Ramadan telah berjalan beberapa hari, dan kita bersyukur diberi kesempatan untuk merasakan suasana dan semarak beribadah yang meningkat di tengah-tengah masyarakat muslim.
Salah satu hal yang jadi pembeda suasana Ramadan dengan bulan-bulan lainnya, tentu saja shalat Tarawih. Shalat tarawih dilakukan setiap hari di masjid-masjid terdekat secara berjamaah, baik delapan rakaat, dua puluh rakaat, atau barangkali jumlah lainnya.
Tarawih ini adalah bentuk plural (jama’) dari kata tarwihah, yang artinya istirahat. Shalat pada malam bulan Ramadan disebut tarawih, karena setiap dua rakaat seseorang akan beristirahat.
Kata tarawih ini juga dikatakan ulama berasal dari kata yatarawwah yang juga berarti istirahat. Kata ini pernah disebutkan Aisyah tentang cara shalat malam Nabi yang menyela tiap shalat dengan istirahat sejenak. Demikian kurang lebih sebagaimana dikutip KH. Ali Mustafa Yaqub dalam Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadan, tentang bahasan tarawih.
Perlu diketahui, ternyata tarawih secara berjamaah sebagaimana dilakukan sekarang ini bukan sesuatu yang pernah dilakukan oleh Nabi, lho. Oleh para ulama, shalat tarawih ini dinilai merupakan maksud sabda Rasul tentang menghidupkan malam Ramadan (qiyam ramadlan):
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa bangun (shalat malam) di bulan Ramadan dengan iman dan ihtisab, maka diampuni baginya dosa-dosa yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi telah menganjurkan umat muslim untuk menghidupkan malam-malam di bulan Ramadan. Nah, dalam hadis lain, diriwayatkan tentang shalat Nabi pada suatu malam Ramadan di masjid Nabawi.
Para sahabat yang mengetahui Nabi melaksanakan shalat langsung mengikuti. Dua tiga malam berlalu, Rasul masih melaksanakan shalat tersebut, dan sahabat yang ikut kian banyak. Di malam keempat, Nabi ternyata absen sampai beberapa malam setelahnya. Ketika ditanya sebabnya oleh sahabat, Nabi menjawab: “Sebenarnya tidak ada yang menghambatku untuk shalat bersama kalian. Hanya saja aku takut nanti hal ini akan diwajibkan untuk kalian.”
Kisah di atas menunjukkan anjuran shalat pada malam hari bulan Ramadan. Tidak disebutkan apakah Nabi melakukan shalat tersebut secara berjamaah atau tidak. Shalat tersebut baru dilakukan berjamaah di masa Umar bin Khattab.
Sejak Nabi wafat, kemudian berlanjut masa khalifah Abu Bakar, dan awal masa khalifah Umar, belum ada yang melakukan tarawih berjamaah di masjid.
Suatu waktu, Umar melihat orang shalat sendiri-sendiri di malam bulan Ramadan. Terkesan kurang kompak, barangkali. Melihat hal itu, Umar meminta Ubay bin Kaab untuk mengajak orang-orang berjamaah.
“Jika saja aku mengumpulkan orang-orang dengan satu imam, maka tentu itu akan lebih bagus.” kata Umar. Ubay bin Kaab ditunjuk menjadi imam. Shalat ini, menurut riwayat Imam al-Baihaqi, konon dilakukan sebanyak dua puluh rakaat.
Esoknya Umar melihat di masjid-masjid lain orang-orang melaksanakan shalat secara berjamaah, seperti telah dilakukan kemarin. Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah (hal yang tidak ditetapkan syariat) adalah tarawih ini.”
Karena riwayat di atas disandarkan pada aktivitas sahabat, maka perkara tarawih berjamaah di atas disebut hadis mauquf. Kebanyakan imam mazhab fikih pun menganjurkan melakukannya secara berjamaah, sebagaimana yang telah dilakukan para sahabat.
Mengenai tarawih berjamaah ini, Imam an-Nawawi menyebutkan dalam Syarah Shahih Muslim, bahwa tarawih berjamaah di masjid ini dianjurkan untuk turut menyemarakkan syiar Islam di bulan Ramadan. Ya, suasana tarawih di masjid inilah yang barangkali kita rindu di bulan Ramadan. Wallahu a’lam.