
Dalam beberapa tahun terakhir, feminisme telah menjadi gerakan yang masif dan makin populer. Pasalnya, gerakan ini hadir ketika dunia telah lama mengubur jauh dalam-dalam suara perempuan; dengan adanya gerakan ini para perempuan merasa telah mendapatkan payung perlindungan untuk melantangkan suaranya.
Secara masif feminisme berusaha mengakhiri dominasi budaya patriarki dengan mempejuangkan kesetaraan, memutus rantai tali diskriminasi yang berbasis gender, dan menyuarakan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh perempuan.
Hal ini kemudian menjadikan feminisme mendapat banyak perhatian secara global, bahkan banyak para perempuan berteriak secara lantang menamakan dirinya “Aku seorang Feminis” atau dalam mengungkapkan segala argumentasinya selalu diawali dengan “sebagai seorang feminis…”.
Perlu diketahui gagasan feminisme pertama kali muncul pada akhir abad ke-18 didunia barat. Pada zaman ini biasa disebut dengan feminisme gelombang pertama sebagai respon terhadap pandangan tradisonal yang memposisikan perempuan sebagai makhluk kelas dua.
Mary Wolstonecraft dalam bukunya berjudul A Vindication of The Rights of Woman yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1792 membawa narasi bahwa perempuan memliki potensi yang sama besarnya dengan laki-laki dalam arti perempuan memiliki hak yang sama berkenaan dengan pendidikan, ekonomi, sosial-politik, bahkan hingga jauh didalam relasi berumah tangga.
Pada tahun 1960an gerakan feminisme didominasi oleh narasi yang berkaitan dengan berbagai hak reproduksi perempuan, kesetaraan dalam dunia kerja, dan upaya dalam membangun kesadaran masyarakat.
The Feminine Mystique mengambil peran krusial dengan menyatakan bahwa kebebasan reproduksi perempuan merupakan bagiaan dari HAM.
Kemudian, pada dekade 90an fokus daripada feminisme gelombang ini beralih pada perempuan kulit hitam; dalam artian menguniversalkan gerakan feminis adalah milik semua perempuan, karena pada gelombang sebelumnya hanya berputar pada isu yang dialami oleh perempuan kulit putih; mengingat pada saat yang bersamaan orang kulit hitam mengalami ketertindasan akibat perbudakan.
Becoming the 3rd Wave esai tulisan Rebecca Walker menjadi tonggak awal feminisme gelombang ketiga dengan mengekspos diskriminasi yang dialami oleh perempuan kulit hitam.
Dewasa ini, feminisme yang berkembang pesat di barat mulai banyak diminati oleh para perempuan, bahkan pengaruhnya sampai pada para perempuan di Indonesia. Pengaruh feminisme ini mulai merajai media sosial, mulai dari Instagram, Tik Tok, hingga Twitter.
Hal ini dipengaruhi mulai banyak para influencer yang menyuarakan dengan lantang bahwa dirinya adalah seorang feminis.
Seperti halnya Cinta Laura yang secara tegas menyatakan dirinya sebagai seorang feminis, kemudian Prilly Latuconsina yang belakangan ramai akibat statement yang ia berikan terkait perempuan independent dan laki-laki mapan, dan beberapa public figure lain yang melakukan hal yang sama.
Hal ini menyebabkan penamaan diri sebagai seorang feminis menjadi tren yang digemari para perempuan hari ini. Bahkan, tidak jarang para muslimah juga melakukan hal yang sama.
Tidak dapat dipungkiri, memang gerakan feminis juga memberikan tren postif terhadap suara perempuan agar lebih didengar. Namun, apakah kamu tahu, apa yang lebih indah dari feminisme? Ya, Islam. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW telah turun sejak 1400an tahun yang lalu, sudah barang pasti Islam datang jauh sebelum Feminisme mencuat di barat.
Pada masa itu, ajaran Islam telah berhasil membuat perubahan yang revolusioner dikalangan masyarakat Arab.
