Sejarah Sabotase Masjidil Haram

Sejarah Sabotase Masjidil Haram

Sejarah Sabotase Masjidil Haram
Juhayman al-Utaibiy belajar kepada Abdullah bin Baz. Lambat laun, ia kian keras dan merasa paling benar. Bahkan merasa bahwa ia adalah yang terpilih dan seorang imam Mahdi. Dalam sejarah, Ia menyerang Ka’bah.

Akhirnya. Saya bisa mengkhatamkan lagi sebuah buku. Membaca detil demi detil. Hingga akhir. Buku yang berhasil saya khatamkan kali ini berjudul Kudeta Mekah, Sejarah Yang Tak Terkuak. Buku ini berisi laporan investigasi seorang wartawan yang mencoba menelusuri sebuah peristiwa tragis tetapi tidak banyak orang tahu. Disebut tidak banyak yang tahu persoalan sebenarnya karena peristiwa itu terjadi di wilayah kerajaan yang cenderung tertutup, di pusat kota yang menjadi ikon terpentingnya. Ya. Kerajaan Arab Saudi. Peristiwa itu terjadi di kota Mekah. Kota suci paling dirindukan umat Islam.

Peristiwa itu adalah sabotase Masjidil Haram pada tahun 1979. Pada tahun ini, seorang mantan tentara kerajaan bernama Juhaiman Al-Utaibi membawa sejumlah orang bersenjata memblokade Masjidil Haram. Ratusan orang yang sedang menunaikan ibadah di dalam masjid saat kejadian tersebut berlangsung. Beberapa adalah warga negara Indonesia. Apa tujuan Juhaiman? Ini yang agak unik.

Juhaiman percaya bahwa sahabatnya yang bernama Muhammad bin Abdullah adalah imam Mahdi. Yang ciri-cirinya tersebut dalam hadis. Yang muncul menjelang kemunculan Dajjal. Yang dibaiat di depan Ka’bah, di Masjidil Haram. Nah, aksinya itu adalah untuk mewujudkan “ramalan” tersebut.

Kok bisa dia punya paham seperti itu? Ternyata panjang ceritanya. Penulis buku ini menelusuri sampai jauh ke belakang. Bahkan berlatar berdirinya kerajaan Arab Saudi itu sendiri. Singkatnya, berdirinya kerajaan Arab Saudi ini adalah dalam konteks kebangkitan nasional bangsa Arab. Nah, berkali-kali melakukan perlawanan terhadap pemerintah kesultanan Turki Usmani gagal. Akhirnya mereka membentuk satuan khusus pasukan elit yang bernama Al-Ikhwan (tentang unit ini, bisa baca bukunya Hamid Algar, Wahhabism).

Ini bukan Ikhwanul Muslimin yang dari Mesir itu. Unit Al-Ikhwan ini adalah unit yang paling militan dan brutal di antara tentara kerajaan Najd, bagian timur jazirah Arab. Keberhasilan menguasai kawasan Hijaz, bagian barat Jazirah Arab yang di dalam terdapat dua kota suci Mekah dan Madinah pada tahun 1922, tidak dapat dilepaskan dari unit khusus ini.

Mereka tidak segan membantai umat Islam yang mereka yakini sebagai musuh kafir. Di antara unit-unit tentara kerajaan Najd, unit inilah yang paling setia terhadap ajaran Wahhabi. Setelah berhasil membentuk negara Arab Saudi pada 1932, unit ini dibubarkan. Tetapi sayangnya, unit ini tidak mudah dibubarkan. Sekalipun berhasil, tetapi ideologi yang kadung tertancap kuat dalam benak para anggotanya sulit dilepaskan. Benar, suku-suku yang menjadi anggota unit ini telah diakomodasi dalam unit penjaga keamanan kerajaan. Tetapi sebagian di antaranya masih memegang teguh doktrin Wahhabisme klasik yang keras terhadap sesama Muslim.

