Lokus sentimen keagamaan semakin laris di era disruptif. Perembesan pengetahuan dari banjir informasi keagamaan (religious information spill over) dinikmati oleh semua kalangan dengan konsekuensi-konsekuensi kekaburan ajaran. Kebutaan terhadap lembaga yang memiliki wewenang otoritas sumber keagamaan di internet mulanya bukan perkara serius sebelum maraknya hoaks, hate speech, hate spin, dan fitnah yang membarengi gegap-gempita kemelut tekstur agama dewasa ini.
Media daring yang sebelumnya bergerak dalam penggalian sumber dan informasi keagamaan, lantas menjarah isu sentimen keagamaan. Dalam banyak kasus, sentimen itu menyasar pada ajaran dan ulama. Ajaran agama sering dipakai untuk menghakimi dan mereduksi arti kemanusiaan. Sedangkan di sisi lain, banyak ulama lalu dipotret sebagai pihak yang terzalimi dan secara bersamaan sebagai objek penistaan, fitnah secara tercela. Kasus demikian ditimpa pula oleh beliau, KH Maimun Zubair (Mbah Moen) Allahu yarham beberapa minggu silam.
Para ulama mungkin bisa menerima dan berlapang dada. Tapi yang jadi pertanyaan adalah bagaimanakah sentimen keagamaan disasarkan kepada saudara sesama muslim? (bukan pula berarti harus disasarkan kepada non-muslim) dan apakah sentimen ini tidak bisa disudahi?
Konteks disruptif banyak menggeser dan mengaburkan pemahaman pengetahuan keislaman dari usaha meleburkan ajaran agama ke dalam realitas sosial. Seperti mengaitkan konteks keagamaan kini dengan Perang Badar, menyebutnya sebagai penyusup, bahkan yang masih lekat di ingatan saya adalah narasi politik di ruang sosial yang digambarkan dengan hizb allah dan hizb syaithon, hingga NKRI Bersyariah.
Narasi seperti itu sangat lugas dan masif di media daring. Era disruptif yang membuat pudar bentuk-bentuk otoritas keagamaan (tradisional) bersamaan dengan rasionalitas yang kemudian menghasilkan pergeseran dalam cara masyarakat mengambil arti kehidupan, menjadi lahan subur oleh apa yang disebut Bassam Tibi sebagai ‘kebangkitan iman’ kaum konservatif. Selain kedua hal itu, faktor lain yang mendukung kuat conservative turn ialah hilangnya kepakaran.
Fenomena Islam politik memang berkembang beriringan dengan perubahan-perubahan sosial yang berlangsung cepat yang digerakkan proses modernisasi. Kekuatan dan bentuk mediasi elektronik antara lingkungan spasial dan virtual, mengikis secara terus-menerus hubungan sosial. Lantas, paham transnasionalisme Islam yang hirarkis dan fanatik merembes dalam kekuatan mereka di jejaring virtual.
Narasi sentimental seperti itu tentu sangat merugikan keutuhan bangsa. Sangat disayangkan pula apabila mereka mencoba membangun generasi melalui pendirian sekolah SD IT misalnya, berniat membangun peradaban melalui konsep pious generation tapi kedewasaan bersikap dalam berbangsa dan bernegara masih miris, bahkan menyedihkan.
Karena itu, pergumulan agama dan masyarakat yang diartikulasikan oleh golongan Islam politik kerapkali berwajah rigid dan kaku. Personifikasi agama sebagai “gandolan” atau sistem norma dan nilai kehidupan ingin sepenuhnya dipaksakan sebagai way of life masyarakat.
Hal ini diperkuat oleh peleburan ajaran agama terhadap realitas sosial yang hanya berhenti di lingkaran identitas serta kepentingan mazhab masing-masing. Niatnya berjalan beriringan, tapi nyatanya saling sikut-sikutan. Secara sosiologis, identitas agama mematok sikap keberagamaan seseorang, kepada yang seiman pun demikian. Namun, sikap tersebut lebih tepat jika disebut sebagai keyakinan utopis belaka.
Islam populer dengan kegandrungannya terhadap gejala Arabisasi kian digandrungi ketika perkawinan agama dan modernitas melahirkan komunitas keagamaan dari kalangan kelas menengah muslim baru (new muslim middle class).
Pada umumnya, perkembangan di antara keduanya sangat cepat, dikarenakan dua faktor, pertama, kecenderungan model beragama secara instan. Kedua, beragama dan bersahabat dengan materialisme, dalam bahasa Gwenael Njoto-Feillard (2017) mereka disebut pious materialism.
Kedua perilaku itu berbeda berdasarkan otensitas keislaman yang berorientasi hablum minallah dan hablum mina an-nass. Adanya pendekatan untuk transformasi ajaran demi mewujudkan kemaslahatan bersama tidak kesalehan simbolik belaka.
Masdar Farid Mas’udi (2004) beranggapan dalam upaya membentuk muslim kaffah butuh pemahaman terhadap syariat alias hukum Islam yang komprehensif.
Dari hal ini, Islamisme sudah tereliminasi. Setelah gerakan struktural gagal, kini mereka mamakai pendekatan kultural; pos-islamisme, melalui lifestyle dan media yang masih tetap berpegang pada Alquran dan sunah.
Pada akhirnya, nuansa keberagamaan harus diperjelas dengan peninjauan kembali terhadap nilai-nilai keindonesiaan yang kini mulai meredup. Nantinya, peninjauan ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi keberagamaan dan keindonesiaan serta mentransformasikan nilai eksklusifitas ayat Alquran dan ataupun syariat Islam menjadi nilai yang inklusif.
Wallahu a’lam.