Pesan-pesan Ronggowarsito berdenyar-denyar hingga kini. Narasinya tentang zaman kacau, zaman edan, sangat relevan untuk melihat kebingungan orang-orang masa kini.
Raden Ngabehi Ronggowarsito lahir dengan nama kecil Raden Bagus Burhan. Beliau merupakan putra dari pasangan RM. Ngabehi Pajangsworo dan Nyai Ajeng Ronggowarsito. Raden Bagus Burhan lahir pada 14 Maret 1802, yang bertepatan dengan wafatnya kakek buyutnya, yakni Yasadipura I.
Raden Bagus Burhan tumbuh dalam keluarga yang mencintai ilmu. Ayahandanya, RM Ng. Pajangsworo, atau Ronggowarsito II, merupakan juru tulis kerajaan. Sedangkan, kakeknya, Sastronagoro (Ronggowarsito I) sebagai pujangga kerajaan yang masyhur. Darah pujangga juga mengalir dari kakek buyutnya, Yasadipura I yang merupakan pujangga besar pada masanya. Gelar Ronggowarsito III (Raden Ngabehi Ronggowarsito) diperoleh Raden Bagus Burhan dari Sang Raja, yang sesuai dengan jabatannya sebagai Kliwon Carik di Istana Surakarta. Sejak kecil, Raden Bagus Burhan mengaji kepada Kiai Hasan Besari, di pesantren Gebang Tinatar kawasan Ponorogo.
Dari jalur Ibu, Raden Bagus Burhan juga mengalir darah sastra yang kuat. Ibundanya masih keturunan Sujonopuro, yang dikenal sebagai Pangeran Karanggayam, pujangga Pajang. Karya berupa Serat Niti Suri, lahir dari kepiawan dan kedalaman ilmu Pangeran Karanggayam.
Darah sastra dan darah biru kerajan mengalir dalam diri Raden Ngabehi Ronggowarsito. Silsilahnya tersambung dengan kerajaan Majapahit (melalui Brawijaya dan Andayaningrat/putri Majapahit), kerajaan Demak (melalui Raden Teja putra Raden Patah), dan kerajaan Pajang (dari silsilah Pangeran Mas/Panembahan Raden putra Pangeran Benawa putra Sultan Hadiwijaya). Jelaslah tiga silsilah Raja besar di Tanah Jawa ini, menjadikan Raden Bagus Burhan memiliki persaudaraan yang luas.
Menurut catatan peneliti, Karnoko Parta Kusuma, karya-karya Ronggowarsito berjumlah lebih dari 50 karangan. Di antaranya: Serat Hidayat Jati, Serat Aji Pamasa, Serat Candrarini, Serat Cemporet, Serat Jaka Lodang, Serat Jayengbaya, Serat Kalathida, Serat Panitisastra, Serat Pandji Jayengbaya, Suluk Saloka Jiwa, Serat Paramayoga, dan beberapa karya lain.
Ronggowarsito menyampaikan nilai-nilai sufi dalam beberapa karya pentingnya: Serat Hidayat Jati, Suluk Jiwa (Suluk Saloka Jiwa), Serat Pamoring Kawulo Gusti, dan Suluk Lukma Lelana.
Suluk Saloka Jiwa, pernah diterbitkan oleh percetakan Albert Rusche di Surakarta, pada 1915. Suluk ini, mengisahkan tentang Tuhan Wisnu yang menyerupakan diri sebagai tokoh bernama Sulaiman. Ronggowarsito mengisahkan, tokoh Sulaiman berangkat ke Turki untuk mempelajari Tasawuf. Suluk ini membincang tentang ajaran ma’rifat para wali tentang wujud dan tentang awal penciptaan, serta tiga jenis istana. Suluk Saloka Jiwa, menyajikan nilai-nilai yang lebih detail dari Suluk Wirid Hidayat Jati, dengan bentul soal jawab dengan sekar macapat.
Serat Pamoring Kawulo Gusti, berkisah tentang zikir dan kontemplasi untuk meraih derajat hamba yang dekat dengan Allah SWT. Dalam serat ini, juga dijelaskan ajaran pokok dari Wirid Hidayat Jati. Bahwa, manusia tersusun atas tujuh martabat manusia: jasad (badan), budi (akal), nafsu (jiwa), ruh (suksma), sir (rahsa), nur, dan hayu (kehidupan).
Sedangkan, Suluk Sukma Lelana mengurai tentang budi pekerti yang luhur. Suluk ini, juga menceritakan tentang pengorbanan Imam Ali Zain al-Abidin Ibnu Husain. Dalam suluk ini, dikisahkan perjalanan seorang santri bernama Suluk Lelana. Tujuan perjalanan panjangnya, untuk berguru ilmu ilmu sangkan-paran (ketuhanan) kepada seorang guru kebathinan bernama Syekh Imam Suci di Arga Sinai. Kisah-kisah dalam suluk ini, mengguratkan perlambang perjalanan manusia menuju Tuhan.
Karya Raden Bagus yang monumental, Serat Hidayat Jati, merupakan saripati ilmu makrifat yang diajarkan para wali Jawa. Serat ini, dianggit dalam bentuk jarwa (prosa). Isinya meliputi, nilai-nilai penting: (1) upacara dan perlengkapan sajian yang harus diselenggarakan oleh guru yang akan mengajarkan ilmu mistik, (2) ajaran tentang Tuhan dan hubungan antara Dzat, sifat, asma dan af’al Tuhan, (3) Uraian tentang cita kesatuan antara manusia dengan Tuhan, (4) Jalan untuk mencapai penghayatan ghaib, (5) level penghayatan ghaib serta godaan-godaan yang menjadi tantangan, (6) penciptaan manusia dan hakikatnya, (7) nilai-nilai budi luhur.
Sebuah pesan penting dari Ronggowarsito, sampai kini masih sangat relevan: Amenangi jaman edan, yen tan melu anglakoni, boja kaduman melik, keliren wekasanipun, ndilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada (hidup di zaman edan, betapa susahnya, ikut edan tidak tahan, kalau tidak ikut tak kebagian, akhirnya bisa kelaparan, sudah kehendak Allah, betapa senang hidup menyimpang, lebih bahagia hidup dengan kesadaran dan kewaspadaan, Ronggowarsito, Serat Kalatidha). Ronggowarsito mengajarkan tentang kedalaman spiritual, dengan nilai-nilai khas tradisi Jawa yang menjadi referensinya (Munawir Aziz).
Bacaan Lanjutan:
Anjar Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi?, 1980.
Lilik Sofyan Achmad, Mengenali Ronggowarsito sebagai Filsuf, 2012.
Abdul Munir Mulkhan, Sufi Pinggiran: Menembus Batas-Batas, 2007.