Sebenarnya, teologi-ideologis ini merupakan warisan sikap revolusioner untuk melawan Turki Usmani yang Muslim. Agar motivasi perangnya kuat, tak ada beban moral nya, pasukan harus diyakinkan bahwa yang mereka hadapi adalah orang-orang kafir penyembah kuburan yang harus dibasmi. Mereka lebih kafir dibanding kaum kafir di masa jahiliah.

Tetapi ketika kerajaan telah berdiri, negara butuh kestabilan. Moderasi beragama dikembangkan untuk mendukung agenda modernisasi yang dikembangkan kerajaan. Di sinilah terjadi dilema. Para pahlawan itu harus menerima bahwa mereka “dikhianati” oleh para pemimpinnya. Ternyata, para pemimpinnya itu bekerjasama dengan orang asing, membawa masuk budaya asing lagi kafir ke dalam negeri mereka. Bangsa Arab Saudi mengalami modernisasi.

Para agamawan bergolak melancarkan kritik pedas terhadap kerajaan. Salah satu yang dikritik adalah masuknya televisi yang penuh dengan kebohongan dan maksiat. Perempuan bebas keluar dengan pakaian terbuka. Bahkan, dibuka sekolah khusus untuk perempuan yang diindikasi mengajarkan cara hidup Barat. Dan yang paling mengganggu adalah masuknya tentara Amerika di jazirah Arab yang suci. Padahal, Nabi Muhammad pernah mewasiatkan agar mengusir Yahudi dan Nasrani dari jazirah. Tokoh paling vokal adalah Syekh Bin Baz.

Kerajaan mengakomodir dengan mengangkat sang Syekh sebagai kepala urusan agama kerajaan. Kritik menurun. Tetapi anak muda yang teradikalisasi telah tumbuh. Utamanya, dari kalangan keluarga suku yang dulu ikut perang revolusi melawan Turki Usmani secara heroik dan patriotik. Pemuda itu, dan banyak pemuda lainnya, gelisah melihat perubahan Arab Saudi yang begitu cepat menerima kebudayaan Barat.

Perasaan terancam sangat kuat mempengaruhi cara berpikirnya. Keberadaan pasukan Amerika dengan pangkalannya dan kemenangan Zionis Israel melawan bangsa-bangsa Arab, membuatnya merasa Muslim, atau bahkan Islam itu sendiri telah dikepung dari segala penjuru. Oleh musuh-musuhnya yang bersatu. Ujung tombak senjata musuh itu sekarang bahkan telah masuk ke dalam negerinya melalui penyebaran televisi yang menampilkan berbagai potret kehidupan yang barat banget. Juhaiman merasakan hal ini.

Harapan kemudian timbul setelah dia mendapatkan pengajian tentang Imam Mahdi. Dia akan datang ketika umat sedang terkepung. Dia menemukan bahwa Imam Mahdi itu mestinya telah datang. Dia pun mendalam wacana tradisional tentang Mahdiisme. Dia akhirnya menemukan sosok yang diramalkan. Dia mengajak para pengikutnya untuk memperjuangkan pembaiatan imam agar segera mendapatkan dukungan kaum muslimin secara lebih luas, dan pada akhirnya tentu saja mengakhiri perasaan terancamnya dengan menumbangkan kekuasaan yang berkoalisi dengan kekuatan asing itu.

Pengikutnya dari Mesir, Yaman, Emirat dan lainnya mendukung. Mereka ingin mewujudkan ramalan itu. Menurut hadis, para pendukung Mahdi itu akan dikejar oleh musuh. Tetapi Tuhan melindungi dengan cara menenggelamkan musuh-musuh ke dalam tanah. Mereka menafsirkan, bahwa upaya mereka membaiat imam Mahdi di depan Ka’bah pasti akan dihalangi oleh musuh. Karenanya, mereka menyiapkan senjata. Juhaiman mantan militer. Tahu di mana dan dari mana harus dapat senjata. Mereka berhasil. Sebelum melakukan itu, mereka telah banyak berdiskusi dengan Syekh Bin Baz. Tetapi tidak ada respon yang bisa diharapkan.

Mereka melancarkan sabotase Masjidil Haram, pagi hari, ketika banyak sekali jamaah yang sedang ibadah di dalam masjid, yang sedang dibangun oleh perusahaan konstruksi keluarga Bin Laden itu. Ratusan atau bahkan ribuan jamaah itu tidak langsung paham, apa sebenarnya yang terjadi. Mengapa ada banyak orang membawa senjata api di kawasan suci yang terlarang membawa senjata itu? Mereka yang di dalam saja bingung, terlebih masyarakat yang ada di luar masjid.

Aparat sendiri belum menyadari bahwa telah terjadi aksi sabotase. Bahkan sampai seminggu masjid itu disandera, belum ada kejelasan apa yang sedang terjadi. Sebelum akhirnya terungkap, pasukan keamanan Saudi mulai merespon. Tetapi pasukan Juhaiman telah siap dengan strategi, amunisi dan logistik yang cukup. Beberapa unit pasukan pemerintah berusaha masuk, tapi dengan mudah diberondong peluru. Sampai dua Minggu, pasukan pemerintah belum berhasil menguasai Masjidil Haram. Amerika menawarkan bantuan. Inggris. Dan terakhir Perancis.

Ternyata, yang paling sulit bukan soal menyerang para pembelot itu. Tetapi soal izin kepada para tokoh agama. Syekh Bin Baz bersa pada ulama sampai harus sidang berkali-kali apakah boleh menyerang Masjidil Haram. Sampai akhirnya izin itu keluar, pihak kerajaan yang menerima tawaran bantuan dari Perancis, harus menghadapi masalah baru. Bahwa para tentara Perancis itu adalah non Muslim yang terlarang memasuki kawasan Mekah. Kerajaan juga berusaha menutupi perjanjian kerjasama ini. Keamanan kerajaan jelas tidak mampu menangani sendiri. Akhirnya, tentara Perancis hanya menyediakan pelatihan singkat dan dengan bekal senjata yang canggih untuk tentara kerajaan. Mereka dilatih di Taif, kawasan sejuk dekat Mekah. Senjata dan teknik terbaru dipelajari dengan cepat. Para agen Perancis hanya mengawasi dari jauh.

Beberapa waktu kemudian Masjidil Haram berhasil dikuasai. Juhaiman dan kawanannya berhasil ditangkap atau dieksekusi mati. Sebelum itu, para pemimpin di dunia, termasuk Ayatullah dari Iran, mengecam keras dan mengutuk aksi sabotase itu. Sekalipun berhasil dipadamkan, tetapi ternyata ideologi Juhaiman telah disebarkan ke kawasan yang lebih luas. Juhaiman telah menulis banyak hal tentang pemikirannya. Ajarannya diterima pemimpin Jamaah Islamiyah di Mesir yang masih saudara Aiman Azzawahiri. Inti ajarannya adalah penolakan terhadap kedaulatan para penguasa Muslim, khususnya kerajaan Arab Saudi. Berbagai argumen diajukan dalam buku yang diberi judul Rasa’il Juhaiman yang sekarang bisa diakses secara bebas di internet. Risalah ini berhasil dicetak secara luas di Qatar.

Salah satu yang terinspirasi dan menjadi tokoh pentingnya adalah Abu Muhammad Al-Maqdisi. Melanjutkan argumen Juhaiman, Kerajaan Arab Saudi telah meninggalkan ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mendapatkan ajaran Ibnu Abdul Wahhab ini, seperti yang dilakukan Juhaiman, orang harus membaca kitab-kitab nya dan kitab-kitab yang ditulis muridnya. Semua sudah dicetak dan tersebar luas. Tetapi tidak banyak yang mau mengamalkannya, termasuk para ulama senior Arab Saudi. Mereka malah membuat tafsir yang menyalahi keinginan para penulis nya hanya untuk mendukung rezim penguasa.

