Dalam jangka satu setengah dasawarsa terakhir ini rupanya perlahan mulai ada pergeseran semangat religius dari desa menuju dunia perkotaan. Di satu sisi perlu kita apresiasi. Namun di sisi yang lain, kita sebagai kaum muslim juga perlu melakukan introspeksi diri – untuk tidak mengatakan mengawasi mereka yang sedang mendadak religius.
Perubahan ini terbilang mencolok manakala kegiatan keagamaan di kota sangat kontras dengan aksi keagamaan di desa. Salah satu buktinya adalah hidupnya kegiatan masjid di kota bukan hanya pada bulan-bulan besar Islam. Mulai dari kegiatan remaja masjid, tadarrus, setoran hafalan al-Quran, pengajian mingguan hingga bulanan semua ada dan berjalan rapi. Pesertanya juga beragam, bukan hanya dimonopoli oleh mereka yang berusia lanjut, melainkan orang-orang berusia produktif. Bukan hanya disimak oleh mereka yang menduduki strata sosial menengah kebawah, melainkan para pegawai kantor hingga para pejabat eselon. Intinya antusias itu sekarang tengah digandrungi oleh penduduk kota.
Berbeda degan keadaan di desa, masjid yang cenderung sepi dari aktifitas keagamaan seringkali didatangi hanya saat melakukan shalat berjamaah. Tadarus dan pengajian rutinan massif dilakukan hanya dibulan besar Islam. Bahkan yang mau hadir ke masjid adalah mereka yang tidak lagi berusia produktif. Terlebih jika diminta sumbangan demi berlangsungnya kegiatan keagamaan.
Lantas apakah yang melatarbelakangi adalah faktor ekonomi? Ternyata tidak juga! Tetangga kampung saya (sengaja tidak disebut) hampir rata-rata adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tentu secara ekonomi “lebih sejahtera”. Namun lagi-lagi kesadaran beragamanya berbanding terbalik dengan pekerja kota. Jadi pada poin ini, ekonomi bukan menjadi faktor utama dalam kesadaran beragama.
Di sisi lain kita juga perlu mengawasi dan mengawal model keberagamaan orang-orang kota. Sebab semangat yang tinggi tanpa diimbangi dengan pendalaman kajian keislaman juga akan berakibat fatal. Dampak utamanya (dan sudah terbukti) adalah memonopoli kebenaran sesuai dengan apa yang dipahami, bukan lagi kebenaran yang dimaksud oleh agama itu sendiri.
Berbicara masalah agama sejatinya sedang membicarakan interpretasi atas agama. Sifat agama selalu menyuarakan absolute truth, tapi interpretasi tidak. Pada level berikutnya, harusnya tidak ada yang berhak menjustifikasi atas sikap keberagamaan kelompok tententu. Standarisasi truth value yang disampaikan kelompok tertentu justru sering memunculkan konflik. Hal ini disebabkan terlalu gegabah dalam mengartikulasikan konsep kebenaran (salvation) sesuai kelompoknya. Jika memang Islam lahir sebagai agama pembawa rahmat, seharusnya semakin tinggi tingkat keberagamaan seseorang dalam Islam, semakin tinggi pula sikap moderat dan tidak cenderung menyalahkan.
Di masa Nabi saw pernah terjadi perbedaan dikalangan sahabat terutama dalam model bacaan al-Quran. Menyikapi konflik tersebut, Nabi saw cukup mengatakan bahwa al-Quran diturunkan dengan tujuh bacaan (inna hadza al-Qur’an nuzila ‘ala sab‘ati ahruf). Artinya apapun perbedaan dikalangan sahabat dalam menginterpretasikan paham agama merupakan perbedaan variatif bukan perbedaan kontradiktif. Lihat bagaimana sikap Nabi saw saat membenarkan semua praktek keagamaan dalam memanifestasikan hadis “La yushalliyanna ahadun al-‘ashra illa fi bani quraydzah”. Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali (setelah tiba) di Bani Quraydzah. Sebagian sahabat berpaku pada literal hadis sehingga meski waktu shalat ashar telah habis, tetap mereka lakukan ketika tiba di Bani Quraydzah. Sebagian sahabat yang lain memahami makna implisit hadis, sehingga mereka melaksanakan shalat ‘Ashar ditengah perjalanan kemudian melanjutkan lagi menuju Bani Quraydzah. Singkatnya, kejadian ini dilaporkan kepada Nabi dan beliau membenarkan semuanya.
Kita akan melihat sikap yang jauh berbeda saat melihat insan-insan yang gigih dalam mempertahankan dan menyuarakan kebenaran pada level eksternal dirinya. Klaim sesat, kafir, bunuh begitu akrab dalam panggung-panggung orasi. Padahal Nabi saw pernah bersabda “inni lam ub‘ats la‘‘anan, wainama bu‘itstu rahmatan” (aku tidak diutus – guna – melaknat, hanya saja aku diutus – dengan membawa – misi rahmat). Jadi jika Nabi pernah bersabda demikian, keislaman mereka merujuk ke siapa?
Dengan modal keyakinan atas fragmen-ilahy, mereka berani mengekspresikan dirinya sebagai pembawa misi keselamatan. Maka timbul upaya mulai dari persuasif sampai intimidatif untuk menyelamatkan orang lain yang sudah dianggap salah. Untuk permasalahan klaim ‘kafir’, pertanyaan yang sering saya ajukan adalah pernahkah Nabi saw mengklaim kafir terhadap umatnya yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat? Sejauh ini yang saya tahu, paling ‘banter’ Nabi saw mengatakan ‘munafiq’[?!].
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri