Belum sampai 40 hari berlalu meninggalnya K.H Maimoen Zubair, sang ulama’ yang diakui secara luas mengusai ilmu agama, Indonesia kehilangan salah satu ulama’nya kembali. Yaitu Prof. Baharuddin Jusuf Habibi, seorang ulama’ atau dalam masyarakat jawa disebut kiai, yang diakui secara luas kealimannya dalam bidang ilmu teknik penerbangan. Beliau meninggal pada jam 18.05 petang di RSPAD Gatot Subroto. Beliau menorehkan sejarah bahwa Indonesia tidak hanya memiliki cerdik pandai dalam bidang ilmu agama, tapi juga dalam ilmu teknik penerbangan.
Ulama’ merupakan serapan dari kata Bahasa arab (علماء) yang merupakan bentuk jama’ dari kata عالم \ alim, yang berarti sosok yang pandai. Dalam ilmu Bahasa, kosakata alim tidak hanya diperuntukan orang yang pandai dalam ilmu agama saja. Maka setiap orang yang ahli dalam bidang tertentu pun dapat disebut alim. Meski bidang itu bukan bidang agama.
Hanya saja, umat muslim yang sebagian besar perhatiannya ada pada teks keagamaan, mempelajari bahwa istilah alim adalah seorang pandai dalam ilmu agama. Inilah yang kemudian menyebabkan sosok yang ahli dalam bidang ilmu non agama dipandang tidak pantas disebut alim. Lebih parah lagi, dengan gempuran trend semua harus serba islam serta syariah, ilmu-ilmu non agama terkesan dikucilkan. Inilah yang penulis kira mengenai salah satu ulama’ kita, yaitu Prof. Dr. Bacharuddin Jusuf habibie.
Sebelum beliau meninggal, muncul pesan berantai lewat whatsap yang membentuk narasi yang menunjukkan penyesalan mengapa beliau memilih menghabiskan waktunya untuk mempelajari ilmu non agama. Dinyatakan bahwa B.J. Habibi berkata: “Saya diberi kenikmatan oleh Allah ilmu dan teknologi sehingga saya bisa membuat pesawat terbang, tapi sekarang saya tahu bahwa ilmu agama lebih bermanfaat untuk umat Islam, kalau saya disuruh milih antara keduanya maka saya akan memilih ilmu agama”.
Kemudian setelahnya disertakan ungkapan panjang yang seakan menunjukkan kesedihan beliau di masa-masa akhir hidup beliau. Dimana, beliau seakan mengalami kesengsaraan berkepanjangan sebab menghabiskan waktu tidak untuk mempelajari ilmu agama.
Padahal, menurut pengakuan Ustad Zulfi Akmal; seorang pelajar yang tinggal di Mesir dan menyaksikan tatkala B.J. Habibi diwawancarai di Universitas al-Azhar dan menjadi sumber pesan yang viral di atas, yang beliau maksudkan bukanlah seperti itu. Zulfi Akmal menyatakan dalam Akun Facebooknya:
Alhamdulillah, ketika Bapak Habibie menyampaikan pidatonya itu di Al Azhar Conference Center saya ikut hadir. Cuma seingat saya beliau tidak mengatakan seperti itu. Yang selalu saya ingat dan terngiang dari ungkapan beliau bunyinya seperti ini: “Andaikan Allah memberi saya pilihan antara kecerdasan intelektual dan spiritual, saya akan memilih kecerdasan spiritual. Tapi bila Allah berkenan memberikan keduanya, saya minta kedua-duanya. Dan Alhamdulillah, Allah mengaruniakan keduanya kepada saya”.
Merujuk keterangan salah satu tokoh Islam terkemuka; Imam Al-Ghazali, ilmu memang dibagi menjadi dua. Ilmu syariat dan non syariat. Tapi bukan berarti ilmu non syariat bukan sesuatu yang tidak penting dengan ditandai kata “non” di depannya. Ilmu non syariat ada yang masuk kategori fardu kifayah. Artinya kewajiban yang harus dijalankan, namun tidak untuk setiap individu. Kalau memang tidak penting, kenapa diwajibkan?
Gaung slogan semua harus serba Islam dan syariah lah yang mendorong narasi seperti ini muncul. Hal ini mendorong tidak dihargainya ilmuan-ilmuan non agama. Padahal, tidak setiap ilmuan yang ahli dalam bidang non agama juga tak ahli dalam bidang ilmu agama. Juga sebaliknya. Seperti ar-Razi sosok ahli tafsir yang dinyatakan juga ahli dalam bidang ilmu bangunan. Juga Imam ibn Rusyd; ahli Fiqh yang juga ahli dalam bidang filsafat.
Ilmuan-ilmuan Islam dalam bidang sains di masa lampau ditengarai tidak lepas dari ilmu agama. Bahkan semangat untuk mempelajari ciptaan Allah lah yang ditengarai kemudian menghantarkan mereka memiliki dalam bidang-bidang ilmu alam. Selain itu, dapat dibayangkan bagaimana kita bisa menyembah Allah dengan lancar tanpa cerdik pandai dalam ilmu kain untuk menutup aurat, atau cerdik pandai dalam ilmu penerbangan sebagai salah satu jalan kelancaran menunaikan ibadah haji.
Yang seharusnya di hindari bukanlah masalah syariat dan non syariat, tapi adalah yang tak bermanfaat sama sekali terhadap keberlangsungan hidup umat manusia dalam menyembah Allah ta’ala. Yaitu orang-orang berjubah agama dan berbicara serba Bahasa arab, namun miskin ilmu keislaman. Mereka menganggap bahwa yang benar adalah yang secara eksplisit mencantumkan kata Islam maupun syariah. Mereka tidaklah sekedar orang yang tersesat, tapi juga menyesatkan umat Islam.
Selamat melanjutkan perjalanan ke haribaan Allah, K.H. B.J Habibie. Semoga semangat serta jiwa pemberontakmu dapat diwarisi anak bangsa ini. Semangat seorang muslim dalam ilmu dunia serta akhirat.