Sorenya sebelum mengaji bersama kakeknya, Gus dur dengan teman sebayanya bermain sepak bola di pekarangan pesantren.
Gus Dur memiliki kegemaran membaca buku. Ia tidak membatasi dalam mengonsumsi buku. Gus Dur memiliki banyak koleksi buku-buku agama, filsafat, sastra, serta buku mengenai catur dan sepak bola pun tidak luput dari koleksinya.
Saking cintanya terhadap si kulit bundar, Gus Dur kerap melempar gagasan dan opininya tentang sepak bola di media massa. Hasilnya tulisan-tulisan tentang sepak bola bertebaran di media nasional. Bahkan, dari kejeliannya itu, Gus Dur menjadi pengamat sepak bola yang lihai. Buku Gus Dur dan Sepak Bola (2014), terbitan Imtiyaz merepresentasikan bahwa Gus Dur adalah seorang pengamat sepak bola sekaligus kolomnis sepak bola.
Gus Dur lahir di Kota Santri, Jombang, pada 7 September 1940. Ia merupakan cucu KH M Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Ia lahir dari pasangan Wahid Hasyim dan Sholihah. Saat lahir, sebenarnya Gus Dur diberi nama Abdurrahman Ad Dakhil, berarti sang penakluk.
Sebenarnya di usia 14 tahun, Gus Dur harus memakai kacamata minus dan mengalami rabun penglihatan. Tetapi ia masih mampu menelaah kejadian yang dilihatnya. Tidak hanya itu, ketajaman dalam menganalis dan mencatat tentang sepak bola semakin terasah. Gus Dur hafal jati diri seorang pemain berikut nomor punggungnya. Ia juga mampu memahami spesialisasi taktik seorang pelatih sampai faktor internal dan eksternal sebuah kesebelasan.
Menurut Cak Nun di suatu hari, Gus Dur itu jarang masuk sekolah atau kuliah. Ketika di Mesir, Gus Dur jarang terlihat di kampus. Kalaupun ada di kampus, tidak berada di dalam kelas dan ikut pelajaran, tetapi ia berada di perpustakaan atau di luar kelas bermain sepak bola bersama teman-teman. Cak Nun memaparkan kegemaran Gus Dur terhadap sepak bola diam-diam tergambar dari peranan yang ia mainkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kata Cak Nun—dalam hal apa pun—Gus Dur ibarat seorang playmaker, si Jenderal lapangan tengah. Ia mendapuk dirinya di posisi sentral sebagai dirigen permainan. Mengatur alur dan ritme permainan. Menjadi otak serangan. Si pemberi umpan yang dinikmati para penyerang di negara ini maupun para murid-muridnya.
Sementara pada sosok Muhammad Quraish Shihab, kita tidak pernah menemukan tanda-tanda sebagai pencinta sepak bola. Karena sedari dulu, tulisan-tulisannya yang nonggol di media massa tidak ada yang menyinggung tentang olahraga sepak bola. Atau, barangkali kita belum pernah mendengar penuturan dari sumber mana pun, bahwa pengarang Tafsir Al-Misbah ini pencipta sepak bola. Sebagai anak ulama—yang ayahnya adalah seorang pengajar studi-studi Islam dan Guru Besar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Ujungpandang—Quraish tumbuh sebagai anak dewasa seperti biasa.
Sebagai anak yang tumbuh di lingkungan yang kental dengan pendidikan agama, ternyata darah mudanya juga mengalir jiwa fanatisme. Siapa yang menduga Quraish Shihab penggemar setia Los Blancos, Real Madrid.
Ulama kelahiran tanah Bugis ini merupakan salah satu penggila Real Madrid. Pengakuan ini ia tulis dalam buku teranyarnya yang berjudul Cahaya, Cinta, dan Canda M Quraish Shihab (2015) terbitan Lentera hati.
Quraish Shihab yang kecilnya hidup di Makassar, di tanah Bugis, sejatinya telah memiliki kecintaan terhadap permainan sebelas lawan sebelas ini. Meski kita mengenalnya sebagai Ahli Tafsir—berbicara tentang tema ke-Islam-an ini—adalah sosok yang mengidolakan Alfredo de Stefano dan Klub Real Madrid. Ketika sedang study di negara Piramida, ia pernah menyisihkan uang tabungannya demi menyaksikan tim jagongannya ketika tandang ke Mesir.
Di penghujung 1950-an—ketika sedang menempuh pendidikan di luar negeri—Quraish dan Alwi Shihab sedang berbunga-bunga hatinya. Ia bakal menyaksikan permainan idolanya secara langsung, Alfredo Di Stefao, peraih Ballon d’Or tahun 1957 dan 1959 itu. Pasalnya, tim Real Madrid sedang melakukan uji coba dengan klub lokal Al Zamayek.
Sementara itu, Quraish Shihab, ketika masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, ia juga pernah bergabung dengan klub sepak bola Zamalek. Ia juga sering bermain bola bersama mahasiswa Indonesia lainnya, di antaranya adalah Abdullah Zarkasy (pemimpin Pondok Modern Gontor) dan Mustofa Bisri (petinggi NU).
Dilihat kecintaan dua tokoh nasional terhadap olahraga sepak bola ini, dapat direpresentasikan bahwa sepak bola telah melebur dalam kalangan mana pun.
Selengkapnya, klik di sini