Dalam artikel sebelumnya, telah dikemukakan bahwa kiblat Yahudi di masa Musa dan di masa setelah Yoshua wafat sebenarnya adalah kubah yang ukiran, gambaran dan patung-patungnya telah dibuat berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Di dalam kubah ini juga diletakkan Tabut Perjanjian yang berisi lembaran batu berukiran Sepuluh Perintah. Di masa nabi Musa, kubah ini diletakkan di tengah-tengah perkemahan besar bangsa Yahudi dan dijadikan kiblat saat mereka bersembahyang. Tak lupa pula dibuatkan altar untuk pengorbanan dimana Harun ditugaskan untuk memimpin upacara pengorbanan tersebut. Setelah itu, kubah berisi Tabut Perjanjian ini dipindahkan ke Gilgal lalu ke Sylu yang dekat Gilgal dan ke wilayah Benyamin.
Awal mula dipindahkannya kubah dan Tabut ini ke kuil rusak bekas penyembahan Dewi Venus ini terjadi di masa pemerintahan Dawud. Ibnu Khaldun, masih dalam kitab al-Muqaddimah, menuturkan demikian:
ولما ملك داود عليه السلام نقل التابوت والقبة إلى بيت المقدس وجعل لها خباء خاصا ووضعها على الصخرة وبقيت تلك قبلتهم. وأراد داود عليه السلام بناء مسجده على الصخرة مكانها فلم يتم له ذلك
“Setelah Nabi Dawud berkuasa, beliau pindahkan kubah dan tabut itu ke Bait al-Maqdis (Bekas Kuil kaum Sabean) lalu ia bangun kemah khusus untuknya dan diletakkan di atas karang di sana. Kubah itu tetap menjadi kiblat dan letaknya di atas Karang di Bait al-Maqdis. Nabi Dawud ingin membangun masjid di atas Karang itu namun sayangnya tidak selesai dibangun.”
Sampai di sini kita melihat Bait al-Maqdis pada tahap selanjutnya menjadi tempat yang sangat sakral di mata orang Yahudi dan hal demikian setelah Kubah dipindahkan di masa Dawud ke bekas kuil penyembahan Dewi Venus.
Kendati demikian, dalam penuturan Ibnu Khaldun di atas, kiblatnya orang Yahudi ini masih berbentuk perkemahan yang didirikan di atas Karang yang dulunya sering disiram minyak saat upacara pengorbanan kaum Sabean.
Penuturan lebih lanjut dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah:
وعهد به إلى ابنه سليمان فبناه لأربع سنين من ملكه ولخمسمائة سنة من وفاة موسى عليه السلام واتخذ عمده من الصفر وجعل به صرح الزجاج وغشى أبوابه وحيطانه بالذهب وصاع هياكله وتماثيله وأوعيته ومناوره ومفاتيحه من الذهب
“Kemudian usaha pembangunan tersebut dilanjutkan oleh anaknya, Nabi Sulaiman, yang membangun Bait al-Maqdis di tahun keempat dari kekuasaannya yang bertepatan dengan tahun kelima ratus sejak wafat Nabi Musa. Tiang-tiangnya terbuat dari perunggu, dan di dalamnya dibangun lantai dari kaca. Dinding-dinding dan pintu-pintunya dibalut dengan emas. Nabi Sulaiman juga memperindah efigi-efigi, patung-patung, bejana-bejana dan tungku-tungkunya dengan emas. Kunci-kuncinya juga terbuat dari emas.”
Bait al-Maqdis atau yang sering disebut juga oleh sarjana Barat sebagai Solomon Temple ini dibangun secara lebih megah di masa kerajaan Nabi Sulaiman. Dari yang semula hanya berbentuk Kubah dan sering dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya,
Bait al-Maqdis di masa Sulaiman menetap di atas wilayah yang dulunya menjadi kuil penyembahan Dewi Venus bagi kaum Sabean. Konon, karang yang ada di dalam Masjid al-Aqsha tersebut sebenarnya ialah bekas tempat Ishak dikorbankan oleh Ibrahim menurut kepercayaan Yahudi dan Kristen.
Masjid al-Aqsha sendiri saat ini sebenarnya tidak berbentuk masjid namun semacam kompleks pelataran yang luas yang meliputi Jami’ al-Aqsha, Karang Suci dan lain-lainnya. Kelak di wilayah Karang Suci inilah Nabi Muhammad SAW melanjutkan mi’rajnya ke langit. Di wilayah ini pula nabi Muhammad SAW memimpin shalat para nabi dan rasul yang pernah diutus ke muka bumi.
Ibnu Khaldun memperjelas proses pembangunan masjid al-Aqsha atau kuil Sulaiman tersebut dalam kitab al-Muqaddimah:
وجعل ظهره مقبوا ليودع فيه فيه تابوت العهد وهو التابوت الذي فيه الألواح وجاء به من صهيون بلد أبيه داود، نقله إليها أيام عمارة المسجد فجئ به تحملة الأسباط والكهنوتية حتى وضعه في القبو. ووضعت القبة والأوعية والمذبح كل واحد حيث أعد له من المسجد وأقام كذلك ما شاء الله
“Di tengahnya dibuat semacam galian untuk meletakkan Tabut Perjanjian, yaitu Tabut yang di dalamnya terkandung lembaran-lembaran suci (berisi sepuluh perintah) yang dipindahkan dari Zion tempat ayahnya, Nabi Dawud. Tabut diletakkan di Zion untuk sementara waktu ketika Masjid Aqsha sedang dibangun. Suku-Suku Israil dan para pendeta membawa Tabut itu dan menempatkannya di dalam lubang yang disediakan. Kubah, bejana-bejana dan altar semuanya diletakkan dalam tempat-tempat yang telah disediakan dalam masjid. Keadaan tetap demikian sampai yang dikehendaki Allah.”
Demikianlah gambaran yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai proses pembangunan kuil Sulaiman tersebut. Dalam sejarahnya, nasib masjid al-Aqsha ini mengalami pasang surut. Alquran menyebutkan bahwa penghancuran mesjid yang sangat dimuliakan oleh tiga agama besar samawi ini terjadi dua kali; pertama, dihancurkan oleh Nebukadnezar dan kedua, dihancurkan kembali oleh Titus pada tahun 70 Masehi setelah dibangun oleh Herodus.
Penjelasan ini akan kita kemukakan lebih jauh dalam tulisan berikutnya namun masih tetap dalam kerangka kesejarahan yang dikemukakan Ibnu Khaldun.