Dalam kontestasi politik, media sosial dianggap punya peran cukup besar dalam mendulang suara, terutama suara pemilih mengambang. Akibatnya, media sosial menjadi ajang “pertempuran” yang riuh. Bahkan lebih riuh dari realitas yang kita jalani. Dalam keriuhan itu, sayangnya, minim sekali percakapan yang produktif. Terasa lebih banyak percakapan bernuansa caci maki, saling mengunggulkan jago masing-masih sambil terang-terangan menjatuhkan lawan.
Hari-hari ke depan, selain media sosial, grup-grup percakapan sepertinya akan lebih ramai dari biasanya. Tidak bisa dicegah seseorang membagikan pandangannya di grup-grup tersebut. Lazim juga kita temukan setiap pagi orang-orang membagikan kata-kata mutiara, gambar-gambar lucu, nukilan ceramah dan lain-lain di grup-grup WA. Ada yang berlandaskan niat serius, ada yang hanya iseng belaka.
Belakangan, konten yang sering dibagikan di grup-grup WA bergeser ke tema-tema politik. Entah karena salah satu anggota sedang menjadi bagian dari tim sukses, atau hanya karena ingin sekadar meramaikan grup. Beberapa orang bahkan tampak menjadi pengamat politik dadakan. Memberi analisis panjang lebar, tapi kadang menyampaikan dukungan pada salah satu paslon dengan menggebu-gebu.
Seseorang keluar masuk grup WA mungkin akan jadi pemandangan biasa akhir-akhir ini. Keluar dari grup WA dengan alasan tidak nyaman lalu dengan sendirinya keluar, atau karena ia menjadi orang yang paling berbeda pendapat di grup. Seorang kawan dosen pernah bercerita tentang fenomena keluar-masuk WA ini. Ia menjumpai seorang dosen yang pro capres X di sebuah grup dosen sering menjadi “korban pengeroyokan” oknum-oknum anti capres X. Ia lalu di keluarkan dari grup. Lain hari ia masuk lagi, bersuara lantang lagi, dikeluarkan lagi. Dosen lain, yang tidak tahan bising obrolan politik, mohon diri keluar grup untuk sementara. Grup WA menjadi retak dan rawan.
Saya kira, menahan diri adalah kunci. Mengendalikan jempol adalah solusi. Mesti dipahami bahwa grup-grup WA (misalnya grup WA keluarga dan alumni) adalah ruang yang heterogen. Boleh jadi di dalam grup tersebut ada anggota yang berbeda pandangan politiknya. Harus dipikirkan masak-masak apakah yang kita bagikan itu akan menyinggung perasaan anggota grup atau tidak. Jika asal membagikan, salah-salah justru merusak harmoni dalam grup dan berujung retaknya persaudaraan dan silaturahmi.
Jangan sampai jempol kita bergerak lebih cepat dari otak dan hati kita. Artinya, setiap ingin membagikan sesuatu wajib dipikirkan dua tiga kali terlebih dahulu. Harus ditimbang-timbang dengan matang, tidak asal “salin” dan “tempel”. Kita tentu tak ingin menyesal dan merasa bersalah setelah membagikan sesuatu tanpa pikir panjang. Sayangnya, fenomena asal membagikan ini begitu marak belakangan ini.
Jempolmu harimaumu, ungkapan itu sudah sering kita dengar. Menggantikan ungkapan mulutmu harimaumu. Jika tidak berhati-hati, jempol justru yang akan menjerumuskan kita. Tidak sedikit pula yang karena salah menggunakan jempol berujung bui. Meski UU ITE sampai sekarang masih terus mengundang perdebatan, fakta menunjukkan penghuni penjara karena jempol yang “gatal dan nakal” terus bertambah.
Agama mengajarkan jika tidak bisa bicara baik dan bermanfaat, sebaiknya diam. Ajaran tersebut, jika kita tarik pada konteks sekarang menjadi: jika bukan informasi yang baik dan berguna, sebaiknya tidak kita bagikan di media sosial dan grup-grup percakapan. Baik di sini tentu bukan hanya kontennya, tapi mesti juga dipikirkan dampaknya. Orang kerap abai pada dampak atau efek dari apa-apa yang mereka bagikan.
Seruan untuk mengendalikan jempol sebetulnya adalah seruan usang. Tapi masih banyak saja kita temukan orang-orang yang bernafsu ingin mengubah Indonesia, dan bahkan dunia, hanya dengan modal jempol. Jumlah mereka tidak sedikit. Mereka bisa membentuk satu sekte. Sekte penyembah jempol!
Terakhir, kita perlu merenungkan kutipan Germany Kent ini: jika Anda menggunakan media sosial, dan tidak belajar darinya, tidak tertawa, tidak terinspirasi, ataupun tidak berjejaring, maka Anda salah menggunakannya.