Di sisi lain, ada banyak pemuda di Saudi yang telah terpapar. Mungkin bukan oleh pemikiran Juhaiman, tetapi oleh pemikiran yang masih dalam spektrum yang sama dengan nya yang merasa tidak puas dengan pihak kerajaan. Mereka menyebut dirinya Shahwah Islamiyah yang sedikit banyak terinspirasi guru-guru mereka dari Ikhwanul Muslimin. Osama bin Laden, murid Muhammad Quthb adalah salah satu pemuda itu. Pemuda-pemuda dengan semangat keislaman membara ini dapat menjadi masalah bagi kerajaan. Tetapi, perang Afghanistan menjadi satu jalan keluar.

Syekh Bin Baz menghimbau para pemuda Muslim untuk berangkat berjihad melawan Uni Soviet, kaum anti tuhan yang berusaha menduduki tanah umat Islam. Bin Baz dan kerajaan, tentu dengan aliansi strategisnya, Amerika dan Pakistan, membuat jalan terbuka lebar. Dukungan moral spiritual, uang dan senjata. Tetapi, langkah ini hanya menunda banjir besar radikalisme di dalam negeri, dan mendorong terciptanya kelompok yang lebih terlatih dan berskala global. Al-Qaeda. Dirintis oleh Abdullah Azzam, Osama bin Laden dan Aiman Azzawahiri. Jejak paling traumatik adalah 11/9 dan jaringan teror di seluruh dunia sejak tahun 2000-an.

Abu Mus’ab Azzarqawi, murid Abu Muhammad Al-Maqdisi yang terinspirasi oleh Juhaiman, bergabung dengan Osama, mendirikan Al Qaeda Cabang Irak (AQI), lalu Jamaah Tauhid Wal Jihad di Irak. Bersamaan dengan invasi Amerika ke negara tersebut pada 2003. Sebelum bergabung dengan para pendukung Saddam Husain dan membentuk organisasi negara Islam Irak (NII). Pada 2012 bersamaan dengan terbukanya perang Suriah, kelompok ini berganti nama menjadi negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Organisasi ini hampir telah menjadi negara dengan segala perangkatnya. Sebuah negara yang ingin menerapkan secara murni ajaran Islam, menggunakan ideologi yang pernah digunakan kerajaan Arab Saudi. Tetapi usaha ini gagal total.

Seperti pendahulunya, para tokohnya telah mati. Tetapi ideologi itu diwariskan. Ideologi Juhaiman-Maqdisi-Zarqawi dalam Tauhid Wal Jihad telah tersebar di internet. Diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Termasuk bahasa Indonesia. Penerjemah paling produktif pemikiran Maqdisi ke bahasa Indonesia adalah tokoh bernama Abu Sulaiman Al-Arkhabili.

Penulis buku ini menampilkan “missing link” genealogi pemikiran “Al-Ikhwan” di masa lalu, saat-saat pembentukan negara Saudi, dengan pejuang teologi “tauhid dan jihad” hari ini. Ideologi dan kebrutalannya identik. Modernisasi di Arab Saudi seperti kita lihat hari ini yang sedang digencarkan sang putra mahkota, bisa jadi akan berbenturan dengan kepentingan kelompok konservatif, seperti pada era Raja Faisal dan Raja Khaled. Dan bukan tidak mungkin akan melahirkan neo-Juhaiman. Kalau sudah begini, maka cerita gak akan ada habisnya. Kalau kepentingan strategisnya adalah melawan tafsir ekstrem yang anti stabilitas, maka Aswaja, Wahhabi moderat dan kaum Muslim liberal punya lawan yang sama. Kata Pak Kiai saya, untuk konteks ini, ada titik temunya.