Baru-baru ini di media sosial ramai membahas pembatalan acara sekelompok orang di Yogyakarta. Kelompok yang kecewa ini menumpahkan kekesalan di media sosial disertai dalil-dalil bahwa masjid adalah rumah Allah. Tidak semestinya kegiatan pengajian yang membawa misi tauhid dihalang-halangi.
Sementara itu, pihak yang diduga menghalangi memberi penjelasan bahwa kegiatan pengorganisasian massa tersebut tidak mendapat izin karena mempertimbangkan berbagai hal. Jika sekadar menggunakan masjid untuk rumah ibadah, tentu tidak pernah dihalang-halangi. Namun untuk memobilisasi massa untuk kepentingan tertentu, akan lain ceritanya.
Para pendukung acara tersebut menganggap bahwa upaya ‘pemilik’ masjid sebagai bagian dari cobaan dan tantangan yang harus dihadapi umat Islam. Sudah semestinya umat Islam semakin bersatu dalam menghadapi berbagai tantangan dakwah.
Di sisi lain, orang menilai agenda yang dilakukan oleh kelompok tersebut sebagai playing victim. Sudah tidak diberi izin, ngeyel, kemudian tetap dilarang, malah merasa terzalimi.
Kelompok semacam ini selalu membawa stempel Islam sebagai senjata untuk menarik simpati. Seolah-olah pihak yang berbeda nilai sebagai orang yang bukan Islam. Bukan rahasia apabila kelompok muslim di Indonesia begitu banyak jumlahnya. Rata-rata setiap kelompok memiliki masjid yang dikelola dari hasil iuran jemaahnya. Misalnya ada masjid yang dikelola oleh ormas Muhammadiyah. Ada pula yang dikelola oleh ormas NU. Ada pula LDII, SI, JmI, dan lain sebagainya.
Lalu apakah mekanisme perizinan itu melanggar hukum Allah? Tentu tidak.
Setiap kelompok Islam memiliki value yang menjadi pedoman. Misalnya saja di masjid yang dikelola oleh Muhammadiyah, hampir dipastikan tidak akan ada tahlilan. Jika ada sekelompok orang NU yang tiba-tiba ‘membajak’ masjid tersebut untuk kegiatan tahlilan, wajar jika warga Muhammadiyah akan marah.
Begitu juga yang terjadi di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Masjid yang pada awalnya ingin dijadikan tempat berlangsungnya acara memiliki nilai yang berbeda. Wajar jika acara tersebut tidak direstui. Jika tetap ngeyel, berarti si tamu memang tengah memancing gemuruh dari kalangan pemiliknya.
Dalam keseharian kita seringkali mengabaikan berbagai kenyataan sosial. Masjid memang berfungsi sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah. Tetapi masjid bukanlah bangunan yang bebas nilai. Masjid berdiri karena ada sekelompok orang yang mendirikan. Para pendiri ini memiliki nilai dan aturan sosial yang tidak bisa diabaikan.
Sebagai contoh, masjid Nabawi dan masjid Haram adalah masjid suci umat Islam. Semua umat boleh untuk melakukan aktivitas ibadah di sana. Akan tetapi apakah kerajaan Arab Saudi akan tinggal diam apabila masjid yang suci itu digunakan oleh sekelompok orang sebagai medan orasi? Apakah pasal ‘masjid milik Allah’ akan berlaku apabila kerajaan Saudi melarang izin untuk melakukan ‘dakwah’ di sana?
Ya, semua hal di dunia ini milik Allah. Tetapi Allah menitipkan mekanisme pengelolaan sesuai dengan kultur yang berlaku di suatu tempat tersebut.
Wallahua’lam.