Di malam mistis itu Nabi Muhammad SAW menempuh perjalanan menuju langit ketujuh. Isra’ dan Mi’raj namanya. Salah satu hal paling menarik—sekaligus paling misterius— dari kisah perjalanan Nabi ke langit ke tujuh adalah soal tunggangannya yang bernama Buraq. Sayangnya (atau untungnya?) informasi mengenai bentuk dan rupa buraq ini sangat sedikit. Kitab suci dan hadis tak banyak bicara mengenainya. Kata-kata Nabi yang terkenal hanya terbatas: “Aku diberi buraq, dia hewan tunggangan yang berwarna putih lebih besar dari keledai tapi lebih kecil dari bighal yang satu tanduknya terdapat dipucuk kepalanya.”.
Satu hal yang jelas disebut cuma: tunggangan itu berjalan laksana kilat. Buraq sendiri secara harfiah berarti kilat Dalam kisah isra mi’raj memang digambarkan perjalanan itu secepat kilat, bahkan lebih. Bayangkan, jarak Masjidil Haram, Mekkah, ke Masjid Aqsa, Yerusalem ditambah perjalanan ke Sidrat al-Muntaha di langit lapis tujuh hanya ditempuh dalam waktu satu malam: pergi dan pulang. Dengan begitu, buraq pasti sesuatu yang lajunya sedemikian cepat, lebih dari kecepatan cahaya.
Sedikitnya informasi ini membuka peluang ragam tafsir mengenainya. Salah satu yang terkenal adalah bahwa makhluk ini punya dua sayap.
Para seniman Islam di masa lalu kemudian mekukiskan buraq sebagai binatang berkaki empat, berkepala manusia, (perempuan), berparas cantik. Gambaran mengenai hewan mistis ini kemudian banyak dijumpai dalam ilustrasi-ilustrasi buku terutama di Persia abad pertengahan, kemudian beredar pula di Hindia dan Asia Tenggara.
Kendati di kalangan sebagian muslim penggambaran figur bukan sesuatu yang terpuji–bahkan cenderung terlarang, gambaran mengenai buraq ini banyak sekali bisa kita jumpai.
Di Nusantara, jika Anda berziarah ke makam-makam wali, gambar buraq yang dilukiskan sebagai sosok seekor kuda dengan kedua sayap dan wajah perempuan yang cantik ini banyak sekali dijajakan bersama lukisan wajah para wali. Di banyak rumah kaum muslim kita juga kadang bisa menjumpai gambar buraq ini tepajang di dinding berdampingan dengan gambar Ka’bah, Masjid al-Haram, atau tokoh-tokoh wali penyebar agama Islam di Jawa. Dalam masyarakat Islam kebanyakan, buraq, adalah ikon perjalanan suci Kanjeng Nabi tersebut.
Tidak hanya itu, di belahan nusantara lain, tepatnya di Padang Pariaman, sosok buraq ini muncul di perayaan tabuik dalam bentuk boneka kuda besar berparas perempuan setinggi lebih dari 10 meter. Perayaan tabuik merupakan festival keagamaan untuk memperingati peristiwa Karbala atau pembantaian cucu Nabi Muhammad, Hussein bin Ali. Konon, dalam peristiwa itu, Buraq muncul menjemput ruh Sayyidina Hussein yang secara keji dibunuh tentara Yazid.
Resonansi tunggangan ajaib Kanjeng Nabi ini tidak hanya berhenti pada cucunya itu. Di Jawa kita juga mengenal jaran sembrani, kuda bersayap yang bisa terbang.
Menurut cerita tutur, Sultan Agung–Raja Mataram Islam abad 17–mempunyai jaran sembrani yang kerap membawanya ke Mekah untuk salat Jumat. Hewan sejenis kuda yang punya sayap dan bisa terbang ini memang bisa dijumpai di banyak kebudayaan. Gambaran kuda bersayap seperti pegassus ini muncul di kebudayaan Asyiria, Yunani, Eurasia, hingga Asia Tenggara.
Nasib lukisan figuratif memang tidak selalu baik dalam perjalanan kebudayaan masyarakat Islam, terutama di kalangan sunni. Ide-ide anikonisme atau bahkan ikonoklasme, yakni penolakan (bahkan penghnacuran) terhadap gambar, ikon, atau patung yang menyerupai makhluk hidup cukup kuat menancap sejak fajar kelahiran Islam. Jangankan gambar-gambar imajinatif atau gambar orang suci seperti nabi dan sahabatnya, sekadar gambar burung atau unta saja sudah tidak diharapkan.
Hal seperti ini dilandasi dengan pijakan hukum keagamaan berdarakan teks ajaran agama yang melarang penggambaran figur atau makhluk hidup. Misalnya cerita tentang Malaikat Jibril yang enggan masuk ke rumah yang penuh lukisan mahkluk atau hadis yang mengatakan bahwa para perupa adalah orang-orang yang partama dihukum kelak di akhirat karena telah bertingkah seperti Sang Pencipta.
Sejarah Islam awal memang banyak dihinggapi ikonofobia dalam arti sangat menghindari representasi makhluk hidup dalam seni lukis – tradisi intelektual Islam abad ke-8 juga cukup tegas mendukung sikap ini. Kendati begitu, keengganan pada gambar figuratif itu tidak selalu diiikuti dengan upaya menghancurkan gambar makhluk hidup dalam seni mereka sendiri atau dalam seni orang lain.
Sejarah mencatat, hanya Khalifah Yazid ibn ‘Abd al-Malik yang mengeluarkan perintah untuk menghancurkan patung dan gambar-gambar makhluk hidup di wilayah kekhilafahannya. Selebihnya, sulit menjumpai skala penghancuran gambar dan patung yang sesistematis era Yazid II ini.
Era-era berikutnya tetap ditandai dengan keragaman imajinasi para senimian muslim dalam menggambarkan ciptaan Tuhan. Jika keegganan relijius mengenai gambar figuratif ini tetap kuat, hal yang berkembang di kalangan seniman muslim adalah melakukan transformasi tanpa sepenuhnya melenyapkan bentuk.
Ujungnya, lahir representasi objek hidup yang berbeda dengan karya seni figuratif (terutama lukisan dan patung), yang serupa dengan makhluk ciptaan Tuhan. Buku atau kitab-kitab kuno dari era Islam abad pertengahan banyak sekali dihiasi dengan gambar-gambar mahkluk hidup.
Gambar buraq yang—bersama gambar para wali— hingga kini masih banyak menghiasi rumah-rumah keluarga muslim di Indonesia ini menunjukkan bahwa khasanah dan imajinasi masyarakat Islam tidak selalu dipenuhi kegentaran terhadap satu ajaran yang kaku. Hal itu juga menandai adanya keragaman tafsir dan perayaan imajinasi yang melampaui kekakuan teks-teks keagamaan.
Khazanah budaya Islam yang begitu kaya warna ini tentu saja terlalu sayang jika harus lenyap hanya karena takluk pada satu tafsir tunggal yang tidak imajinatif.