Seperti halnya pemberian warisan terhadap perempuan yang pada masa sebelumnya perempuan menjadi benda yang diwariskan. Kemudian suara perempuan yang sangat didengar, seperti halnya kasus Haulah Binti Tsa’labah yang menuntut keadilan kepada Nabi Muhammad akibat dzihar yang dilakukan suaminya, yang pada akhirnya menjadi Asbab al-Nuzul surat al-Mujadalah ayat 1-2.
Lalu, peran perempuan dalam masyarakat seperti ibunda Aisyah yang menjadi guru daripada para sahabat, juga Nusaibah Binti Ka’ab seorang prajurit yang berperan penting melindungi Rasulullah dalam perang uhud. Namun, yang menjadi pertanyaan hari ini mengapa semua itu seolah-olah tertutup? bahkan tak jarang tuduhan Misoginistik dilayangkan terhadap Islam dan mengapa seseorang harus mengakus sebagai feminis, saat memperjuangkan hak perempuan?
Padahal Islam tidak pernah menafikan peran perempuan. Bukankah sudah jelas dalam surat al-Nisa’ ayat 1 yang menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki berasal dari satu esensi yang sama, sehingga tuhan melihat perempuan dan laki-laki sebagai seorang manusia.
Lebih lanjut dalam surat al-Hujurat ayat 13, Allah menyebutkan bahwa yang paling mulia disisinya adalah orang yang paling bertaqwa. Sehingga tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan di mata tuhan kecuali ketakwaannya. Bukankah ini yang dimaksud dengan pondasi daripada keadilan gender?
Berkaitan dengan tuduhan misoginsitik, memang dapat terjadi ketika mengkaji al-Qur’an dan Hadis secara tekstual dan mengaitkannya dengan kondisi sosial hari in yang jauh berbeda dengan masa awal turunnya al-Quran tentu hal ini akan menimbulkan persoalan.
Farid Esack dalam bukunya “Quran, Liberation, and Pluralism an Islamic Perspective of Interreligous Solidarity Against Oppression” menyatakan bahwa al-Quran tidak akan pernah dapat dilepaskan dengan konteks historis yang mengitarinya.
Sehingga, dalam melakukan interpretasi terhadap al-Quran kondisi sosial seharusnya menjadi pertimbangan krusial. Berkaitan dengan perjuangan hak-hak perempuan, KH. Faqihuddin Abdul Qadir dalam bukunya “Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam” menyatakan bahwa Islam hadir untuk perempuan dan laki-laki, kemudian prinsip diantara keduanya bukanlah hegemoni dan kekuasaan melainkan kerjasama dan kesalingan, dan dalam melakukan penafsiran terhadap al-Quran mengandung dua prinsip sebelumnya.
Pada hakikatnya, Islam tidak pernah menyudutkan salah satu diantara laki-laki atau perempuan.
Hanya saja, sebagai seorang muslim perlu dipahami bahwa Islam adalah ajaran yang terbebas dari ruang dan waktu, al-Quran dan Hadis dapat digunakan untuk menjawab segala persoalan. Namun, teks baik al-Quran maupun Hadis tidak pernah lepas dari kondisi sosial yang berada di sekelilingnya. Jika penafsiran dilakukan hanya secara tekstual dengan tanpa memperhatikan konteks saat ini, tentu tuduhan misoginis sangat mudah dilayangkan.
Padahal, sudah jelas dalam al-Quran surah al-Anbiya’ ayat 107 “wa ma arsalnaaka illa rahmatan li al-‘alamin” bahwa Allah mengutus nabi sebagai rahmat bagi seluruh semesta alam, bukan rahmat bagi salah satu diantara laki-laki atau perempuan.
Lantas apakah masih diperlukan menggandeng nama feminis untuk menyuarakan keadilan gender? Tentu tidak.
Islam sejak awal diturunkan sudah membawa misi keadilan bagi seluruh mahluk termasuk manusia bukan hanya salah satu diantara laki-laki atau perempuan.
Dalam Islam, perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban sesuai perannya masing-masing. Ajaran Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin sudah mengandung prinsip keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
Sehingga, ketergantungan terhadap feminisme yang baru muncul pada akhir abad ke-18 tidak perlu dilakukan, karena Islam telah membawa prinsip keadilan yang lebih komperhensif bukan lagi persoalan hegemoni akan tetapi kerja sama dan kesalingan.