Tentang asal usul penamaan hari Asyura, penulis sudah menjabarkannya dalam tulisan berjudul “Asal Usul penamaan Asyura”. Yang jelas, penamaan hari Asyura sudah ada sebelum kedatangan Islam sebagai sebuah agama yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Namun, pertanyaan apakah pada masa lalu masyarakat Arab (yang tidak beragama Yahudi atau Nasrani) juga berpuasa di Hari Asyura? Pertanyaan ini nampaknya masih mengundang pertanyaan di kalangan sejarawan yang mencoba menelusuri tradisi puasa sejak masa pra-Islam.
Dalam hadis Nabi Saw., ada beberapa riwayat yang membicarakan tentang asal muasal puasa yang dilakukan di bulan Asyura. Dr. Jawwad ‘Ali dalam karya babonnya berjudul al-Mufasshal fi Tarikh al-‘Arab qabla al-Islam mencoba mengumpulkan secara utuh ibadah-ibadah apa saja yang biasa dilakukan masyarakat di wilayah Arab sebelum kedatangan agama Islam.
Menurut Jawwad ‘Ali memasukkan salah satunya adalah ibadah puasa. Jawwad ‘Ali memulai bahasan dengan membicarakan kosakata apa yang dikenal masyarakat Arab terhadap puasa itu sendiri. Hasilnya adalah, ada dua kata yang digunakan masyarakat Arab untuk mengungkapkan praktik yang kita sebut puasa.
Pertama adalah al-shaum, untuk memaknai tindakan menahan diri dari makan, minum, atau berhubungan intim dengan pasangan. Kedua adalah al-shamit, untuk memaknai tindakan tidak berbicara (j. 11 h. 338).
Kemudian, dari segi kenyataan di masyarakat pada waktu itu, ibadah berpuasa yang dalam bentuk yang dipraktikan umat Islam lebih kepada al-shaum daripada al-shamit. Ibadah al-shaum hari ini sudah dipraktikkan orang-orang Yahudi dan Nasrani (tentu dengan tata-cara mereka sendiri). Dan, masyarakat Arab pra-Islam (al-Jahiliyyah) sebagiannya mencoba meniru perilaku baik mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani tersebut.
Masyarakat Arab yang mengetahui ibadah orang Yahudi adalah masyarakat Yatsrib yang hidup bersama dengan mereka. Sementara masyarakat Arab yang mengetahui ibadah orang Nasrani adalah mereka yang tinggal di Irak dan Syam. Disana, bahkan orang Arab sendiri sebagian kabilahnya sudah beragama Nasrani.
Sementara orang Arab di Mekkah, waktu itu mengetahui bahwa tradisi puasa banyak dilakukan oleh para pengikuti agama al-Hanifiyyah (Jawwad Ali menggunakan istilah al-Ahnaaf) dan para rahib. Puasa yang dilakukan mereka berupa diam dan merenung di gua-gua di gunung d Mekkah, termasuk di Gua Hira’, tempat yang nantinya Nabi Saw. menerima wahyu untuk pertama kalinya di sana.
Puasa Asyura
Bagaimana dengan puasa hari Asyura? Jawwad Ali mencatat bahwa masyarakat Arab – Mekkah khususnya – sudah melakukan puasa di hari ke-10 di bulan Muharram. Mengutip kitab Bulugh al-Arb , di hari ke-10 yang dilakukan tidak hanya berpuasa, tapi masyarakat Arab mengganti kain ka’bah dan melakukan perayaan.
Alasannya adalah pada tanggal itu mereka meyakini bahwa leluhur mereka melakukan dosa yang sangat besar, dan mereka ingin diampuni dosanya. Kemudian, mereka berpuasa di hari tersebut sebabagai rasa syukur karena diampuni dosanya.
Ada juga riwayat yang tidak menggunakan redaksi seperti yang baru dikisahkan. Nabi Saw., intinya sudah berpuasa sejak masih di Mekkah dan terus melakukannya saat berpindah di Madinah sampai diturunkannya berpuasa Ramadan. Namun, Nabi Saw. tidak melarang berpuasa Muharram.
Di saat yang sama, Nabi Saw. mendapatkan laporan – atau melihat sendiri – bahwa orang-orang Yahudi di Madinah juga berpuasa di hari kesepuluh. Kemudian, Nabi Saw. berujar bahwa kita pindahkan puasanya di hari kesembilan.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi Saw. hanya mengatakan “berbedalah dengan puasa orang Yahudi, lakukan di sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya”.
Kemudian, ada riwayat hadis yang mengatakan bahwa informasi itu didapatkan Nabi Saw. setelah Haji Wada’. Praktiknya, Nabi Saw. belum pernah sempat melakukan puasa di hari kesembilan di bulan Muharram karena beliau sudah wafat.
Yang penting diketahui juga adalah, puasa di hari kesepuluh yang dilakukan orang-orang Yahudi tidak dilakukan di bulan Muharram. Tapi dilakukan di bulan ketujuh menurut penanggalan mereka.
Cara berpuasanya adalah dengan cara tidak makan, minum, berbicara, berdandan, sampai berhubungan intim mulai dari sebelum terbenam matahari di hari Asyura di bulan ketujuh (Tishri) sampai di hari kesebelas pada waktu setelah maghrib.
Artinya, mereka berpuasa sekitar lebih dari 24 jam. Puasa ini adalah ibadah terpenting dalam agama Yahudi, yang mereka sebut Yom Kippur (Yaum al-Ghufran) yang berarti hari pengampunan.
Terakhir, beberapa sumber sejarah yang mencoba membandingkan antara puasa Asyura yang terdapat dalam agama Islam dengan yang dilakukan oleh orang yahudi mencoba mengkritisi, terutama soal mengapa ada riwayat dalam Islam yang mengatakan bahwa puasa Asyura sama dengan puasa orang Yahudi pada keduanya dilakukan di bulan yang berbeda.
Narasi riwayat dalam keislaman seluruhnya menyatakan bahwa berpuasa di hari kesembilan atau kesebalas untuk membedakan antara puasa Asyura dalam Islam dengan yang dilakukan oleh orang Yahudi.
Atau, boleh jadi itu bertujuan karena tidak ingin di hari yang sama? Atau, bagian dari upaya Nabi Saw. untuk selalu berbeda dengan kebiasaan orang Yahudi apalagi kalau sudah berkaitan dengan persoalan ibadah?
Jawwad ‘Ali dalam bukunya al-Mufasshal fi Tarikh al-‘Arab Qabl al-Islam cenderung mengatakan bahwa kebiasaan puasa Muharram justru mengadopsi dari tradisi Yahudi. Menurutnya, riwayat yang paling meyakinkan adalah bahwa Nabi Saw. baru mulai berpuasa di bulan Muharam ketika tiba di Madinah. Tapi, interpretasi sejarah selalu berbeda-beda bukan? Wallahu A’lam
Selengkapnya, klik di sini